Karya

Dinamika Pembangunan PIK 2 di Serang Utara, Antara Janji Kemajuan dan Ancaman Ketimpangan

ZETIZENS.ID – Pembangunan kawasan Pusat Industri dan Kawasan (PIK) 2 di wilayah Serang Utara, Banten, merupakan persoalan yang memiliki banyak sisi dan dimensi yang saling berkaitan.

Tulisan ini menyoroti sejumlah isu krusial yang mengemuka dalam wacana publik mengenai proyek ini, meliputi: peluang manfaat ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, keresahan warga terhadap ketimpangan sosial, potensi dampak lingkungan, langkah-langkah kebijakan dari pemerintah daerah, serta pentingnya transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Isu pembangunan PIK 2 di kawasan Serang Utara sedang menjadi perhatian utama di tengah masyarakat serta pemerintah lokal.

Proyek tersebut dipandang sebagai mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup warga.

Dengan total lahan yang dirancang mencapai 2.000 hektar, kawasan ini dimaksudkan untuk menjadi pusat industri yang mencakup beragam sektor, seperti manufaktur, distribusi logistik, hingga sektor pariwisata.

Dalam kerangka teori pembangunan berbasis industrialisasi, proyek seperti ini diyakini mampu mempercepat perubahan struktur ekonomi suatu daerah dari ekonomi berbasis pertanian menuju sektor industri modern.

Manfaat yang paling diharapkan dari proyek ini adalah tersedianya lapangan kerja baru, meningkatnya arus investasi, serta perputaran ekonomi lokal yang lebih hidup.

Menurut pendekatan trickle-down economics, pembangunan skala besar di sektor industri diyakini mampu meneteskan dampak positif ekonomi ke seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah.

Meski begitu, kajian akademik menunjukkan bahwa efek penetesan ini sering kali tidak merata bila tidak didukung oleh kebijakan sosial yang kuat serta akses yang adil terhadap peluang ekonomi bagi semua kalangan.

Namun demikian, di balik potensi keuntungan ekonomi, tersimpan pula risiko sosial yang signifikan. Salah satu kekhawatiran masyarakat adalah terjadinya ketimpangan sosial yang semakin melebar.

Pembangunan kawasan industri besar seperti PIK 2 sangat mungkin menyebabkan perubahan tata ruang dan kenaikan harga lahan yang ekstrem.

Hal ini dikenal sebagai proses gentrifikasi, yaitu kondisi di mana masyarakat lokal berpenghasilan rendah terdorong keluar dari wilayah tempat tinggalnya karena beban biaya hidup dan properti yang tak lagi terjangkau.

Penduduk asli di Serang Utara khawatir akan kehilangan tanah dan rumah mereka, terutama jika tidak tersedia kebijakan kompensasi yang adil atau relokasi yang manusiawi.

Dalam konteks ini, pembangunan yang eksklusif justru bisa memperbesar ketimpangan dan memperparah kemiskinan struktural.

Pandangan keadilan sosial dari John Rawls menekankan bahwa manfaat pembangunan harus dibagi secara merata dan bahwa kelompok masyarakat yang paling lemah harus mendapatkan perlindungan yang maksimal dari negara.

Tak kalah penting adalah isu lingkungan hidup yang terancam oleh proyek ini. Kawasan pesisir Serang Utara memiliki ekosistem mangrove dan sumber daya hayati yang cukup penting.

Pembangunan industri di sana berisiko menimbulkan pencemaran udara, limbah berbahaya, kebisingan, serta alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan industri.

Teori pembangunan berkelanjutan menegaskan bahwa pembangunan ekonomi harus selaras dengan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial.

Bila aspek lingkungan diabaikan, maka proyek pembangunan hanya akan memberikan pertumbuhan jangka pendek yang mengorbankan keberlanjutan jangka panjang.

Menanggapi berbagai kekhawatiran tersebut, Pemerintah Kabupaten Serang menyatakan komitmennya untuk menjalankan proyek PIK 2 dengan mempertimbangkan aspek sosial dan ekologis.

Beberapa langkah yang disebutkan termasuk pembangunan fasilitas yang lebih ramah lingkungan serta penyediaan program relokasi untuk warga terdampak.

Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan, janji-janji pemerintah kerap terbentur oleh hambatan implementasi, kurangnya pengawasan dari pihak independen, serta minimnya ruang partisipasi bagi masyarakat.

Dalam konteks ini, prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance menjadi sangat relevan.

Tata kelola yang transparan, akuntabel, dan partisipatif diperlukan untuk memastikan masyarakat memperoleh akses terhadap informasi penting seperti analisis dampak lingkungan (AMDAL), rencana tata ruang, dan skema kompensasi.

Beberapa minggu belakangan, warga telah melangsungkan aksi protes, termasuk unjuk rasa di kantor pemerintah daerah dan pengiriman petisi kepada pemerintah pusat sebagai bentuk tuntutan atas keterbukaan informasi dan pelibatan publik.

Realitas ini menunjukkan bahwa pembangunan proyek besar seperti PIK 2 tidak bisa hanya dianalisis dari perspektif ekonomi saja. Ia merupakan ilustrasi nyata dari konflik umum di banyak wilayah Indonesia: dorongan pembangunan ekonomi yang kerap berhadapan dengan risiko ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan ekologis dan partisipasi sosial. Pendekatan perencanaan dari bawah atau bottom-up planning sangat penting agar proses pembangunan mencerminkan aspirasi masyarakat, bukan semata kepentingan elite atau korporasi.

Sebagai penutup, proyek PIK 2 menyimpan potensi besar bagi kemajuan wilayah Serang Utara sebagai pusat pertumbuhan industri baru di Provinsi Banten. Namun, kesuksesan proyek ini sangat bergantung pada bagaimana pemerintah dan pihak swasta mengelola dampak sosial serta ekologis, dan sejauh mana masyarakat diberi ruang untuk terlibat secara aktif dalam proses perumusan kebijakan.

Pembangunan yang sesungguhnya adalah pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang (leave no one behind), sebagaimana dinyatakan dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. (*)

Ditulis oleh Ahmad Rivai Ukhrowi, Syfa Addiniyah, Asrobi, Habir, Mahasiswa Administrasi Publik STIA Maulana Yusuf Banten.

Tulisan Terkait

Back to top button