Karya

Pluralisme dalam Demokrasi Digital: Antara Harapan dan Tantangan

ZETIZENS.ID – Sebagai seseorang yang tumbuh di tengah keberagaman budaya dan agama, saya percaya bahwa pluralisme adalah kekuatan yang harus dijaga dalam kehidupan demokrasi.

Indonesia bukan hanya tentang satu negara, satu wajah, atau satu pilihan. Namun sesungguhnya, kekuatan sebuah bangsa terletak pada kemampuannya membuat perbedaan hidup berdampingan tanpa saling merendahkan.

Sayangnya, kini di era digital, perbedaan sering kali justru sering menjadi alat untuk menyerang satu sama lain.

Mahfud MD dalam pandangannya menyebut bahwa pluralisme bukan sekadar hidup berdampingan, melainkan sikap aktif untuk menghormati dan menjadikan perbedaan sebagai fondasi terciptanya kehidupan yang damai dalam masyarakat.

Ini bukan sekadar hidup berdampingan dengan orang yang berbeda, tetapi juga tentang menghormati dan memberi ruang bagi perbedaan itu bisa tumbuh. Namun, derasnya arus informasi digital yang tidak terfilter dengan baik telah menggerus semangat saling menghargai itu sedikit demi sedikit.

Media sosial memperlihatkan dua sisi: pada satu sisi membuka ruang demokrasi yang luas, namun sisi lainnya menjadi tempat suburnya ujaran kebencian, hoaks, dan polarisasi.

Banyak orang dengan pandangan berbeda, terutama dalam hal agama atau politik, kerap menjadi sasaran serangan verbal atau bahkan perundungan di media sosial. Padahal, demokrasi seharusnya memberi ruang aman bagi semua pandangan yang berbeda, selama tidak merugikan orang lain.

Keadilan dalam demokrasi tidak akan tercapai jika keberagaman tidak dihargai, dalam masyarakat plural, setiap kelompok seharusnya mendapat ruang yang sama untuk menyampaikan pandangan dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Ketika hanya suara mayoritas yang mendapat panggung, kelompok kecil rentan terpinggirkan dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem. Hal ini bisa mengikis rasa kepercayaan dan menciptakan ketimpangan yang merusak semangat demokrasi itu sendiri.

Era digital memang mempercepat distribusi informasi, tetapi juga memperluas ruang bagi narasi kebencian untuk menyebar tanpa batas.

Tak sedikit orang menerima informasi yang mendukung keyakinan mereka, tanpa mengecek apakah hal tersebut faktual atau tidak. Fenomena ini dikenal sebagai confirmation bias. Saya rasa, ini menjadi tantangan besar bagi pluralisme di era demokrasi digital.

Teknologi digital sejatinya memberi peluang positif karena memungkinkan suara-suara kecil untuk ikut terdengar. Namun tanpa literasi digital dan etika komunikasi, ruang digital akan dipenuhi kebisingan yang menggerus nilai kebersamaan.

Demokrasi pun beresiko kehilangan maknanya jika perbedaan hanya dilihat sebagai ancaman, bukan kekayaan.

Dalam konteks ini, pendidikan sangatlah penting. Tidak hanya pendidikan formal, tetapi juga nilai-nilai toleransi dan empati juga perlu ditanamkan lewat media, keluarga, dan ruang-ruang sosial lainnya.

Sejak dini, penting bagi anak-anak untuk belajar bahwa perbedaan adalah hal yang wajar dan tidak perlu ditakuti. Bahwa menghormati pendapat orang lain bukan berarti melemahkan pendapat sendiri.

Berdasarkan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2021, ditemukan bahwa sekitar 55% responded usia muda (15-29 tahun) menunjukan tingkat intoleransi yang tinggi terhadap kelompok dengan pandangan berbeda, khususnya dalam hal agama dan politik.

Ini menandakan pentingnya peran keluarga, sekolah, dan media dalam membentuk generasi muda yang terbuka dan menghargai keberagaman. Jika intoleransi dibiarkan tumbuh, intoleransi akan menjadi ancaman serius bagi masa depan demokrasi.

Demokrasi bukan hanya soal siapa yang menang dalam pemilu, tetapi juga soal bagaimana menerima kekalahan dan menghargai suara yang berbeda.

Perbedaan tidak seharusnya menjadi alasan untuk menciptakan permusuhan, melainkan momentum untuk saling memahami dan belajar satu sama lain.

Pemerintah juga punya peran penting dalam menjaga ruang digital yang sehat. Penegakan hukum terhadap penyebar hoaks dan ujaran kebencian perlu diperkuat. Namun begitu, langkah pemerintah harus tetap menjunjung tinggi kebebasan berekspresi yang menjadi inti dalam demokrasi. Harus ada keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.

Anak muda sebagai generasi digital mempunyai peran besar dalam menjaga semangat pluralisme. Melalui media sosial, mereka bisa menyebarkan nilai-nilai toleransi dan pendidikan yang positif bagi publik.

Seyogianya, ruang digital dimanfaatkan sebagai wadah bertukar pikiran, memperluas pemahaman, dan membangun masyarakat.

Maka, setiap individu di ruang digital perlu memiliki kesadaran atas dampak dari dialog antar kelompok apa yang mereka unggah, baik secara teks maupun gambar.

Perbedaan bisa menjadi sumber ketegangan jika tidak disikapi dengan bijak, namun juga bisa menjadi sumber kekuatan jika dikelola dengan rasa hormat.

Demokrasi hanya akan tumbuh jika ada ruang aman bagi semua golongan untuk bersuara dan didengarkan.

Kita tidak bisa berharap pada satu pihak saja untuk menjaga pluralisme. Ini adalah tanggung jawab bersama, pemerintah, masyarakat, media dan individu.

Merawat demokrasi bukan soal hal besar saja, tetapi juga soal kebiasaan kecil seperti menjaga ucapan, menyaring informasi sebelum membagikannya, dan mencoba memahami mereka yang berbeda pandangan.

Jika kita ingin demokrasi tetap hidup, maka pluralisme tidak cukup hanya menjadi nilai yang dipelajari di ruang kelas, tetapi harus menjadi sikap yang dijalani setiap hari.

Menjaga nilai pluralisme tidak harus dilakukan oleh tokoh besar, setiap orang bisa berperan lewat tindakan kecil yang penuh makna. Cukup mulai dari hal-hal kecil: mendengar orang lain tanpa menghakimi, menerima perbedaan tanpa menghakimi, menerima perbedaan tanpa curiga, dan memilih diam saat amarah hanya memperkeruh.

Keberagaman bukan sekadar untuk diterima, melainkan perlu dijaga melalui empati, perhatian, dan keberanian untuk memahami perbedaan.

Sebagai penutup, pluralisme dan demokrasi adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Jika perbedaan tidak dihargai, maka demokrasi hanya akan menjadi topeng bagi dominasi dan kepentingan sepihak. Namun dengan pluralisme yang kuat, demokrasi dapat menjadi rumah bersama yang aman dan inklusif bagi semua. (*)

Ditulia oleh Cucu Nurti Arumi, mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, semester 2, Unpam Serang

Tulisan Terkait

Back to top button