Karya

Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Dunia Kerja di Indonesia

ZETIZENS.ID – Di era digital yang berkembang pesat, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bukan lagi sekadar konsep futuristik, tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi pekerja yang besar, berada pada titik kritis: apakah akan menjadi pelaku utama dalam transformasi digital atau justru menjadi korban dari gelombang disrupsi.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah AI akan mengubah dunia kerja, tetapi bagaimana Indonesia bersiap menghadapinya.

Menurut laporan McKinsey Global Institute pada tahun (2023), sekitar 23 juta pekerjaan di Indonesia berpotensi terdampak otomatisasi pada tahun 2030, terutama pada sektor-sektor seperti manufaktur, administrasi, dan layanan pelanggan.

Artinya, jutaan pekerja Indonesia menghadapi risiko kehilangan pekerjaan jika tidak dilakukan upskilling atau reskilling secara besar-besaran.

Sektor industri yang banyak mengandalkan tenaga kerja kasar dan berulang menjadi sasaran utama otomatisasi.

Contohnya, lini produksi pabrik mulai digantikan oleh robot cerdas yang bekerja lebih cepat dan presisi. Di satu sisi ini meningkatkan efisiensi, tetapi di sisi lain, ribuan pekerja bisa kehilangan mata pencaharian jika tidak dialihkan ke fungsi lain yang lebih relevan.

Di sektor jasa, AI juga mulai mengambil alih tugas-tugas administratif. Layanan pelanggan, yang dulu memerlukan banyak operator manusia, kini dapat dijalankan oleh chatbot berbasis natural language processing (NLP).

Perusahaan-perusahaan e-commerce dan fintech di Indonesia sudah mulai mengadopsi teknologi ini, termasuk Tokopedia, Gojek, dan BCA Digital.

Namun, AI tidak melulu soal kehilangan pekerjaan. Laporan dari World Economic Forum tahun (2020) menyebutkan bahwa meskipun 85 juta pekerjaan akan tergantikan secara global, akan ada 97 juta pekerjaan baru yang muncul sebagai dampak dari perkembangan teknologi ini.

Artinya, peluang dan ancaman berjalan beriringan—tergantung kesiapan negara dan masyarakatnya.

Indonesia sebenarnya memiliki modal kuat: bonus demografi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, lebih dari 70% penduduk Indonesia berada dalam usia produktif (15–64 tahun).

Jika potensi ini dibekali dengan keterampilan digital, maka AI bisa menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Namun, realitas di lapangan masih jauh dari ideal. Survei IMD World Digital Competitiveness Ranking tahun 2023 menempatkan Indonesia di peringkat 51 dari 64 negara dalam hal kesiapan digital. Ini menjadi sinyal bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam memperkuat ekosistem talenta digital nasional.

Pendidikan menjadi kunci utama. Kurikulum di sekolah dan perguruan tinggi harus segera disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Keterampilan seperti pemrograman, analisis data, pemahaman AI, dan machine learning sudah seharusnya masuk ke dalam pelatihan vokasional dan pendidikan tinggi secara masif.

Selain itu, dunia kerja juga harus mengalami transformasi budaya. Banyak perusahaan Indonesia yang masih menggunakan pola kerja konvensional, lambat mengadopsi teknologi, dan enggan berinvestasi pada pengembangan SDM. Padahal, tanpa kesiapan internal, transformasi digital akan berjalan setengah hati.

Pemerintah memiliki peran penting dalam memfasilitasi transisi ini. Melalui program seperti Kartu Prakerja, sebenarnya telah ada upaya untuk meningkatkan keterampilan digital pekerja. Namun, efektivitas dan skalanya perlu diperluas agar menjangkau jutaan tenaga kerja rentan yang belum tersentuh pelatihan digital.
Tidak kalah penting adalah regulasi.

Kecerdasan buatan memiliki potensi untuk disalahgunakan jika tidak diatur secara tepat. Dari privasi data hingga etika penggunaan AI dalam rekrutmen atau penilaian karyawan, Indonesia masih memerlukan kerangka hukum yang kokoh untuk menghindari ketimpangan dan diskriminasi baru.

Contoh negara-negara seperti Singapura dan Korea Selatan dapat menjadi rujukan. Mereka telah membangun roadmap nasional untuk AI dan secara agresif menanamkan investasi di bidang riset dan pengembangan. Indonesia perlu belajar bahwa transformasi teknologi harus dikawal oleh visi jangka panjang dan kebijakan yang terintegrasi.

Selain pemerintah dan institusi pendidikan, sektor swasta juga harus menjadi pemain aktif. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia diharapkan tidak hanya mengejar efisiensi lewat AI, tapi juga bertanggung jawab membina pekerjanya agar dapat beradaptasi dengan teknologi baru. Ini adalah bentuk tanggung jawab sosial yang seharusnya menjadi standar.

AI juga membuka peluang baru dalam sektor ekonomi digital. Pekerjaan seperti data analyst, AI engineer, dan UX designer kini menjadi incaran pasar.

Indonesia yang memiliki ekosistem startup yang berkembang seharusnya mampu mencetak talenta untuk mengisi posisi ini, asalkan didukung infrastruktur dan pelatihan yang memadai.

Transformasi digital juga menciptakan ruang kerja baru yang lebih fleksibel. Munculnya konsep kerja remote, freelance, dan platform ekonomi memungkinkan pekerja Indonesia bersaing di pasar global. Namun, ini tetap memerlukan fondasi keterampilan digital yang kuat agar dapat bersaing secara global.

Kekhawatiran terhadap hilangnya pekerjaan memang beralasan, tetapi melihat tren global, pekerjaan-pekerjaan yang bersifat kreatif, empatik, dan berbasis human connection justru akan semakin dibutuhkan.

Profesi guru, konselor, perawat, hingga seniman justru menjadi lebih relevan karena sifatnya yang tidak mudah digantikan AI.

AI juga bisa digunakan untuk mempercepat inovasi sosial, termasuk di bidang pertanian, kesehatan, dan pendidikan di daerah tertinggal.

Misalnya, sistem prediksi panen berbasis AI atau deteksi dini penyakit berbasis data bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa harus menggantikan pekerjaan, tapi mendukungnya.

Tantangan terbesar ke depan adalah kesenjangan digital antara kelompok masyarakat. Tanpa intervensi yang tepat, penggunaan AI justru bisa memperlebar jurang antara yang melek teknologi dan yang tertinggal.

Pemerataan akses internet dan pendidikan digital menjadi prioritas utama yang tidak bisa ditunda lagi.

Perubahan memang tidak bisa dihindari, tetapi bisa diarahkan. Jika dikelola dengan benar, kecerdasan buatan bisa menjadi katalis untuk menciptakan dunia kerja yang lebih efisien, inklusif, dan manusiawi. Namun jika diabaikan, AI bisa menjadi gelombang yang menggulung jutaan pekerja dan memperdalam krisis ketenagakerjaan.

Kecerdasan buatan tidak akan menggantikan semua pekerjaan, tetapi akan menggantikan mereka yang tidak mampu beradaptasi. Masa depan dunia kerja di Indonesia akan sangat ditentukan oleh seberapa cepat pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat menyiapkan diri.

Kini bukan saatnya menolak teknologi, tetapi belajar hidup berdampingan dengannya. (*)

Ditulis oleh Annisa Suryani, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Semester 2, Universitas Pamulang Serang

Tulisan Terkait

Back to top button