Polemik Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

ZETIZENS.ID – Penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah diusulkan oleh pemerintah, terutama oleh menteri kebudayaan, kini menjadi isu yang sangat diperdebatkan dan kontroversial, sehingga mendapat berbagai tanggapan dari masyarakat, mulai dari protes hingga penolakan.
Revisi ulang sejarah Indonesia ini perlu diperhatikan secara cermat, karena apabila dikerjakan secara cepat dan tanpa kejelasan, hal tersebut dapat memberikan lebih banyak potensi dampak negatif daripada dampak positifnya.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon berkata, penulisan ulang sejarah tersebut adalah sebuah keharusan karena dengan alasan demi menghapus bias kolonial dan memperkuat identitas nasional dalam menghadapi tantangan globalisasi masa kini, selain itu untuk menghasilkan buku yang akan menjadi “sejarah resmi”.
Pemerintah menyadari bahwa kita tidak bisa terus-menerus mewariskan sejarah yang setengah-setengah kepada generasi yang mendatang.
Harry Truman Simanjuntak, seorang arkeolog menyoroti mengenai ungkapan “sejarah resmi” karena menurutnya untuk menggunakan ungkapan “sejarah resmi” pemerintah tidak memiliki hak atau kekuasaan untuk menulis sejarah resmi, sementara tulisan-tulisan terdahulu tidak dianggap resmi.
Proyek untuk penulisan ulang sejarah Indonesia memerlukan anggaran hingga mencapai 9 miliar. Akan ada 100 lebih sejarawan yang akan dilibatkan dalam penulisan ulang sejarah Indonesia dan akan dipimpin oleh guru besar ilmu sejarah FIB [Fakultas Ilmu Budaya] UI yaitu Susanto Z.
Penulisan ulang sejarah Indonesia akan tersusun menjadi 10 jilid yang mana di dalamnya akan menceritakan awal mula sejarah nusantara, masa penjajahan, perang kemerdekaan, orde baru, hingga ke era reformasi yang akan terbentuk di dalam 1 draf buku besar.
Namun, menurut berbagai sumber yang beredar kementerian kebudayaan hanya akan mencantumkan 2 dari 12 kasus pelanggaran ham berat ke dalam buku revisi edisi “sejarah resmi” itu, yang padahal seharusnya kasus-kasus tersebut sudah diakui oleh negara.
Sejarah adalah gambaran dari perjalanan atau perputaran waktu suatu negara yang sebaiknya disajikan dengan objektif dan tanpa adanya bias. Apabila pemerintah memegang kendali penuh pada proses penulisan ulang sejarah, kemungkinan besar terjadi risiko tinggi hanya demi kepentingan elit politik saat ini. Itu artinya peristiwa-peristiwa penting bisa saja ditiadakan, dimanipulasi, dan juga disalahgunakan hanya untuk kepentingan segelintir pihak.
Sejarah yang direkayasa berpotensi kehilangan kepercayaannya sebagai ilmu pengetahuan. Sejarah bukan hanya semata-mata cerita masa lalu, akan tetapi dihasilkan dari hasil bukti-bukti antropologis, arkeologis, dokumen-dokumen dan bukti kesaksian dari masyarakat yang mengalami kejadian sejarah pada masa itu.
Penulisan ulang sejarah Indonesia yang dikelola oleh pemerintah dengan cara yang tidak transparan akan menghasilkan penafsiran tunggal atau versi sejarah yang dipaksakan kepada publik atau masyarakat.
Hal tersebut dapat beresiko menutup ruang diskusi, sehingga dapat terjadinya perbedaan pendapat antar masyarakat. Sejarah yang baik ialah sejarah yang dibuat tanpa ditutupi atau yang sebenar-benarnya terjadi, tanpa di rekayasa dan terbuka terhadap berbagai perspektif.
Penulisan ulang sejarah yang dilakukan secara satu pihak atau tidak melibatkan pihak lain yaitu masyarakat, dapat menghilangkan bahkan menghapuskan peristiwa-peristiwa sejarah yang berhubungan dengan Konflik sosial, pelanggaran HAM, dan pergerakan atau perjuangan rakyat kecil.
Salah satu contohnya ialah Tragedi Trisakti yang dimana apabila tragedi tersebut ditulis sepihak oleh pemerintah dan dipersembahkan dalam sudut pandang yang berat sebelah, perspektif yang condong, dan tidak objektif. Maka akan menimbulkan ketidakadilan bagi korban dan juga keluarganya yang merasakan.
Sejarah yang tidak menyertakan bukti-bukti atau cerita-cerita dari korban maupun keluarganya, maka itu merupakan suatu bentuk ketidakadilan. Mereka mempunyai hak suara dalam buku-buku sejarah dan juga mereka pantas untuk menerima penghargaan atas pengalaman dan kesengsaraan hingga penderitaan yang mereka alami, bukannya malah dihilangkan dari narasi resmi.
Pemerintah bukan termasuk satu-satunya pihak yang mempunyai hak untuk menafsirkan sejarah Indonesia. Suara dari rakyat yang menjadi korban dari tindakan dan kebijakan pemerintah juga harus tetap diakui hak suaranya untuk menyampaikan pengalaman sejarah yang pernah mereka alami.
Selain itu juga, Ita Fatia Nadia seorang sejarawan feminis mengkritik dan juga menolak setuju mengenai proses penulisan ulang sejarah Indonesia, karena menurut pandangannya program tersebut merupakan program yang berambisi sehingga dibuat tanpa adanya musyawarah.
Ita juga mengatakan, mentri kebudayaan fadli zon mengumumkan secara tiba-tiba pada desember 2024 bahwa akan diadakannya agenda untuk merevisi ulang sejarah Indonesia, akan tetapi proses tersebut dilaksanakan tanpa adanya musyawarah publik. Kemudian secara tiba-tiba disampaikan bahwa penulisan ulang tersebut akan diresmikan pada agustus 2025, yang berarti proses tersebut hanya dilaksanakan dalam beberapa bulan saja.
Revisi penulisan ulang sejarah Indonesia yang dibuat secara terburu-buru, tertutup, dan tidak melibatkan diskusi publik akan mengakibatkan minimnya kepercayaan publik mengenai hasilnya. Karena sejarah yang tidak dikelola secara jujur akan menyebabkan penyebaran informasi yang bias dan dapat memperkuat pemerintahan otoriter. Di samping itu, situasi tersebut dapat berfungsi sebagai sarana untuk membenarkan kekuasaan pemerintah saat ini.
Apabila kita melihat proses penulisan buku sejarah nasional di masa lalu itu dilakukan secara terbuka dan juga tidak terburu-buru. Pada tahun 50-an diadakan diskusi publik yang membahas mengenai apa saja yang akan dicantumkan dalam buku sejarah tersebut kemudian para pemikir saling beradu argumen sehingga memicu adanya diskusi hingga perdebatan.
Oleh karena itu, penulisan ulang sejarah yang dilakukan secara terburu-buru dapat menyebabkan pertimbangan terhadap peristiwa-peristiwa di masa lalu yang bertentangan dengan rezim masa kini. Sebab seharusnya sejarah disusun berdasarkan fakta dan tanpa pengagungan berlebihan yang bisa menggoyangkan keaslian sejarah itu sendiri. (*)
Ditulis oleh Zelda Ristiyana, Ilmu Pemerintahan, semester 2, Universitas Pamulang.