Republikanisme Cicero

ZETIZENS.ID – Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM) merupakan filsuf, orator, sekaligus negarawan Romawi yang pemikirannya banyak memengaruhi teori politik klasik hingga modern.
Salah satu warisannya yang paling penting adalah gagasan mengenai republikanisme, yang berpijak pada pandangan bahwa negara (res publica) adalah milik rakyat, berdiri di atas dasar hukum dan keadilan.
Bagi Cicero, hukum sejati bersumber pada akal dan moralitas universal (lex naturalis), bukan sekadar produk penguasa. Tulisan ini membahas prinsip-prinsip republikanisme Cicero, lalu merefleksikan relevansinya dalam kehidupan politik modern, khususnya di Indonesia.
Cicero hidup pada masa krisis Republik Romawi yang ditandai dengan konflik elit, korupsi, dan perebutan kekuasaan.
Dalam situasi itu, ia menawarkan gagasan bahwa republik sejati harus berpijak pada keadilan dan hukum, bukan semata-mata pada kehendak individu atau kelompok penguasa.
1. Res Publica: Negara sebagai Milik Bersama
Dalam karyanya De Re Publica, Cicero menulis bahwa:
“Res publica res populi est”
(Republik adalah milik rakyat).
Artinya, negara bukanlah milik penguasa, tetapi milik seluruh rakyat. Namun, rakyat yang dimaksud Cicero bukan sekadar kumpulan individu, melainkan komunitas yang disatukan oleh persetujuan mengenai hukum (consensus iuris) dan kepentingan bersama (utilitas communis).
2. Hukum Alam sebagai Dasar Republik
Cicero memandang hukum sejati (vera lex) bukanlah sekadar aturan yang dibuat penguasa, tetapi hukum alam (lex naturalis) yang berlaku universal dan abadi. Dalam De Legibus ia menyatakan:
“Ada hukum sejati, yaitu akal yang sesuai dengan alam, berlaku bagi semua orang, kekal, dan tidak berubah.”
Menurut Cicero, hukum alam ini bersumber pada akal budi manusia dan moralitas. Maka, hukum positif (aturan negara) harus sesuai dengan hukum alam agar sah dan adil. Jika suatu aturan bertentangan dengan hukum alam, maka aturan itu bukan hukum yang sejati.
3. Kebajikan Pemimpin dan Moralitas Publik
Cicero sangat menekankan peran moralitas dalam politik. Ia menilai bahwa republik tidak akan bertahan jika para pemimpinnya tidak memiliki virtus (kebajikan). Kekuasaan tanpa moral akan melahirkan tirani dan korupsi.
Baginya, pemimpin sejati adalah “servus legis” (hamba hukum), bukan tuannya.
Cicero percaya bahwa moralitas publik harus menjadi fondasi politik. Hukum dan institusi negara tidak akan efektif jika masyarakat dan elit politik kehilangan rasa keadilan. Dengan demikian, republik hanya dapat bertahan jika pemimpinnya mempraktikkan keadilan, kebijaksanaan, dan keberanian moral.
Jika dilihat dari konteks modern, pemikiran Cicero tampak sangat relevan. Gagasannya tentang res publica selaras dengan prinsip demokrasi bahwa negara adalah milik rakyat.
Pandangannya tentang hukum alam memberi inspirasi bagi rule of law dan konstitusionalisme modern, di mana hukum harus mengekspresikan nilai-nilai keadilan universal, bukan sekadar hasil kompromi politik.
Dalam konteks Indonesia, republikanisme Cicero dapat menjadi cermin. Secara normatif, UUD 1945 setelah amandemen telah mencerminkan prinsip republik yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, menjunjung hukum, serta melindungi hak-hak dasar. Namun, dalam praktik, tantangan besar masih ada: maraknya korupsi, lemahnya integritas pejabat publik, serta politisasi hukum.
Pesan paling penting dari Cicero adalah bahwa republik tidak hanya membutuhkan aturan dan konstitusi, tetapi juga pemimpin dan rakyat yang bermoral.
Tanpa kebajikan, demokrasi mudah berubah menjadi oligarki atau tirani terselubung. Indonesia dapat belajar dari Cicero bahwa supremasi hukum dan konstitusi hanya akan bermakna jika dijalankan dengan integritas moral, dan kepentingan umum sungguh ditempatkan di atas kepentingan pribadi maupun golongan.
Republikanisme Cicero menekankan tiga prinsip utama: (1) negara sebagai milik rakyat (res publica res populi est), (2) hukum alam sebagai dasar keadilan dan hukum positif, serta (3) pentingnya kebajikan dan moralitas dalam kepemimpinan.
Gagasan ini bukan hanya relevan dalam sejarah Romawi, tetapi juga memberi pelajaran penting bagi negara modern, termasuk Indonesia.
Cicero menegaskan bahwa republik sejati tidak cukup dengan institusi dan hukum, melainkan harus dijaga oleh moralitas pemimpin dan rakyatnya. Tanpa itu, republik hanya menjadi formalitas yang mudah runtuh oleh kepentingan sempit. (*)
Ditulis oleh Bima Yudhistira S, makasih semester 3, Universitas Pamulang serang







