Indonesia, Harapan di Tengah Ketegangan Israel dan Iran

ZETIZENS.ID – Konflik antara Israel dan Iran telah lama menjadi salah satu sumber ketegangan paling sensitif di dunia. Bukan hanya karena kedua negara memiliki sejarah panjang permusuhan, tetapi juga karena konflik ini menyangkut stabilitas kawasan Timur Tengah yang sangat strategis.
Jika dibiarkan, ketegangan ini bisa memicu eskalasi yang lebih luas, bahkan mungkin konflik berskala global.
Yang paling menyedihkan dari semua ini adalah dampak kemanusiaannya. Banyak warga sipil menjadi korban dari konflik yang tidak mereka mulai.
Akses terhadap bantuan kemanusiaan menjadi terbatas, dan kehidupan sehari-hari mereka dipenuhi ketakutan. Dunia internasional pun seperti kehabisan cara untuk menyelesaikan masalah ini. Banyak negara lebih memilih berpihak daripada menjadi penengah.
Menurut saya, Indonesia sebenarnya punya peran besar yang bisa dimainkan di tengah situasi ini. Sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dan keadilan, Indonesia memiliki posisi unik tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, tetapi memiliki hubungan baik dengan Iran dan negara-negara di dunia Islam. Posisi ini menjadikan kita pihak yang relatif netral dan berpotensi dipercaya oleh kedua belah pihak.
Sebagai warga Indonesia, saya merasa inilah saatnya Indonesia mengambil peran lebih aktif, bukan hanya sebagai penonton. Kita punya sejarah dan prinsip yang berpihak pada perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Prinsip politik luar negeri bebas-aktif bukan hanya semboyan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Pandangan ini juga didukung oleh beberapa pengamat politik. Salah satunya, Dr. Hendri Satrio, pengamat hubungan internasional dari Universitas Paramadina, pernah menyampaikan bahwa posisi netral Indonesia justru bisa menjadi kekuatan dalam membangun dialog antarnegara yang berkonflik.
“Indonesia punya modal diplomasi damai yang cukup kuat. Kita sudah terlibat dalam perdamaian di Filipina, Aceh, hingga Palestina. Kita tinggal memanfaatkan posisi ini dengan strategi yang tepat,” ujarnya dalam wawancara tahun lalu.
Pengamat lain, Prof. Dewi Fortuna Anwar, juga menilai bahwa dunia internasional saat ini kekurangan negara yang berani mengambil peran sebagai jembatan.
Menurutnya, Indonesia sebagai negara demokratis dan mayoritas Muslim dapat menawarkan pendekatan yang lebih humanis dan tidak mengancam bagi pihak manapun.
“Indonesia bukan power player, tapi kita punya moral standing yang dihormati,” kata Prof. Dewi dalam sebuah diskusi kebijakan luar negeri.
Pendapat para ahli ini sejalan dengan keyakinan saya bahwa Indonesia bisa memulai dari langkah-langkah kecil. Kita tidak perlu langsung menjadi mediator formal di meja perundingan. Tapi kita bisa membuka ruang diskusi misalnya dengan menyelenggarakan forum masyarakat sipil yang mempertemukan tokoh dari Israel dan Iran.
Pembahasannya pun bisa dimulai dari isu-isu netral seperti bantuan medis, pendidikan anak, atau budaya.
Dengan memulai dari isu-isu kemanusiaan, Indonesia bisa membangun kepercayaan antar kedua pihak. Hubungan antarwarga, bukan hanya antar pemerintah, bisa menjadi kunci untuk menciptakan jembatan damai. Ini strategi yang lembut, tapi sangat kuat jika dikelola dengan konsisten dan tulus.
Indonesia juga bisa mendorong peran multilateral, misalnya lewat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau forum Asia-Afrika, untuk memperkuat suara damai dan moderat. Aliansi-aliansi regional ini bisa menjadi dukungan tambahan bagi Indonesia untuk tidak berdiri sendiri dalam mendorong perdamaian.
Tentu, kita juga harus realistis. Upaya ini pasti menghadapi tantangan besar. Tidak semua negara atau pihak akan senang jika Indonesia terlalu aktif, apalagi dalam isu yang sangat sensitif seperti ini. Tapi justru keberanian untuk melangkah saat negara lain ragu, itulah yang membedakan Indonesia dari sekadar penonton.
Indonesia punya rekam jejak yang kuat. Kita berhasil mendorong perdamaian di Aceh lewat Helsinki, kita ikut andil dalam proses damai di Filipina Selatan, dan kita konsisten mendukung Palestina lewat diplomasi. Dunia tahu bahwa Indonesia tidak hanya bicara soal damai tapi juga bertindak.
Dengan semua modal itu, rasanya Indonesia sudah lebih dari cukup untuk mulai memfasilitasi perdamaian antara dua negara yang selama ini bersitegang. Dunia memang sedang kekurangan suara yang menjembatani, dan Indonesia bisa menjadi salah satu yang mengisi kekosongan itu.
Perdamaian tidak datang dengan cepat. Tapi semua proses besar selalu dimulai dari keberanian untuk mengambil langkah pertama. Dan saya percaya, Indonesia bisa menjadi negara yang mengambil langkah itu bukan untuk tampil, tapi karena dunia memang sedang membutuhkan harapan baru. (*)
Ditulis oleh Surya Pratama, mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Pamulang Psdku Serang