Khazanah

Cokaiba, Ritual Adat Maluku Utara Memperingati Maulid Nabi

ZETIZENS.ID – Beberapa hari ini jagat TikTok dihebohkan dengan orang-orang bertopeng yang berkeliling menyisir masyarakat untuk tetap di dalam rumah. Namanya Cokaiba.

Cokaiba adalah sebuah tradisi dan ritual adat masyarakat di beberapa wilayah Maluku Utara, seperti Patani, Weda, dan Maba, yang dilaksanakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW (kelahiran Nabi Muhammad).

Tradisi ini melibatkan penggunaan topeng berbentuk “setan” atau “jin” oleh para peserta, sebagai simbol bahwa setan dan jin pun ikut bergembira atas kelahiran Nabi yang merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Tradisi

Cokaiba ini bentuk perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang unik dan diwariskan secara turun-temurun di masyarakat Maluku Utara.

Para pelaku Cokaiba biasanya memakai topeng yang mewakili karakter jin atau setan, yang disebut Cokaiba itu sendiri, sebagai bentuk ekspresi kegembiraan semua makhluk (termasuk jin) atas kehadiran Nabi.

Ritual ini diawali dengan pembacaan salam dan zikir pada malam Maulid Nabi, diikuti dengan pelepasan para Cokaiba yang akan berkeliling kampung, dan diakhiri dengan pesta makanan serta pembacaan sejarah Nabi.

Tradisi ini memuat nilai-nilai sosial dan religi yang kuat, di antaranya adalah persaudaraan (Ngaku rasai) yang memperkuat kekerabatan antarwarga, serta rasa hormat dan kegembiraan atas kelahiran Nabi.

Meskipun nilai-nilai Cokaiba mulai tergerus oleh modernisasi, pelestariannya penting untuk menjaga identitas budaya dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Ritual

Cokaiba seperti ditulis laman RRI, berarti topeng setan, merupakan ritual perayaan maulid Nabi yang dilaksanakan di ‘Negeri Fogogoru’ sebutan untuk daerah Weda, Patani dan Maba.

Tradisi ini mulai dikenal pada zaman Rajaman atau zaman para raja. Sekitar tahun 1100 Masehi, Agama Islam masuk di ‘Negeri Fogogoru’ yang saat itu dipimpin oleh Rajaman Satrio di Maba, Rajaman Kasuro di Patani dan Rajaman Suta Raja Mauraja di Weda.

Masyarakat Fogogoru pada saat itu hidup berdampingan dengan bangsa jin, mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan para jin.

Setelah masuknya Islam, maka kebiasaan itu harus dibatasi. Namun, tidak dapat dipungkiri masyarakat masih merindukan saat-saat hidup berdampingan dengan bangsa tak kasat mata itu.

Kemudian lahirlah anjuran tentang pembuatan mef atau topeng  menyerupai karakter jin yang mereka kenali. Setelah ‘Negeri Fogogoru’ bergabung dengan kesultanan Tidore, sebutan mef lalu digantikan dengan Cokaiba.

Dalam tulisannya “Setan Pun Ikut Bergembira ”Ayub Sid menjelaskan Cokaiba merupakan bentuk kedamaian dan kegembiraan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bahkan kelahiran Baginda bukan saja dirayakan oleh manusia, namun seluruh alam.

Cokaiba terdiri dari empat jenis Cokaiba Yai atau kayu menandakan api dengan jumlah 7 orang, Cokaiba gof atau bambo melambangkan angin atau udara dengan jumlah 4 pasangan, Cokaiba Iripala atau pelepah pohon sagu sebagai simbol air dengan jumlah 44 pasangan, dan yang terakhir adalah Cokaiba Nok yang menandakan tanah dengan jumlah 44 orang.

Jika disatukan maka berjumlah 99 yang memiliki makna filosofi 99 nama-nama indah Allah SWT atau Asmaul Husna. Sementara empat element api, udara, air dan tanah merupakan proses penciptaan manusia yang berasal dari alam semesta.

Dalam buku “Jejak Maluku Utara Untuk Indonesia” juga dijelaskan tradisi Cokaiba biasanya ditampilkan pada malam 12 Rabiul Awal dimulai ba’da sholat Isya hingga pagi hari.

Tabuhan rebana dan dzikir sahut menyahut di setiap masjid, juga riwayat Nabi dibacakan untuk mengiring tradisi ini.  Atribut yang digunakan para Cokaiba ini berupa topeng yang menakutkan, dengan balutan kebaya atau jubah.

Setelah terbit matahari, tokoh adat akan memilih salah satu Cokaiba Yai untuk dipukul sebanyak tiga kali. Sebagai tanda selama tiga hari Cokaiba akan dilepas, maka selama itu pula orang yang menggunakan topeng Cokaiba akan dipukul hingga matahari tenggelam. (Zee)

Tulisan Terkait

Back to top button