Karya

Republikalisme Cicero, Warisan Pemikiran Politik yang Relevan untuk Indonesia

ZETIZENS.ID – Republikanisme Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf dan negarawan Romawi, merupakan salah satu warisan pemikiran politik yang sangat berpengaruh hingga saat ini.

Meskipun lahir di zaman kuno, gagasan-gagasan Cicero tentang republik, keadilan, dan kebajikan tetap relevan untuk kita pelajari, terutama dalam konteks pembangunan demokrasi di Indonesia.

Dalam opini ini, saya akan menguraikan pandangan saya tentang republikalisme Cicero berdasarkan tiga artikel dari sumber Indonesia, sekaligus mengaitkannya dengan tantangan politik dan sosial yang kita hadapi sekarang.

Pertama, mari kita pahami apa yang dimaksud dengan republikalisme Cicero. Dalam artikel berjudul “Republik Cicero dan Relevansinya dalam Demokrasi Modern” yang dimuat di Jurnal Ilmiah Politik Indonesia (JIPI, 2020), dijelaskan bahwa Cicero memandang republik sebagai bentuk pemerintahan yang ideal karena menggabungkan unsur monarki, aristokrasi, dan demokrasi.

Ia menolak dominasi kekuasaan tunggal yang bisa berubah menjadi tirani, serta menghindari kekuasaan mayoritas yang bisa menjadi anarki. Sistem campuran ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah penyalahgunaan.

Saya sangat setuju dengan pandangan ini karena dalam konteks Indonesia, yang memiliki keragaman budaya dan politik, keseimbangan kekuasaan menjadi kunci agar demokrasi tidak terjebak pada dominasi kelompok tertentu.

Prinsip checks and balances yang diusung Cicero bisa menjadi pelajaran penting bagi kita dalam menjaga stabilitas politik.

Selanjutnya, dalam artikel “Keadilan dan Kebajikan dalam Pemikiran Cicero” yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2021, ditekankan bahwa Cicero menempatkan keadilan (iustitia) sebagai fondasi utama republik. Ia berpendapat bahwa tanpa keadilan, negara tidak bisa bertahan lama.

Keadilan bagi Cicero bukan hanya soal hukum formal, tetapi juga moralitas dan kebajikan para pemimpin dan warga negara. Dalam konteks Indonesia, saya melihat bahwa gagasan ini sangat relevan mengingat masih maraknya korupsi dan ketidakadilan sosial.

Jika para pemimpin dan masyarakat bisa menanamkan nilai kebajikan dan keadilan seperti yang diajarkan Cicero, maka fondasi negara akan semakin kuat.

Saya percaya bahwa pendidikan politik dan moral yang menekankan kebajikan ini harus menjadi prioritas agar demokrasi kita tidak hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyat.

Ketiga, artikel “Peran Retorika dan Pendidikan dalam Republikanisme Cicero” yang dipublikasikan di Media Politik Indonesia (MPI, 2019) membahas bagaimana Cicero menekankan pentingnya pendidikan dan kemampuan berpidato sebagai alat untuk menjaga persatuan dan mencegah konflik dalam republik.

Cicero sendiri dikenal sebagai orator ulung yang menggunakan retorika untuk membela republik Romawi dari ancaman internal, seperti konspirasi Catiline.

Saya melihat bahwa di Indonesia, kemampuan berkomunikasi yang baik dan pendidikan politik yang memadai sangat dibutuhkan untuk mengatasi polarisasi dan konflik sosial yang sering terjadi.

Retorika yang baik bukan hanya soal persuasi, tetapi juga tentang menyampaikan kebenaran dan membangun dialog yang konstruktif. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa pendidikan politik yang mengajarkan nilai-nilai republikan Cicero, termasuk kebajikan dan keadilan, harus diperkuat di sekolah dan masyarakat luas.

Melihat ketiga aspek tersebut, saya menyimpulkan bahwa republikalisme Cicero menawarkan kerangka yang sangat berguna untuk memperkuat demokrasi di Indonesia.

Pertama, sistem pemerintahan campuran yang menyeimbangkan kekuasaan bisa menjadi solusi untuk menghindari dominasi kelompok tertentu yang berpotensi merusak demokrasi.

Kedua, penekanan pada keadilan dan kebajikan mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan hanya soal mekanisme politik, tetapi juga soal moralitas dan integritas.

Ketiga, peran pendidikan dan retorika sebagai alat menjaga persatuan sangat penting di tengah masyarakat yang plural dan dinamis seperti Indonesia.

Namun, tentu saja, ada tantangan dalam mengadopsi pemikiran Cicero secara utuh. Salah satu kritik yang sering muncul adalah bahwa Cicero cenderung elitistis, lebih mengutamakan peran kaum aristokrat dan senator daripada rakyat biasa.

Dalam konteks demokrasi modern yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, hal ini perlu disesuaikan. Meski demikian, saya percaya bahwa esensi dari republikalisme Cicero yaitu keseimbangan kekuasaan, keadilan, dan Kebajikan bisa diadaptasi dengan baik dalam sistem demokrasi kita.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa mempelajari republikalisme Cicero bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi juga tentang mengambil pelajaran berharga untuk masa depan.

Indonesia sebagai negara demokrasi yang masih terus berkembang membutuhkan fondasi yang kuat agar tidak mudah goyah oleh konflik internal maupun tekanan eksternal.

Pemikiran Cicero mengingatkan kita bahwa demokrasi harus dibangun di atas keadilan dan kebajikan, serta dijaga melalui keseimbangan kekuasaan dan pendidikan politik yang baik. Dengan demikian, kita bisa mewujudkan republik yang tidak hanya formal, tetapi juga bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)

Ditulis oleh Rani, Mahasiswa Unpam Serang Banten Jurusan Ilmu Pemerintahan

Tulisan Terkait

Back to top button