Karya

Percaya Proses, Timnas Indonesia, PSSI, dan Shin Tae-yong

ZETIZENS.ID – “Percaya proses.” Kalimat itu sudah seperti mantra yang terus diulang setiap kali Timnas Indonesia bertanding. Dari masa ke masa, publik selalu diajak untuk bersabar, berharap, dan meyakini bahwa suatu hari sepak bola Indonesia akan menemukan kejayaannya.

Namun pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana mungkin publik terus diminta percaya pada proses, jika federasinya sendiri justru tidak pernah benar-benar menunjukkan konsistensi terhadap proses itu sendiri?

Keputusan terbaru PSSI yang memutus kontrak pelatih utama Timnas datang pada saat yang janggal. Tim tengah menunjukkan performa stabil, dukungan suporter menguat, dan antusiasme terhadap proyek jangka panjang sedang tumbuh.

Pelatih Shin Tae-yong, yang telah membangun fondasi tim sejak 2020, justru diberhentikan di tengah momentum yang baik.

Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami kemajuan yang nyata. Statistik mencatat bahwa peringkat FIFA Indonesia naik dari posisi 173 ke 134 per Juni 2024.

Selain itu, Shin juga membuka jalan bagi generasi muda seperti Marselino Ferdinan, Pratama Arhan, dan Ronaldo Kwateh untuk tampil di level internasional. Sayangnya, proyek jangka panjang yang tengah berjalan itu terputus begitu saja, tanpa alasan yang dijelaskan secara transparan kepada publik.

Kondisi ini memunculkan tanda tanya besar. Mengapa sebuah proses yang sudah mulai menunjukkan hasil nyata harus dihentikan secara mendadak?

Di saat kepercayaan publik sedang tumbuh, keputusan yang diambil oleh PSSI seolah menjadi tamparan balik. Tanpa penjelasan yang jelas, publik hanya diminta untuk mengerti, untuk kembali bersabar.

Padahal, kepercayaan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksa atau diminta begitu saja. Ia harus tumbuh dari sikap transparan dan konsistensi dalam mengambil keputusan.

Efek dari keputusan semacam ini tidak hanya dirasakan oleh pemain atau tim pelatih. Para suporter yang telah menunjukkan loyalitasnya selama bertahun-tahun pun merasa kecewa.

Tagar-tagar protes bermunculan di media sosial, menunjukkan bahwa suara publik tidak bisa diabaikan begitu saja. Rasa percaya publik terhadap federasi adalah modal penting dalam membangun atmosfer sepak bola yang sehat.

Jika suara mereka terus diabaikan, bukan tidak mungkin akan terjadi jarak antara penggemar dan institusi yang seharusnya menjadi penggerak semangat nasionalisme olahraga.

Ada kemungkinan bahwa PSSI lebih mengutamakan hasil cepat daripada keberlanjutan jangka panjang. Dalam dunia sepak bola profesional, keputusan seperti ini bisa sangat kontraproduktif.

Seperti yang pernah disampaikan Arsène Wenger, “Konsistensi adalah fondasi membangun tim hebat. Mengganti pelatih terlalu cepat hanya mengulang ketidakpastian.”

Kalimat tersebut relevan jika melihat pola pengambilan keputusan di tubuh PSSI selama bertahun-tahun terakhir.

Sejumlah pengamat sepak bola juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama. Pangeran Siahaan, dalam kanal YouTube Box2Box, menyebut bahwa persoalan sepak bola Indonesia bukan hanya soal teknis permainan, tapi soal mental kelembagaan yang tidak sabar dan mudah berubah arah.

Bung Towel pun mengatakan dalam wawancaranya di KompasTV bahwa PSSI cenderung menjadikan pelatih sebagai kambing hitam atas tekanan publik dan media. “Ini soal budaya instan,” katanya.

“Padahal membangun tim nasional butuh waktu, bukan hanya hasil laga hari ini.”

Sikap publik selama ini sudah cukup sabar. Bahkan saat hasil belum maksimal, masyarakat tetap menunjukkan dukungan. Namun kesabaran itu perlahan akan terkikis bila keputusan yang diambil selalu berubah-ubah tanpa penjelasan memadai.

Ucapan “percaya proses” akan kehilangan makna jika tidak didukung dengan tindakan nyata dan kesetiaan terhadap rencana jangka panjang.

Sepak bola tidak bisa dibentuk dalam semalam. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan menghabiskan lebih dari satu dekade untuk membangun sistem pembinaan usia muda dan identitas permainan nasional.

Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang tidak kalah besar. Namun, semua itu tidak akan tercapai jika federasinya sendiri tidak sabar dalam menjaga arah dan keputusan yang telah dibuat.

Jika berkaca pada Jepang dan Korea Selatan, keduanya mengalami transformasi sepak bola yang panjang dan konsisten. Jepang misalnya, sejak 1990-an mulai fokus membina pemain usia muda lewat sistem J.League, dan hasilnya baru terlihat dalam 10–15 tahun kemudian.

Korea Selatan mempertahankan pelatih jangka panjang untuk proyek Piala Dunia, dan terbukti menghasilkan prestasi serta pola permainan yang stabil. Indonesia juga bisa mencapai itu, tetapi syaratnya hanya satu: sabar dan setia pada proses yang sudah dibangun.

Pertanyaan penting yang kemudian muncul adalah: siapa sebenarnya yang harus percaya proses? Apakah hanya publik dan pemain yang terus diminta untuk bersabar, sementara pemangku kepentingan justru mudah terombang-ambing oleh tekanan dan opini sesaat?

Jika PSSI sendiri tidak mampu memberi contoh bahwa mereka juga percaya proses, maka seluruh semangat itu akan kehilangan pegangan. Ketika keputusan mendadak seperti pemecatan pelatih dilakukan tanpa transparansi, bukan hanya rasa kecewa yang muncul, tetapi juga luka pada rasa keadilan publik.

Para suporter yang selama ini telah memberikan dukungan tanpa henti, membeli tiket, menyuarakan semangat, hingga mendukung dari layar kaca, tentu merasa diabaikan.

Sepak bola bukan sekadar urusan teknis, tapi juga soal hubungan emosional antara tim dan bangsa. Setiap keputusan federasi yang diambil secara sepihak tanpa komunikasi, akan menjauhkan institusi dari rakyat yang selama ini menjadi penopangnya.

Penting bagi PSSI dan seluruh pemangku kebijakan olahraga untuk menyadari bahwa kritik publik bukan bentuk kebencian, melainkan bentuk kepedulian.

Jika kepercayaan publik mulai terkikis, maka jalan menuju kemajuan akan semakin terjal. Namun masih ada harapan, selama federasi mau belajar, mendengar, dan memberi ruang pada proses yang sejati proses yang tidak hanya bertumpu pada hasil instan, tetapi juga menghargai perjalanan panjang di balik tiap kemajuan kecil. Karena pada akhirnya, mencintai sepak bola Indonesia berarti juga berani memperjuangkan arah yang lebih sehat dan bermartabat.

Pada akhirnya, membangun kepercayaan butuh waktu dan bukti nyata. Jika PSSI memang ingin serius dalam mengembangkan sepak bola nasional, mereka harus berani bertahan dengan sistem yang sudah berjalan baik, meski belum membuahkan trofi.

Mengganti pelatih saat situasi mulai stabil hanya akan membawa kita kembali ke titik awal. Proses itu perlu dijaga, bukan ditinggalkan.

Dan kalau PSSI terus gagal menunjukkan komitmen yang konsisten, jangan salahkan publik bila suatu hari mereka berhenti percaya. (*)

Ditulis oleh Safana Zahra, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan semester 2 Universitas Pamulang Serang.

Tulisan Terkait

Back to top button