Karya

Tambang Nikel di Pulau Kecil Raja Ampat dan Kontradiksi Energi Bersih

ZETIZENS.ID – Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata atau ikon pada uang kertas Rp100.000. Di balik keindahannya, terletak biodiversitas yang cukup melimpah, lebih dari 75 % spesies karang global, sekitar 2.500 spesies ikan, dan 47 mamalia endemik yang hidup di atas pulau-pulau.

Pada 24 Mei 2023, UNESCO juga menetapkan kawasan ini sebagai Global Geopark namun paradoksnya, ancaman kehancuran kian nyata.
Pada 10 Juni 2025 pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat dari lima perusahaan tambang nikel di sana, sebagai respon terhadap protes Greenpeace dan masyarakat adat.

Bagus, tapi sayangnya hanya bersifat sementara, dan satu perusahaan besar, PT Gag Nikel (Aneka Tambang), masih diperbolehkan menambang karena berada “di luar kawasan geopark”.

Data dari Auriga Nusantara menunjukkan bahwa dalam kurun 2020 hingga 2024, lahan tambang di Raja Ampat mengalami ekspansi yang cukup signifikan—sekitar 494 hektare, tiga kali lipat dibandingkan lima tahun sebelumnya. Greenpeace juga menyebut bahwa lebih dari 500 hektare hutan telah dirusak oleh aktivitas tambang, sebagian besar terjadi di pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran.

Angka ini bukan hanya statistik, tapi gambaran nyata tentang bagaimana tutupan hutan dan habitat liar dikorbankan demi logam yang akan berakhir menjadi baterai mobil listrik.

Pertambangan di pulau kecil seperti Gag dan Kawe menyebabkan deforestasi yang langsung mengganggu keseimbangan air tanah dan siklus karbon.

Lumpur hasil erosi tambang terbawa ke laut dan menyebabkan sedimentasi yang merusak terumbu karang, mematikan padang lamun, serta mengancam larva ikan dan biota kecil yang menjadi fondasi rantai makanan laut. Jika karang mati, maka seluruh ekosistem laut bisa runtuh secara perlahan tapi pasti.

Ironisnya, semua ini terjadi atas nama energi “bersih.” Nikel memang penting dalam produksi baterai kendaraan listrik, tapi bukankah aneh jika demi melawan krisis iklim, kita justru menghancurkan salah satu pusat penyerapan karbon paling penting di dunia?

Pemerintah memang mengklaim telah menghentikan sementara aktivitas tambang untuk menunggu evaluasi, namun langkah ini terasa setengah hati.

Jika izin tambang bisa dicabut sementara, maka bukan tidak mungkin akan dibuka kembali di kemudian hari, apalagi jika perusahaan menggugat secara hukum.

Sejauh ini, tidak ada jaminan bahwa pencabutan itu akan menjadi larangan permanen.

Padahal, sudah jelas bahwa operasi pertambangan di pulau kecil seperti ini bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan yang tertuang dalam berbagai regulasi nasional, termasuk Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 dan arahan tata ruang Papua Barat.

Wilayah seperti Raja Ampat semestinya dikunci sebagai zona konservasi mutlak, bukan malah dibuka untuk investasi ekstraktif.

Kita tidak bisa membiarkan hutan dan laut Raja Ampat menjadi korban dari narasi palsu “kemajuan berkelanjutan.”

Jika kita sungguh peduli pada masa depan, maka langkah paling masuk akal adalah menutup semua aktivitas tambang di pulau kecil Raja Ampat secara permanen, melakukan audit izin lingkungan, serta melibatkan masyarakat adat serta para aktivis-aktivis lingkungan/Ilmuwan dalam proses pemulihan dan perlindungan. (*)

Ditulis oleh Cahya Rudiana, mahasiwa Unpam semester 6 Program Studi Biologi

Tulisan Terkait

Back to top button