Menakar Efektivitas Keuangan Syariah di Era Gen Z: Antara Harapan dan Tantangan

ZETIZENS.ID – Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan ironi yang menggelitik: perbankan syariah masih tertinggal jauh dibandingkan dengan perbankan konvensional, baik dari sisi pangsa pasar maupun popularitas produk.
Meski total aset perbankan syariah mencatatkan pertumbuhan yang cukup signifikan, pangsa pasarnya tetap stagnan di angka 7% lebih sedikit.
Maka muncul pertanyaan besar: apakah keuangan syariah benar-benar efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, atau justru terjebak dalam idealisme yang sulit menembus realitas?
Dalam perenungan yang lebih dalam, kita perlu melihat bagaimana Generasi Z—sebagai penentu masa depan ekonomi nasional—merespons kehadiran keuangan syariah.
Generasi yang tumbuh di era digital ini memiliki karakteristik unik: kritis, melek teknologi, dan sangat responsif terhadap inovasi. Mereka tidak sekadar memilih produk keuangan karena embel-embel “syariah”, melainkan karena nilai guna dan kemudahan yang ditawarkan.
Sayangnya, di titik inilah keuangan syariah masih terseok-seok. Banyak institusi keuangan syariah belum sepenuhnya mengadopsi transformasi digital, tidak sedikit pula yang masih terkesan konvensional dalam pendekatan layanan mereka.
Lebih dalam lagi, tantangan utama justru datang dari literasi. Data terbaru dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan syariah hanya mencapai 9,14%.
Bandingkan dengan literasi keuangan konvensional yang mencapai lebih dari 47%. Ini menunjukkan bahwa masih banyak generasi muda yang belum memahami konsep dasar, apalagi manfaat mendalam dari sistem keuangan berbasis syariah.
Dalam konteks manajemen keuangan pribadi, ini menjadi persoalan serius. Bagaimana mungkin seseorang memilih produk keuangan yang tidak ia pahami?
Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Di beberapa wilayah, seperti Jawa Barat, tingkat pemahaman keuangan syariah di kalangan Gen Z ternyata sangat tinggi—bahkan mencapai angka 88%. Ini menunjukkan bahwa edukasi yang tepat, dengan pendekatan yang sesuai dengan gaya hidup Gen Z, mampu membuka jalan lebar bagi kebangkitan keuangan syariah.
Maka, persoalannya bukan terletak pada sistem syariahnya, melainkan pada cara sistem itu dikomunikasikan dan dijalankan.
Dari sudut pandang ekonomi syariah, kita perlu merenung: apakah sistem yang kita bangun ini sungguh-sungguh berangkat dari semangat keadilan, transparansi, dan keberpihakan pada umat? Ataukah ia terjebak dalam formalitas label dan retorika tanpa substansi? Sebab sejatinya, keuangan syariah tidak hanya menawarkan alternatif dari sistem riba, tetapi juga membawa pesan etika, keberlanjutan, dan keadilan sosial.
Ketika prinsip ini dijalankan dengan sungguh-sungguh dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman, maka tidak ada alasan bagi generasi muda untuk menolaknya.
Keuangan syariah, dalam kerangka idealnya, bukanlah sistem yang harus bersaing dengan konvensional semata-mata dalam hal profitabilitas atau kemudahan akses.
Ia hadir sebagai jawaban atas kegelisahan moral dalam sistem ekonomi yang kerap melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Tapi untuk dapat menjadi relevan bagi Gen Z, sistem ini harus tampil lebih luwes, lebih dekat, dan lebih modern—tanpa kehilangan ruhnya.
Inilah saatnya ekonomi syariah melakukan refleksi kritis. Kita tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik jargon syariah jika tak mampu menghadirkan solusi yang konkret, kompetitif, dan kontekstual.
Keuangan syariah tidak boleh hanya menjadi pilihan emosional atau simbolik. Ia harus menjadi sistem yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya generasi muda yang kini mulai mengambil peran sebagai pelaku ekonomi utama.
Jika tidak, maka keuangan syariah hanya akan menjadi jejak romantisme masa lalu yang ditinggalkan zaman. (*)
Aida Aprilia, Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa