Perlu Adanya Tinjauan Ulang Untuk Kebijakan Masuk Sekolah Jam 6 Pagi
Antara Mendisiplinkan atau Membawa Masalah Bagi Anak

ZETIZENS.ID – Belakangan ini, masyarakat Jawa Barat digemparkan dengan kebijakan pemerintah daerahnya yang menimbulkan pembicaraan publik, adanya kebijakan masuk sekolah pukul 6 pagi di beberapa wilayah Jawa Barat menuai berbagai tanggapan di masyarakat.
Kebijakan ini mulai ramai diperbincangkan setelah mantan Bupati Purwakarta sekaligus gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi atau lebih populer dengan panggilan kang dedi mulyadi (KDM) mengumumkan pernyataan penting.
Demi menyuarakan pentingnya pembentukan karakter sejak dini melalui penegakan disiplin waktu di sekolah, maka di bentuklah kebijakan ini.
Dengan tujuannya guna mencetak generasi muda yang teratur, tangguh, dan terbiasa hidup disiplin. Namun, timbul pertanyaan apakah kebijakan ini relevan untuk diterapkan secara luas tanpa mempertimbangkan kondisi sosial, geografis, dan psikologis anak? Tentu hal tersebut menarik untuk di perbincangkan.
Tidak dapat disangkal bahwa gagasan di balik kebijakan ini membawa niat baik untuk masyarakat Jawa Barat.
Guna mendisiplinkan anak sejak usia sekolah dengan kebiasaan bangun pagi dianggap dapat membentuk karakter yang bertanggung jawab.
Selain itu, masuk sekolah lebih pagi juga digadang-gadang sebagai solusi untuk menghindari kemacetan lalu lintas yang sering terjadi saat jam masuk kerja.
Dalam kerangka berpikir ini, anak-anak diharapkan menjadi pribadi yang disiplin, tepat waktu, dan siap bersaing pada masa depan.
Namun, di sisi lain, didapati berbagai laporan dan keluhan dari sebagian siswa serta guru menunjukkan adanya potensi tekanan psikologis yang signifikan di antara mereka.
Beberapa anak yang “dipaksa” bangun sebelum pukul 5 pagi untuk bersiap ke sekolah itu mengeluhkan mengalami kelelahan secara emosional, stres, dan gangguan suasana hati.
Dengan kualitas tidur yang terganggu berimbas pada kestabilan emosi dan menurunkan semangat belajar. Karena tentunya bagi sebagain anak-anak usia remaja yang sedang dalam fase pencarian jati diri ini, tekanan semacam ini justru dapat memicu pemberontakan dan hilangnya motivasi belajar dalam diri mereka.
Selain dampak mental yang telah disebutkan, kesehatan fisik anak pun menjadi taruhan bagi mereka. Anak usia sekolah yang diharuskan bangun sangat pagi sebagai akibat dari kebijakan ini cenderung mengalami kurang tidur.
Tentu hal ini menjadi perhatian penting, karena ini dapat menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh, sehingga siswa berpotensi lebih mudah sakit.
Bahkan dalam jangka panjang, kelelahan yang dialami terus-menerus dapat menyebabkan gangguan konsentrasi, yang mengakibatkan metabolisme tubuh dapat terganggu, bahkan masalah hormonal ini menjadi ancaman yang dapat menghambat pertumbuhan remaja.
Di samping itu, pertanyaan krusial kemudian muncul kembali, apakah benar dengan anak sekolah masuk jam 6 pagi membuat siswa menjadi lebih disiplin?
Bukti empiris menunjukkan bahwa kedisiplinan lahir dari kesadaran, bukan dari pemaksaan jadwal ini. Beberapa sekolah yang menerapkan jam masuk lebih pagi ini justru mengalami peningkatan keterlambatan dan absensi. Alih-alih meningkatkan kedisiplinan yang diharapkan, kebijakan ini malah memperbesar tekanan dan menciptakan beban baru berupa keterlambatan yang meningkat ini justru membuat solusi penyelesaian yang belum menyentuh akar masalah perilaku siswa tersebut.
Kita tinjau juga dari sisi biologis yang di mana ketika tubuh belum sepenuhnya siap untuk menerima pembelajaran intensif di pagi buta, maka kemampuan konsentrasi siswa pun justru mengalamai penurunan drastis. Bahkan penelitian dan surveri yang dilakukan berbagai lembaga pendidikan menunjukkan bahwa siswa cenderung lebih produktif saat otak mereka sudah aktif sepenuhnya, yaitu sekitar pukul 8 hingga 10 pagi.
Oleh sebab itu, memaksakan waktu belajar terlalu pagi dapat membuat mereka kesulitan memahami pelajaran, yang pada akhirnya menurunkan prestasi akademik mereka.
Sejauh ini, kebijakan ini menuai berbagai respons dari orang tua. Sebagian mendukung kebijakan ini karena percaya pada nilai disiplin yang diajarkan dan siduarakan oleh kang dedi mulyadi ini, tetapi sebagian lain lebih banyak yang merasa terbebani atas hal itu.
Efek domino dari itu orang tua harus bangun lebih pagi, menyiapkan anak dalam keadaan terburu-buru, dan menyesuaikan jadwal kerja mereka.
Masyarakat pun mulai mempertanyakan urgensi kebijakan ini jika hanya menambah kerepotan tanpa hasil signifikan. Bahkan banyak pula yang menyayangkan bahwa kebijakan ini seolah tidak melibatkan konsultasi publik yang cukup.
Jika kita berkaca pada negara-negara maju seperti Finlandia, Jepang, atau bahkan Amerika Serikat, waktu masuk sekolah di negara tersebut umumnya dimulai pukul 8 atau bahkan 9 pagi. Bahkan badan organisasi Kesehatan dunia WHO secara tegas memberikan rekomendasi agar anak usia sekolah tidak mulai belajar sebelum pukul 8 pagi, demi kesehatan mental dan fisik mereka.
Merujuk hal tersebut, Indonesia khususnya Jawa Barat perlu mempertimbangkan kembali terkait penerapan kebijakan baru ini, dengan lebih banyak melakukan riset ilmiah dalam menentukan jam masuk sekolah.
Selain itu juga perlu ditinjau pada aspek lain yang patut dikritisi, terkait kesiapan transportasi dan keamanan anak di pagi hari, karena tentu ini akan menjadi penunjang jika kebijakan ini seterusnya ditetapkan.
Di banyak daerah di Jawa Barat, transportasi umum belum berjalan efektif ketika sebelum pukul 6 ini, maka akibatnya anak-anak harus berjalan kaki atau naik kendaraan pribadi dalam kondisi jalanan yang masih gelap.
Tentu ada risiko-risiko lain muncul seperti kecelakaan, kejahatan, atau gangguan cuaca yang dilewati para siswa menjadi tantangan serius yang mengancam keselamatan siswa, terutama yang tinggal di wilayah pedesaan seperti penerangan jalan yang masih minim dan infrastruktur pendukung lainnya.
Jika ditinjau secata regulasi, tidak ada aturan nasional yang secara spesifik mewajibkan sekolah dimulai jam 6 pagi ini. Bahkan jika ditinjau dari Peraturan Menteri Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti justru di dalamnya menekankan pentingnya kenyamanan dan keamanan dalam praktik kegiatan belajar.
Maka jika kebijakan ini dipaksakan secara sepihak tanpa dasar hukum yang kuat, maka bisa menimbulkan konflik antara pemerintah daerah jawa barat dengan berbagai pihak terkait seperti pihak sekolah ataupun masyarakat.
Akibat lain dari adanya kebijakan fenomenal ini, jadwal sekolah yang terlalu pagi juga berpotensi akan berdampak pada dinamika keluarga.
Anak akan cenderung tidak memiliki waktu cukup untuk sarapan bersama, berbicara dengan orang tua, atau menikmati momen kebersamaan pagi hari. Selain itu, waktu tidur malam pun akan terpotong, sehingga anak kehilangan waktu berkualitas dengan keluarganya.
Selain itu juga aktivitas sosial anak juga akan terganggu karena mereka harus tidur lebih awal dan bangun lebih pagi, yang tidak selalu sesuai dengan pola kehidupan sosial sekitarnya.
Peninjauan ulang terhadap kebijakan ini tentu diperlukan untuk merumuskan alternatif lain dalam mencapai tujuan yang diinginkan sebagai opsi pilihan.
Pada dasarnya kedisiplinan tidak harus dibentuk lewat pemaksaan jam masuk sekolah yang lebih pagi.
Alternatif kebijakan seperti program pembentukan karakter di dalam kelas, pelatihan kepemimpinan, kegiatan ekstrakurikuler yang menanamkan nilai-nilaii dan rasa tanggung jawab dengan implementasi nyata, bahkan hingga penerapan sistem reward and punishment yang adil bisa menjadi solusi untuk menanamkan kedisiplinan anak.
Beriiringan dengan hal tersebut, sekolah juga bisa menerapkan sistem pembelajaran yang lebih fleksibel yang lebih berfokus pada kontestual yang fokus pada keterlibatan aktif siswa dan bukan hanya ketepatan waktu saja.
Jika kita meninjau pendapat para ahli, banyak psikolog dan pakar pendidikan yang memberikan penilaian bahwa kebijakan ini tidak sejalan dengan kebutuhan perkembangan anak di zaman sekarang.
Menurut mereka, anak membutuhkan tidur minimal 8 jam per malamnya untuk dapat tumbuh optimal. Mereka juga menekankan bahwa penerapan kebijakan tanpa mempertimbangkan kondisi biologis dan sosial siswa yang sudah dibahas sebelumnya dapat menimbulkan efek jangka panjang terhadap kesehatan mental, performa akademik, dan kepercayaan diri dari anak tersebut.
Dengan adanya kebijakan masuk jam 6 pagi ini juga akan menciptakan ketimpangan baru antara siswa yang ada di wilayah yang termasuk perkotaan dan pedesaan.
Siswa di wilayah pedalaman harus berangkat lebih awal, bahkan sejak pukul 4 pagi. Ini menjadi tantangan besar, terlebih jika akses jalan buruk atau transportasi terbatas.
Ketimpangan ini berisiko memperbesar jurang kesenjangan Pendidikan yang ada di jawa barat, karena siswa yang tinggal jauh cenderung datang terlambat atau lebih mudah lelah karena perjalanan yang lebih panjang, yang akhirnya memengaruhi kualitas belajar mereka ketika tiba di sekolah.
Melihat berbagai pertimbangan yang telah dibahas, maka sudah saatnya untuk kebijakan masuk sekolah jam 6 pagi di Jawa Barat ini ditinjau ulang secara serius dengan melibatkan banyak ahli pertimbangan mendalam.
Pemerintah daerah khususnya di bawah kepemimpinan gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi perlu membuka ruang dialog terbuka dengan melibatkan pihak dari objek kebijakan ini yaitu guru, orang tua, siswa, dan pakar-pakar pendidikan.
Solusi terbaik bukanlah soal siapa yang paling keras mendisiplinkan, melainkan siapa yang paling bijak dalam menciptakan sistem pendidikan yang sehat, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan anak dan pihak lainnya.
Tentu persolanan kedisiplinan ini memang penting, tetapi harus sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keberlanjutan tumbuh kembang siswa sebagai generasi penerus pada masa yang akan datang. (*)
Ditulis oleh Dela Novera, mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Pamulang