Sepenggal Surga yang Jatuh ke Bumi, yang Seharusnya Dijaga Bukan Dieksploitasi

ZETIZENS.ID – Raja Ampat dikenal sebagai “sepenggal surga yang jatuh ke bumi”, karena keindahan alamnya yang luar biasa. Julukan ini sangat terkenal baik di wisatawan dalam negeri maupun mancanegara.
Raja Ampat memiliki lebih dari 1.500 pulau kecil, atol, dan karang terbesar di papua Barat. Di perairannya terdapat kurang lebih 550 karang dan 1.500 spesies ikan laut. Karena memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah ini, raja ampat menjadi salah satu kawasan paling kaya biodiversitas di dunia.
Bagaimana mungkin sebuah wilayah yang menyimpan harta karun yang begitu melimpah, bisa dijadikan lokasi eksploitasi tambang? Di wilayah seperti ini, seharusnya hanya konservasi dan pendidikan lingkungan yang tumbuh, bukan alat-alat berat dan pengerukan tanah.
Perizinan di empat perusahaan tambang nikel memang telah di cabut oleh pemerintah pada 10 Juni 2025. Langkah itu harus di apresiasi.
Tetapi jujur saja, saya belum sepenuhnya lega. Karena masih ada satu perusahaan yang tetap beroperasi, yaitu PT Gag Nikel. Walaupun lokasinya masih terbilang jauh dari kawasan inti raja ampat, masih sekitar 42 kilometer lagi, tapi itu bukan berarti tidak memiliki dampak. Laut dan ekosistem tidak mengenal batas administrasi.
Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi, pernah bilang bahwa Raja Ampat itu luas, dan tambang hanya sebagian kecil saja. Saya bisa memahami perspektif itu dari sisi ekonomi.
Tapi yang namanya kerusakan lingkungan tidak diukur dari seberapa jauh dan luasnya wilayah. Sedikit kerusakan di satu titik bisa merusak keseluruhan rantai kehidupan bawah laut yang saling terhubung. Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata. Tapi adalah rumah bagi ribuan makhluk hidup yang tidak bisa berpindah seperti manusia.
Yang membuat khawatir adalah bahwa tambang bisa dibuka lagi sewaktu-waktu. Meskipun empat izin perusahaan tambang nikel sudah dicabut, tetapi masih ada satu perusahaan yaitu PT Gag Nikel yang masih tetap aktif.
Mereka mengatakan sudah menanam ratusan ribu pohon dan melepas tukik penyu. Tapi apakah itu cukup untuk menebus deforestasi dan sedimentasi yang sudah terjadi? Saya ragu.
Restorasi lingkungan itu bukan sulap yang bisa dengan cepat berhasil, tapi butuh waktu puluhan bahkan ratusan tahun.
Kritik juga datang dari berbagai pihak. Greenpeace misalnya, menegaskan bahwa Pulau Gag adalah pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Kalau dasar hukumnya sudah melarang, kenapa masih diberi izin? Ini bukan cuma soal lingkungan, tapi soal konsistensi penegakan hukum dan kebijakan publik.
Nikel memang dibutuhkan sebagai baterai kendaraan listrik dan energi hijau. Tapi bukankah tidak semua wilayah harus ditambang demi alasan itu.
Seharusnya kita bisa membedakan mana wilayah yang boleh dieksploitasi, dan mana yang harus dijaga. Raja Ampat sudah terlalu penting secara ekologis dan simbolis untuk dijadikan korban pertambangan.
Raja Ampat mempunyai potensi sebagai pusat ekowisata dunia. Jika dikelola dengan baik, wilayah ini akan sangat bermanfaat dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar dan dibandingkan tambang.
Selain itu, banyak masyarakat adat di sana yang bergantung pada laut. Jika laut rusak, yang hilang bukan cuma ikan, tapi juga budaya, sejarah, dan kesempatan bagi generasi generasi muda untuk menikmati kekayaan alam yang ada di Indonesia saat ini.
Belum lagi soal dugaan bahwa PT Gag Nikel punya tunggakan pajak ke daerah senilai ratusan miliar rupiah. Perusahaan membantah, tapi publik tetap berhak bertanya.
Kalau memang kontribusinya besar, kenapa masyarakat Raja Ampat masih tertinggal secara ekonomi?
Apakah tambang benar-benar menyejahterakan warga setempat, atau hanya menguntungkan segelintir pemilik modal?
Saya tidak ingin menjadi bagian dari generasi yang tinggal diam saat warisan alam seindah ini dirusak. Mungkin suara saya kecil. Tapi saya percaya, kalau kita semua berbicara, maka suara kecil bisa jadi gelombang besar.
Kita masih harus terus kritis, terus mengawal, dan mempertanyakan keputusan-keputusan besar yang menyangkut alam dan masa depan.
Sekarang, kasus ini sudah menjadi perhatian publik. Banyak dari mahasiswa, aktivis, jurnalis, bahkan masyarakat adat sudah menyuarakan penolakan terhadap tambang. Tapi kita tidak boleh cepat puas. Pemerintah harus benar-benar memastikan bahwa semua izin tambang di kawasan sensitif seperti Raja Ampat tidak hanya ditangguhkan, tapi dihentikan total.
Saya berharap, pemerintah di bawah kepemimpinan baru benar-benar menepati janji mereka untuk menyeimbangkan pembangunan dengan perlindungan lingkungan. Jangan sampai kata “berkelanjutan” hanya jadi jargon di atas kertas, sementara realitanya justru sebaliknya.
Raja Ampat bukan tempat biasa. Ia adalah warisan bumi yang seharusnya kita jaga, bukan kita rusak. Jika kita gagal menjaganya, maka sejarah akan mencatat bahwa kita pernah memiliki surga di ujung timur dan kita sendiri yang menghancurkannya.
Sudah seharusnya dan saatnya kita berhenti melihat alam hanya sebagai komoditas, dan mulai menjadikanya sebagai warisan hidup yang harus dirawat dengan rasa hormat dan tanggung jawab.
Mari kita jaga Raja Ampat, bukan hanya demi hari ini, tapi demi generasi yang akan datang agar mereka masih bisa menikmati keindahan alam yang nyata dengan menyelam di laut yang jernih, melihat karang yang indah, dan mengenal jati diri bangsa yang mencintai alamnya. Jangan biarkan keserakahan hari ini menjadi penyesalan esok hari. (*)
Ditulis oleh Cinta Dela Saputri, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Imu Pemerintahan, Universitas Pamulang