Minimnya Fasilitas Kesehatan di Lebak Banten

ZETIZENS.ID – Kabupaten Lebak di Provinsi Banten dikenal dengan kondisi geografisnya yang cukup menantang, terdiri atas wilayah pegunungan dan perbukitan.
Kondisi ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam pemerataan pembangunan, terutama di bidang kesehatan.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Banten tahun 2023, rasio fasilitas kesehatan di Kabupaten Lebak masih jauh dari kata ideal.
Tercatat hanya terdapat 41 Puskesmas yang melayani lebih dari 1,3 juta jiwa, atau satu Puskesmas untuk setiap lebih dari 30.000 penduduk. Padahal, standar WHO menyarankan satu Puskesmas per 10.000 penduduk.
Di sisi lain, jumlah rumah sakit umum di Lebak hanya 3 unit, yang tersebar di Rangkasbitung dan sekitarnya. Ini membuat masyarakat di kecamatan-kecamatan terpencil seperti Bayah, Cilograng, dan Panggarangan harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk mendapatkan layanan kesehatan lanjutan.
Tenaga medis juga menjadi masalah krusial. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa Kabupaten Lebak hanya memiliki sekitar 130 dokter umum, atau satu dokter untuk setiap hampir 10.000 penduduk.
Angka ini sangat timpang jika dibandingkan dengan standar nasional yang idealnya satu dokter untuk 2.500 orang.Dokter spesialis lebih langka lagi.
Tercatat hanya ada sekitar 25 dokter spesialis di seluruh wilayah Lebak, sebagian besar terkonsentrasi di RSUD Adjidarmo. Hal ini menyulitkan pasien dengan penyakit kronis atau membutuhkan penanganan spesialis untuk mendapatkan layanan tepat waktu.
Selain itu, ketersediaan ambulans pun sangat terbatas. Hanya ada sekitar 50 ambulans yang beroperasi di seluruh kabupaten. Ketika terjadi keadaan darurat, seperti ibu melahirkan atau kecelakaan, keterlambatan pertolongan medis sering tidak terhindarkan.
Menurut survei Kementerian Kesehatan tahun 2022, lebih dari 35% masyarakat di wilayah pedalaman Lebak menyatakan kesulitan mengakses layanan kesehatan karena jarak fasilitas yang terlalu jauh, kondisi jalan yang rusak, serta minimnya transportasi umum.
Angka kematian ibu dan bayi (AKI/AKB) di Lebak pun menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2023, terdapat 27 kasus kematian ibu melahirkan dan lebih dari 230 kematian bayi.
Sebagian besar kasus disebabkan oleh keterlambatan rujukan dan minimnya fasilitas medis. Tingginya angka gizi buruk dan stunting juga menjadi indikator lemahnya akses layanan kesehatan dasar.
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Lebak, pada tahun 2023, prevalensi stunting mencapai 27%, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 21%.
Dalam hal pembiayaan, alokasi anggaran kesehatan Kabupaten Lebak masih tergolong rendah. Tahun 2023, hanya sekitar 6,4% dari total APBD Lebak yang dialokasikan untuk sektor kesehatan.
Angka ini belum memenuhi rekomendasi WHO yang menyarankan minimal 10%.Minimnya fasilitas juga berpengaruh terhadap kepatuhan imunisasi dan layanan kesehatan preventif lainnya.
Banyak anak-anak di wilayah pedalaman tidak mendapatkan imunisasi lengkap karena tidak ada tenaga medis atau posyandu yang aktif di wilayah tersebut.
Pemerintah pusat dan daerah sebenarnya telah mengupayakan pembangunan sarana kesehatan, seperti program Puskesmas Keliling dan Mobil Sehat. Namun, realisasi dan distribusinya belum merata, dan banyak wilayah terpencil belum terjangkau.
Beberapa LSM dan komunitas juga berperan penting dalam memberikan layanan kesehatan alternatif melalui klinik keliling, pelatihan bidan desa, serta edukasi masyarakat. Namun, dukungan dana dan logistik mereka terbatas, dan tidak mampu menjangkau semua wilayah. Kondisi ini menuntut adanya intervensi kebijakan yang lebih kuat, termasuk peningkatan anggaran, rekrutmen tenaga medis daerah, dan pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan dan listrik untuk mendukung layanan kesehatan.
Tanpa perhatian serius dari pemerintah dan kolaborasi semua pihak, ketimpangan fasilitas kesehatan di Lebak akan terus menjadi luka lama yang membebani masyarakat.
Akses kesehatan yang adil dan merata adalah hak setiap warga negara, termasuk mereka yang tinggal di pelosok Lebak.
Fasilitas kesehatan itu sangat penting untuk semua masyarakat, tetapi di wilayah Lebak justru minimnya fasilitas kesehatan contohnya di puskesmas, ketika masyarakat datang ke puskesmas tetapi tidak ada alat medis untuk melakukan penyembuhan, sehingga masyarakat pun harus ke rumah sakit besar tetapi rumah sakit tersebut jauh dari wilayah itu, sehingga masyarakat pun harus ke rumah sakit besar yang sudah dikategorikan mencukupi alat medis/kesehatan, tetapi menurut saya, kasihan juga yang masyarakat yang kurang mampu untuk mengunjungi rumah sakit tersebut karena biyaya transportasi yang tidak mempunyai transportasi, dan tingginya harga rumah sakit.
Dan pemerintah justru mengusulkan untuk gratis biyaya perobatan bagi orang yang tidak mampu, tetapi dibalik adanya gratis tanpa biyaya, justru biyaya perobahan meningkat bagi orang yang mampu dan berharapnya Pemerintah Lebak.
Pemerintah Kabupaten Lebak telah menandatangani MoU dengan BPJS Kesehatan untuk mengoptimalkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Hingga Agustus 2024, sebanyak 98,34% penduduk Lebak telah terdaftar dalam program JKN.
Selain itu, DPRD Lebak mendukung upaya Dinas Kesehatan untuk merehabilitasi Puskesmas agar dapat melayani rawat inap, meskipun secara bertahap karena keterbatasan anggaran.
Gubernur Banten Andra Soni meresmikan RSUD Uwes Qorni Cilograng di Kabupaten Lebak, Banten. Pemprov Banten berharap kehadiran rumah sakit ini mampu mengurangi kesenjangan akses layanan kesehatan di wilayah Banten bagian selatan.
Peresmian RSUD dilaksanakan pada Senin (26/5/2025). Selain Gubernur Andra Soni, turut hadir Ketua DPRD Provinsi Banten Fahmi Hakim Bupati Lebak Hasbi Jayabaya, Plh Sekda Banten Deden Apriandhi, serta Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten Ati Pramudji.Dalam sambutannya, Gubernur Andra menyatakan bahwa rumah sakit ini tidak hanya diharapkan memberikan layanan kesehatan, tetapi juga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru bagi masyarakat sekitar.
Diketahui, pembangunan RSUD ini dimulai sejak 2020 dan selesai pada akhir 2023. Rumah sakit tersebut kini mulai dioperasikan untuk melayani masyarakat.Andra meminta seluruh jajaran RSUD Cilograng memberikan pelayanan prima tanpa membedakan latar belakang sosial pasien.
RSUD Cilograng berdiri di atas lahan seluas 20.580 meter persegi, dengan luas bangunan mencapai 8.638 meter persegi. Rumah sakit ini didukung oleh 24 dokter spesialis, 25 dokter umum, 185 perawat, 68 tenaga paramedis non-perawat, serta 81 tenaga non-kesehatan.
“Jumlah instalasi sebanyak 13, terdiri dari instalasi rawat jalan dengan 17 poliklinik, instalasi rawat inap dengan kapasitas 80 tempat tidur kelas tiga, 24 tempat tidur kelas dua, 14 tempat tidur kelas satu, serta ruang VIP dengan 8 tempat tidur. Instalasi gawat darurat tersedia dengan kapasitas 10 tempat tidur dan dilengkapi 2 unit mobil ambulans,” jelas Deden.
RSUD Malingping Minim Fasilitas Tempat Tidur,
Pasien mumpuk di IGD, jadi Sorotan Warga Lebak Selatan. Minimnya tempat tidur, saat membludaknya pasien yang datang baik itu yang akan rawat inap maupun rawat jalan terjadi penumpukan diruang IGD.
Kosasih, warga Lebak Selatan mengungkap minimnya fasilitas tempat tidur pasien. Padahal RSUD milik Pemprov Banten ini, dibutuhkan oleh masyarakat Lebak bagian selatan dan Pandeglang bagian selatan.
Menurut Kosasih, sebagai warga yang memiliki kepedulian terhadap pelayanan kesehatan terutama di RS Malingping segera dapat mengevaluasi segala kekurangan.Terutama yang berkaitan dengan pelayanan, jangan sampai ada pasien yang menunggu untuk rawat inap, kemudian kamarnya penuh (fullbad).
Dan pasien harus rela menunggu diruang IGD disebabkan antrian kamar.Berharap buat kedepannya khususnya Lebak, Banten, harus tetap berjalan dan berkembang fasilitas kesehatannya, dan di bangunkan rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari pemukiman warga sekitar,supaya agar memudahkan masyarakat sekitar ketika sedang keadaan darurat. (*)
Ditulis oleh Defathul Azmi Kusuma, mahasiswa semester 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pamulang