Prososial Skill Pelajar SMA di Jakarta Jadi Harapan Lawan Isu Kesehatan Mental
34 persen pelajar SMA di Jakarta mengalami gangguan mental emosional dan terindikasi memiliki masalah kesehatan mental.
ZETIZENS.ID – Membahas isu kesehatan mental tidak lagi menjadi hal tabu atau malu. Saat ini, isu tersebut justru telah menjadi bagian penting dari kesadaran kesehatan secara menyeluruh untuk semakin dipahami banyak orang.
Tak terkecuali di kalangan para pelajar. Belum lama ini, penelitian terbaru yang dilakukan Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) bersama Yayasan BUMN melalui inisiatif program Mendengar Jiwa Institute mengungkapkan fakta yang memprihatinkan tentang kesehatan mental remaja di Jakarta.
Disebutkan, 34 persen pelajar SMA di Jakarta mengalami gangguan mental emosional dan hasil skrining tersebut mengindikasikan mereka memiliki masalah kesehatan jiwa.
“Kami baru memotret risiko dan potensi dampak kesehatan mental di kalangan pelajar SMA dan remaja di Jakarta. Dengan model skrining dan metode potong lintang, riset ini dilakukan pada Oktober 2024 dengan melibatkan 741 responden pelajar dan 97 guru,” jelas dr. Ray Wagiu Basrowi selaku ketua tim peneliti HCC saat memaparkan di depan media pada Selasa (17/12/2024) di kawasan Hang Lekir Senayan, Jakarta.
Disebutkan dr. Ray Wagiu, risetnya ini akan cukup menjadi modal awal untuk mengetahui lebih lanjut seberapa jauh anak remaja mengalami gangguan mental dan sekaligus mulai menyiapkan metode pencegahannya.
Metode SDQ25 dengan menyebar kuesioner berupa 25 pertanyaan sudah cukup untuk kita bisa mengetahui ada berapa anak yang menyadari kesehatan mentalnya dan juga seberapa bisa riset ini menjelaskan prososial yang dimiliki remaja,” jelasnya.
Disebutkan dalam hasil riset, status kesehatan jiwa remaja dan pelajar SMA di Jakarta dari hasil studi tersebut antara lain dipengaruhi 26 persen remaja punya masalah dengan teman sebayanya, 23 persennya tidak bahagia dan kurang percaya diri, faktor lainnya 29 persen remaja terlalu aktif-cenderung hyperaktif.
“Ternyata 81 persen pelajar kita mengaku bahwa mereka menghadapi masalah citra, yaitu tidak percaya diri, 67 persen lainnya mengakui punya masalah dengan penampilan fisiknya,” jelasnya lagi.
Nggak hanya berkaitan dengan diri, nyatanya juga pelahar SMA memiliki masalah dengan hubungan sosialnya di mana 74,9 persen pelajar sudah menghadapi masalah dengan orang terdekat dan keluarga. Bahkan 10 persen responden mengaku sudah tak punya sosok orangtua di rumah.
“Jadilah 74,2 persen pelajar kita sudah punya masalah emosional/perasaan dari rumahnya, 29,4 persen pelajar SMA di Jakarta mengalami perundungan, 33,1 persen pelajar mengalami tekanan dari teman sebaya, dan 67,7 persen pelajar menghadapi masalah akademis.
Kesimpulannya 10,9 persen remaja rentan mengalami masalah kesehatan mental.
“Meski rentan, 8 dari 10 pelajar di Jakarta memiliki kemampuan berinteraksi positif dengan orang lain. Artinya pelajar SMA di Jakarta punya prososial skill yang masih baik dan perlu diasah kemampuan berinteraksi positif mereka itu,” beber dr. Ray lagi.
Kemampuan prososial ini, menurut hasil studi yang sama, 55,5 persen pelajar menjadi lebih nyaman memilih untuk bercerita (curhat) ke teman sebayanya, hanya 8,8.persen yang mau curhat ke guru mereka dan 54,3 persennya masih mau curhat ke orangtua.
Dan tahukah kamu, hasil riset tersebut juga menyebutkan ruang aman untuk pelajar curhat saat ini adalah di ruang kelas, kantin dan kamar mandi.
“Untuk itu perlu menjadikan sekolah menjadi ruang yang nyaman bagi kesehatan jiwa para pelajar ke depannya. Dari situ juga, kami yayasan BUMN berinisiatif mendukung eksplorasi promosi kesehatan jiwa yang berkelanjutan. Di tingkat sekolah misalnya ‘Mendengarkan Jiwa’ menjadi program yang bisa diterapkan di lingkungan para pelajar kita,” kata Prof. Nila F Moeloek, selaku Direktur Eksekutif FKI yang juga turut serta penelitian yang sama di SMA Negeri di Jakarta Timur, SMA di Jakarta Utara dan SMA Swasta Berbasis keagamaan di Jakarta Selatan.
“Data awal ini, menurut Prof. Nila akan memersiapkan kita untuk 20 tahun yang akan datang bisa menyiapkan anak-anak remaja menjadi generasi yang lebih baik dan stabil. Kalo mereka nyaman misalnya curhat masalah kesehatan mental ke temannya, maka kita perlu juga nanti memberikan edukasi ke agen-agen siswa dan juga memberi pelatihan konseling bagi guru BK,” katanya lagi merekomendasikan konten program yang nanti akan dibawanya.
Yang terdekat, yayasan BUMN menargetkan pada 2025 akan berekspansi dan ikut melakukan intervensi ke sekolah untuk bisa membuat zona mendengar jiwa ini terlaksana di lima sekolah di Jakarta.
Rekomendasi lainnya, menurut Bunga Pelangi, SKM, MKM dari hasil penelitian ini adalah diperlukan adanya upaya untuk intervensi dan mempromosikan isu kesehatan mental pada tingkat sekolah SMA secara terstruktur dengan melibatkan elemen guru, teman sebaya, dan orang tua agar lingkungan sekolah menjadi ramah bagi kesehatan mental.
Hal ini penting untuk dilakukan sebab sekolah berpeluang menjadi lokus mayor masalah kesehatan mental. Upaya rebranding ruang BK juga dapat menjadi solusi alternatif agar tidak terkesan menstigma pelajar yang hendak melakukan konseling di sana. (*)