Karya

Politik Bukan Hanya Urusan Elite

ZETIZENS.ID – Pernahkah kita bertanya, mengapa anak muda hanya ramai di TPS, tapi nyaris tak punya perwakilan di kursi kekuasaan?

Di balik gegap gempita pesta demokrasi, ada ironi yang jarang dibicarakan: suara rakyat, terutama pemuda dan masyarakat biasa masih kalah nyaring dibanding kepentingan elite.

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut bahwa lebih dari 56% pemilih pada Pemilu 2024 berasal dari usia 17 hingga 40 tahun, mayoritasnya adalah Gen Z dan milenial. Namun, di parlemen, proporsi politisi muda sangat timpang: hanya sekitar 3% yang berusia di bawah 30 tahun, dan mayoritas kursi masih didominasi elite usia 40 tahun ke atas.

Angka ini menegaskan ketimpangan representasi yang mengakar dalam sistem politik Indonesia.

Masalahnya bukan jumlah, tapi juga akses. Bagi pemuda dan masyarakat biasa, politik formal terasa seperti ruang yang dikunci rapat. Mereka seringkali tidak memiliki jejaring, dukungan finansial, maupun infrastruktur politik untuk mencalonkan diri.

Sementara itu, kursi legislatif atau jabatan publik lebih mudah diakses oleh kalangan elite, baik karena nama besar keluarga, uang kampanye, atau posisi dalam partai.

Survei CSIS pada 2022 mengungkap bahwa hanya 1,1% dari generasi muda yang menyatakan tertarik aktif dalam politik. Ini menandakan jurang yang besar antara antusiasme pemilu dan keterlibatan substansial.

Banyak pemuda yang datang ke TPS, tapi tidak merasa punya kekuatan mengubah arah kebijakan setelahnya.

Di tengah keterasingan itu, media sosial menjadi jalur alternatif baru. Riset terbaru dari Jurnal Calathu (2025) menunjukkan bahwa TikTok dan Instagram adalah dua platform utama bagi Gen Z dalam mengakses informasi politik.

Sayangnya, banyak konten politik di media sosial lebih menonjolkan hiburan dibanding substansi. Kampanye sering diisi tarian, tantangan viral, atau meme, ketimbang adu ide dan gagasan.

Partai politik pun belum sepenuhnya serius menjadikan pemuda sebagai mitra strategis. Alih-alih memberi ruang pengambilan keputusan, banyak partai justru menjadikan anak muda sebagai target pemasaran belaka. Dalam proses rekrutmen dan pencalonan, mereka masih kerap memprioritaskan orang dalam dan tokoh yang punya modal besar.

Sementara itu, pemuda di luar struktur politik justru menunjukkan daya hidup yang kuat. Aksi demonstrasi penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law, hingga gerakan “Dark Indonesia” menunjukkan bahwa pemuda punya nurani politik yang tajam.

Sayangnya, suara ini jarang diterjemahkan menjadi kebijakan konkret karena kurangnya saluran representatif.

Beberapa pemuda memang telah terlibat sebagai penyelenggara pemilu, relawan demokrasi, atau pengawas partisipatif.

Di Pilkada Serang 2024 misalnya, 45% anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) adalah Gen Z. Ini merupakan langkah awal yang penting, namun masih sangat terbatas skalanya.

Hal yang sama juga dialami masyarakat biasa. Mereka hadir setiap pemilu, ikut kampanye, bahkan jadi relawan caleg. Namun setelah pemilu usai, suara mereka nyaris tidak terdengar. Proses legislasi, pengawasan, dan anggaran lebih sering ditentukan oleh elite partai, tanpa mekanisme partisipasi publik yang kuat.

Fakta lebih ironis: politik uang dan pragmatisme masih menjadi senjata utama elite. Laporan dari KEMITRAAN menunjukkan bahwa hampir 35% pemilih muda di Indonesia terpengaruh oleh politik uang pada Pilkada 2024. Ini memperlihatkan bahwa sistem masih gagal mendidik dan melibatkan rakyat sebagai warga negara, bukan sekadar objek suara.

Kita perlu menggeser paradigma: dari politik untuk elite menjadi politik untuk semua. Pendidikan politik harus masuk sejak dini, bukan hanya menjelang pemilu.

Partai harus terbuka pada kader muda dan memberi ruang bagi rakyat biasa untuk naik melalui jalur meritokrasi, bukan hanya loyalitas dan koneksi.

Pemerintah juga harus mendorong kebijakan afirmatif, misalnya dengan mengurangi syarat usia pencalonan kepala daerah, memberi insentif untuk caleg muda, dan memperluas program dana kampanye publik. Ini bukan soal memanjakan pemuda, tapi soal menyelamatkan masa depan demokrasi dari stagnasi.

Jika perubahan ini tidak segera dilakukan, maka politik akan tetap dikuasai kelompok elite yang hanya berpikir jangka pendek. Ketimpangan representasi akan terus berlanjut, dan suara generasi muda maupun warga biasa hanya akan menjadi gema yang dipakai lima tahun sekali, lalu dilupakan.

Politik seharusnya bukan klub eksklusif milik mereka yang punya modal dan jaringan. Ia adalah hak dan alat semua warga negara untuk membentuk masa depan bersama. Dan ketika politik kembali menjadi milik rakyat, itulah saat demokrasi Indonesia benar-benar menemukan jiwanya. (*)

Ditulis oleh Gustav Bagus Herlambang, mahasiswa semester 2 Ilmu Pemerintahan, Universitas Pamulang PSDKU Serang

Tulisan Terkait

Back to top button