Karya

Konstitusionalisme dan Dinamika Negara Hukum Modern

ZETIZENS.ID – Konstitusionalisme ialah prinsip jika kekuasaan negara sebaiknya diatur dan dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Sementara itu, negara hukum modern lebih memfokuskan bahwa seluruh tindakan pemerintah juga warga negara harus patuh pada hukum yang berlaku.

Dalam situasi Indonesia, isu konstitusionalisme dan negara modern sangat relevan sesuai dengan dasar dasar negara yang ditekankan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yaitu “Indonesia adalah negara hukum.”

Melihat perjalanan panjang sejarah Indonesia mencerminkan bahwasanya meski secara standar konsep negara hukum di Indonesia sudah mapan, tetapi dalam praktiknya masih sering terdapat tantangan dan juga penyimpangan.

Pada zaman orde lama dan orde baru, prinsip-prinsip konstitusionalisme masih sering kali diabaikan karena adanya dominasi kekuasaan yang sangat kuat. Di mana presiden memiliki kekuasan penuh untuk mengontrol jalannya pemerintahan, sementara lembaga legislatif dan yudikatif tidak di beri ruang untuk bersikap independen.

Keadaan tersebut menegaskan peringatan dari Lord Acton, yakni “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

Yang artinya kekuasaan yang tidak di awasi oleh konstitusi malah menimbulkan otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan.

Di era Reformasi 1988 menjadi titik balik penting, karena pada saat itu ditandai dengan adanya amandemen UUD 1945, penguatan lembaga-lembaga negara, dan pengakuan terhadap hak asasi manusia. Namun dalam perjalanan membangun negara hukum modern setelah reformasi masih banyak hambatan yang dilewati.

Pentingnya konstitusionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semakin jelas dan dapat terlihat dari beberapa isu. Misalnya, melemahnya Komisi Pemberantasaan Korupsi (KPK) melalui revisi undang-undang pada tahun 2019 membuktikan bahwa kepentingan politik bisa mengurangi semangat Rule Of Law.

Faktanya, sedari awal kehadiran KPK merupakan simbol dari reformasi hukum dan usaha keras untuk pemberantasan korupsi.

Adapula kasus lain ialah perdebatan tentang keputusan mahkamah konstitusi mengenai masalah sengketa pemilu dan usia calon presiden, yang menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap independensi lembaga yudisial tertinggi.

Seperti yang dikatakan Montesquieu dalam L’Esprit des Lois yaitu “Tidak ada kebebasan jika kekuasaan tertinggi atau kehakiman tidak dipisahkan dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif.”

Tetapi dilihat dari pengalaman yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa jika sekadar memiliki susunan kelembagaan saja tidak akan cukup tanpa adanya integritas dari aparat dan komitmen politik yang stabil.

Selain itu, isu pelanggaran HAM juga menunjukkan adanya kesenjangan antara teori dan praktik negara hukum modern. Seperti contohnya tragedi 1965 dan juga kasus penculikan aktivis pada tahun 1998, tetapi sampai saat ini masih belum diselesaikan dengan tuntas secara hukum.

Hal tersebut menimbulkan pertentangan yang di mana pada satu sisi, Indonesia menjunjung suatu konstitusi yang mengakui hak asasi manusia, namun di sisi lain masih sangat sulit untuk para korban mendapatkan keadilan dan dijamin akuntabilitasnya.

Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State menyatakan “Inti dari hukum adalah normativitasnya; hukum adalah suatu norma, bukan fakta.”

Di mana kalau kita cocokkan dengan konteks Indonesia, kestabilan norma tersebut masih belum sepenuhnya tercermin untuk meneggakan hukum dalam kasus besar.

Seberapa penting kita mengerti konstitusionalisme dan negara hukum modern? Jawabannya sangat penting karena konstitusionalisme dan negara hukum modern ini dapat mengajarkan gerenasi sekarang akan pendidikan politik dan juga kesadaran hukum masyarakat.

Generasi muda saat ini harus menyadari dan juga memahami bahwa konstitusionalisme bukan hanya sekedar tulisan dalam UUD, justru konstitusionalisme ialah alat yang sangat penting untuk mamantau jalannya pemerintahan.

Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Dengan adanya pernyataan tersebut dapat digarisbawahi bahwa seharusnya negara hukum tidak hanya terhenti pada aspek formal dari regulasi, tetapi harus tetap mengutamakan keadilan sebagai prioritas utama.

Kesadaran masyarakat dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial yang efektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, hal ini ditulis bukan hanya sekedar untuk mengembangkan teori saja, melainkan untuk menciptakan kesadaran bersama mengenai supremasi hukum.

Juga tidak kalah pentingnya, pengalaman yang terjadi di Indonesia dalam konstitusionalisme dan negara hukum modern yang bisa memberikan solusi untuk hal tersebut yaitu, memperkuat otonomi lembaga peradilan supaya terhindar dari tekanan politik yang ada, menjamin keterbukaan dalam proses pembuatan UUD sehingga hasil yang diperoleh dapat menguntungkan untuk warga negara, bukan hanya menguntungkan para elit.

Memberikan kesempatan kepada masyarakat dan juga media untuk dapat berperan dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Langkah tersebut sesuai dengan prinsip Good Governance yang mengutamakan keterbukaan, akuntabilitas dan juga partisipasi.

Mahfud MD mengatakan pada salah satu tulisannya yaitu “Konstitusi bukan sekedar teks saja, melainkan cermin aspirasi, semangat dan arah bernegara.”

Atau dengan kata lain, mempertahankan atau melestarikan koonstitusionalisme memiliki makna menjaga arah perjalanan bangsa itu sendiri.

Dengan memahami konstitusionalisme serta konsep negara hukum yang modern, kita tidak hanya diundang untuk mengenali prinsip-prinsip dasar dalam bernegara, tetapi juga dipacu untuk bersikap kritis terhadap kondisi yang ada.

Memang Indonesia sudah memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi pelaksanaannya masih memerlukan pengawasan serius dari semua elemen masyarakat.

Oleh sebab itu, penting bagi generasi muda dan seluruh rakyat untuk secara aktif mengawasi proses pemerintahan sesuai dengan nilai-nilai konstitusi, memperjuangkan keadilan, dan menegakkan supremasi hukum dengan konsisten.

Hanya dengan cara ini, cita-cita bangsa untuk menciptakan negara hukum yang adil, demokratis, dan beradab dapat benar-benar terwujud. (*)

Ditulis oleh Zelda Ristiyana, Mahasiswa Universitas Pamulang, Semester 3

Tulisan Terkait

Back to top button