Karya

RUU TNI: Jalan Sunyi Kembalinya Militer ke Panggung Sipil?

ZETIZENS.ID – RUU TNI tengah ramai dan hangat menjadi topik perbincangan Masyarakat Indonesia. Yang disahkan sampai menjadi sempel culture pendukung 02.

Meskipun tujuannya adalah untuk menjaga keamanan negara, masyarakat khawatir akan adanya potensi melebarnya ruang lingkup tugas TNI yang membuat aktif di dalam ranah sipil dan politik.

Sejarah Indonesia menujukkan bagaimana militer di kehidupan politik yang bisa membuat penghambat proses demokrasi Masyarakat dan meredam suara-suara mereka. Tetapi justru sebaliknya yang membuat Masyarakat terhalangi untuk melakukan proses demokrasi tersebut sehingga suara rakyat seperti tidak didengar.

Sebagai Masyarakat Indonesia yang dibawahi oleh kepemimpinan presiden harus mendukung kebijakan-kebijakan yang telah dibuat sekarang. Tetapi apabila ada kebijakan yang tidak sesuai dan tidak tepat kita perlu mengkritiknya. Sebab masyarakat pun berhak bersuara mengenai kebijakan ini.

Dalam RUU TNI ada beberapa isu hangat yang perlu dibahas diantaranya, jabatan sipil di mana TNI aktif yang bisa menjabat di 14 kementerian/lembaga tanpa harus mundur dapat menjabat juga di luar 14 lembaga tersebut.

Selanjutnya yaitu pensiun, hal ini mengenai perihal bintara dan tamtama 55 tahun, kolonel 58 tahun,perwira tinggi 60-62 tahun tergantung pada pangkat,perwira tinggi bintang 4 adalah 63 tahun dan bisa diperpanjang.

Dan yang terakhir adalah tugas baru yaitu perihal menanggulangi ancaman siber melindungi dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri.
Sumber: Kompas.id. (2024, 11 Juni).

Revisi UU TNI: Substansi, Kritik, dan Janji Menjaga Supremasi Sipil

Yang menjadi sorotan saat ini adalah wacana pemberian ruang bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil di 14 kementerian. Secara tidak langsung TNI diberikan kekuasaan dan kewenangan lebih dibidang sipil, hal ini dikhawatirkan membuka jalan bagi TNI untuk kembali menjadi aktor dominan dalam kepemimpinan negara.

Padahal di era reformasi 1998 disepakati bahwa urusan sipil harus dipimpin oleh kalangan sipil, sementara TNI difokuskan hanya pada tugas pertahanan dan keamanan negara.
Kesepakatan yang dibuat mengenai pengesahan ini bertentangan dengan adanya demokrasi yang ada di negara kita dan yang tidak bisa ditrima oleh masyarakat adalah RUU ini tidak dijelaskan bagaimana mekanisme akuntabilitas publik dan pengawasan terhadap militer dalam menjalankan tugas nonpertahanan.

Ketika militer diberi peran yang luas tetetapi tidak adanya pengawasan yang ketat maka kita sebagai masyarakat sedang membuka jalan menuju militerisme.

Hal ini akan membuat militer tidak akan takut dengan kendali demokrasi dan sipil yang ada pada negara kita ini. Dan kita sebagai masyarakat Indonesia pun perlu curiga bahwasanya perluasan militer yang disahkan saat ini bukan hanya untuk sekadar kepetingan efisiensi dan kebutuhan negara tetapi lebih mementingkan kekuasan politik pada saat ini, dalam demokrasi saat ini yang sedang lesu dan tidak stabil serta banyaknya militer di dalam struktur pemerintahan ini revisi UU TNI ini dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk mempertahankan dominasi elite tertentu.

Saat ini masyrakat dan negara sangat mendambakan keamanan dan stabilitas. Tetapi saat ini yang terjadi adalah kecemasan yang makin meluas di tengah masyarakat.

Salah satu alasan yang dijadikan dasar dalam revisi UU TNI adalah adanya ‘ancaman nonmiliter’ seperti serangan siber, terorisme, dan bencana alam. Akan tetapi menghadapi ancaman-ancaman tersebut tidak berarti seluruhnya harus melibatkan militer.

Justru persoalan-persoalan tersebut menuntut adanya koordinasi lintas sektor antar lembaga sipil dan negara, bukan dominasi militer dalam ruang-ruang sipil.

Kini masyarakat menjadi khawatir karena dahulu masyarakat Indonesia memperjuangkan reformasi dengan darah dan air mata kini telah dihapus dengan pena. Selain itu revisi RUU TNI ini sangat beresiko menciptakan tumpang tindih kewenangan di antara TNI dan Polri yang mana kewenangan ini dua institusi yang bersenjata dan dengan kewenangan mereka yang luas di ruang publik berpotensi akan terjadinya konflik.

Dengan tidak adanya batasan yang tegas di antara penggunaan kekuatan serta senjata oleh TNI di luar peperangan hal ini akan menimbulkan beberapa dampak seperti terjadinya pelanggaran HAM dalam skala yang luas, sejarah kita sudah menunjukkan bahwasanya keterlibatan di antara militer dan urusan sipil kerap diringi dengan adanya represi.

Selain itu juga legitimasi militer dapat menghambat generasi kepemimpinan dari kalangan sipil.

Apabila kursi-kursi strategis di pemerintahan diisi oleh perwira-perwira aktif TNI, maka kemungkinan yang terjadi yaitu adanya penumpukan kekuasaan di tangan militer, hal ini sangat bebahaya untuk keberlangsungan demokrasi negara kita, demokrasi yang baik seharusnya membuka peluang atau ruang bagi warga sipil, dan bukan memberikan keistimewaan untuk militer.

Dominasi militer dalam ruang-ruang sipil hanya akan mengaburkan batas antara otoritas sipil dan kekuatan bersenjata, yang semestinya dipisahkan dalam sistem demokrasi modern.

RUU TNI ini telah menimbulkan kecemasan di berbagai daerah, di berbagai kasus terutama kehadiran militer dalam konflik agraria dan penanganan demonstrasi warga sipil.

Dalam banyak kasus, keterlibatan militer justru memperkeruh situasi dan menekan ruang gerak masyarakat. Jika RUU TNI disahkan maka suara masyarakat tidak akan didengar dalam arti lain masyarakat tidak mendapatkan ruang untuk bersuara.

Padahal, kebebasan untuk berekspresi dan berkumpul secara damai merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Konstitusi Republik Indonesia 1945, Pasal 28E ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

KontraS (2024), Pernyataan Sikap Penolakan Revisi UU TNI

Menurut saya DPR dan pemerintah harusnya saat ini mendengarakan suara rakyat dan fungsi legislatif sebagai wakil rakyat untuk bertangggung jawab atas keberanian moral mengenai pasal RUU TNI.

Saat ini kalangan dari barbagai kelompok dimulai dari kalangan akademisi, pengamat politik, hingga organisasi sipil pun meyuarakan penolakan mereka. Hal Ini mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia. peduli terhadap demokrasi.

Oleh karena itu, suara publik harus terus diperkuat agar tidak tenggelam dalam arus politik yang cenderung mengabaikan aspirasi rakyat.

Revisi RUU TNI bukan hanya tentang masalah teknis lelembgaan saja ,tetapi menyangkut masa depan demokrasi di negara kita.

Penempatan militer di ranah sipil ,perpanjangan usia pensiun,dan penambahan tugas baru membuka peluang militer kembali masuk ke ruang kekuasaan sipil yang telah kita Batasi sejak era reformasi.

Dalam situasi demokrasi yang sedang tiak stabil ,revisi saat ini memberi peluang masuknya dominasi militer dan elite politik tertentu.

Oleh karena itu masyarakat tetap waspada ,bersuara,dan aktif menjaga nilai-nilai demokrasi. Keterlibatan public adalah kunci utama untuk menolak segala bentuk kebijakan yang mengancam kebebasan sipil dan supremasi sipil atas militer. (*)

Ditulis oleh Wahidatull Nabiila As’syarif, mahasiswa semester 2 Universitas Pamulang

Tulisan Terkait

Back to top button