Tumpeng, Bukan Sekadar Tumpukan Nasi
ZETIZENS.ID – Pernah mendengar mitos bahwa tumpeng tidak boleh dipotong? Ternyata, ada alasan filosofis di baliknya!
Tumpeng, yang berasal dari Jawa dengan pengaruh budaya Hindu India, memiliki makna mendalam. Nama “tumpeng” berasal dari ungkapan “yen meTu kudu meMPENG,” yang berarti “jika sudah keluar harus sungguh-sungguh semangat.”
Cara yang sering dilakukan dalam menyajikan tumpeng adalah dengan memotong puncaknya terlebih dahulu dan memberikannya kepada orang yang paling dihormati atau disayangi.
Namun, menurut Murdjati Gardijito, guru besar Teknologi Pangan UGM, cara ini sebenarnya menyalahi filosofi tumpeng.
Bentuk kerucut tumpeng melambangkan Gunung Mahameru di India, yang dianggap sebagai tempat suci tempat bersemayamnya para dewa.
Bagian puncak tumpeng terdiri dari satu butir nasi, yang melambangkan Tuhan Yang Maha Esa. Semakin ke bawah, tumpeng melambangkan umat dengan berbagai tingkat perilaku; semakin lebar di bawah, semakin banyak umat dengan perilaku kurang baik.
Itulah sebabnya puncak tumpeng tidak boleh dipotong, karena memotongnya berarti memutuskan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Budaya memotong puncak tumpeng mungkin terpengaruh oleh tradisi Barat, seperti memotong kue. Namun, tumpeng seharusnya dimakan dengan cara “dikepung,” atau dimakan bersama-sama.
Nasi dan lauk diambil dari bagian bawah dan dimakan bersama-sama hingga mencapai puncak, yang kemudian menyatu dengan bagian dasar tumpeng.
Cara makan ini melambangkan “manunggaling kawulo lan Gusti,” yang berarti “Sang Pencipta tempat kembali semua makhluk.”
Jadi, saat menikmati tumpeng, mulailah dari bagian bawah dan jangan potong puncaknya untuk menjaga makna filosofis yang dalam ini. (Ila)