Karya

Minimnya Minat Bertani di Kalangan Anak Muda: Dampak Terhadap Ketahanan Pangan Nasional

ZETIZENS.ID – Dalam beberapa dekade mendatang, krisis pangan dapat terjadi karena kurangnya keterlibatan generasi muda Indonesia dalam pertanian. Hanya sekitar 12% petani Idonesia. yang berusia 35 tahun, menurut data dari badan pusat statistik (BPS). Sektor-sektor perkotaan, seperti industrI, perdagangan, atau jasa dianggap lebih menguntungkan secara moneter dan megah, menarik minat mayoritas pemuda.

Jika regenerasi petani tidak segera dilakukan, siapa yang akan mengolah tanah kita selama dua puluh tahun lagi, apakah semua lahan yang ada di Indonesia akan digunakan untuk sektor industri?

Persepsi bahwa pertanian identik dengan kemiskinan dan pekerjaan kasar adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya minat terhadap pertanian.

Survey yang dilakukan oleh bank dunia pada tahun 2022 menemukan bahwa 85% remaja percaya bahwa sektor pertanian tidak memiliki masa depan yang cerah.

Menurut pengalaman saya, harga pupuk yang sangat mahal dan harga jual yang sangat murah merupakan masalah utama. Remaja lebih suka bekerja di industri daripada pertanian karena beban kerja dan hasil yang tidak menentu.

Pemerintah juga harus berhati-hati dalam memberikan pupuk subsidi dengan benar agar tidak salah sasaran seperti yang terjadi saat ini, di mana harga pupuk yang diberikan pemerintah dari Rp. 100.000 menjadi Rp. 200.000 oleh individu yang tidak bertanggung jawab, yang merugikan petani kecil.

Ketidakpastian hasil panen sangat penting, seperti yang saya katakan sebelumnya. Banyak anak muda yang melihat orang tua mereka menghadapi fluktuasi harga dan gagal panen karena cuaca yang tidak menentu.

Karena ketidakpastian ini, orang akhirnya ragu untuk berinvestasi dalam pertanian karena mereka tidak ingin mengambil risiko finansial yang besar. Oleh karena itu, mereka cenderung memilih pekerjaan yang dianggap lebih stabil dan aman.

Kurangnya dukungan dan pendidikan yang memadai juga sangat berkontribusi pada rendahnya minat bertani.

Banyak sekolah dan institusi pendidikan tidak memberikan pengetahuan yang cukup tentang pertanian modern dan teknologi baru.

Program pelatihan yang ada seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan anak muda, sehingga mereka merasa tidak siap untuk terjun ke dunia pertanian.

Akses lahan dan modal yang terbatas juga menghalangi anak muda untuk memulai karir pertanian.Mereka yang tidak memiliki modal yang cukup akan membeli benih, peralatan, atau teknologi pertanian yang sangat mahal.

Mereka terjebak dalam siklus kemiskinan dan tidak dapat mencapai impian mereka untuk menjadi petani yang sukses jika mereka tidak menerima dukungan keuangan. Situasi semakin memburuk ketika anak-anak ini percaya bahwa meninggalkan pertanian adalah satu-satunya pilihan mereka.

Sektor pertanian menghadapi ancaman besar karena minat anak muda terhadap pertanian menurun, mengakibatkan krisis generasi petani selanjutnya.

Jika petani saat ini tidak memiliki penerus, kelangsungan pertanian di masa depan akan terancam Krisis ini berpotensi menurunkan produksi makanan dan meningkatkan ketergantungan pada impor, yang dapat berdampak pada ketahanan pangan nasional.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada kolaborasi dari berbagai pihak untuk membangun citra pertanian yang positif. Untuk membuat program yang menarik bagi petani, pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta harus bekerja sama.

Masyarakat dapat mengubah pandangan buruk tentang pertanian dengan memberi tahu mereka tentang pentingnya dan potensinya. Untuk menginspirasi generasi berikutnya, kisah sukses petani muda harus dipublikasikan.

Membangun komunitas pertanian yang kuat dapat membantu anak muda lebih tertarik untuk berkebun. Petani muda dapat dukungan dan jaringan yang diperlukan untuk bantuan dari koperasi petani dan organisasi pertanian.

Secara keseluruhan, masalah yang harus dihadapi untuk menjaga ketahanan pangan nasional adalah berkurangnya minat anak muda dalam

Bertani kita dapat mendorong generasi muda untuk Kembali ke ladang dan membantu masa depan pertanian yang berkelanjutan. Jika tidak, kita beresiko menghadapi krisis pangan yang lebih besar di masa depan. (*)

Ditulis oleh Pebriana Permana, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan semester 2 Universitas Pamulang Serang

Tulisan Terkait

Back to top button