Kontrak Sosial dan Negara

ZETIZENS.ID – Kontrak sosial merupakan salah satu gagasan paling berpengaruh dalam filsafat politik modern. Konsep ini menjelaskan bahwa negara tidak hadir begitu saja, melainkan lahir dari kesepakatan manusia untuk hidup bersama di bawah aturan yang mengikat.
Melalui kontrak sosial, manusia menyerahkan sebagian kebebasannya kepada suatu otoritas dengan harapan mendapatkan keamanan, ketertiban, dan keadilan.
Teori ini menjadi dasar pemikiran tentang legitimasi kekuasaan, di mana negara memperoleh otoritas bukan semata-mata karena kekuatan tetapi karena adanya persetujuan rakyat.
Thomas Hobbes, dalam bukunya Leviathan (1651), menggambarkan kondisi alamiah manusia sebagai “bellum omnium contra omnes” atau perang semua melawan semua.
Menurut Hobbes, tanpa negara, kehidupan manusia penuh ketakutan dan “solitary, poor, nasty, brutish, and short.” Oleh karena itu, manusia membutuhkan kontrak sosial untuk membentuk kekuasaan absolut yang disebut Leviathan.
Hobbes berpendapat bahwa “covenants, without the sword, are but words,” artinya perjanjian tanpa kekuatan negara hanyalah kata-kata kosong. Dengan demikian, negara menurut Hobbes harus kuat dan absolut agar bisa menjamin keamanan rakyat.
Berbeda dengan Hobbes, John Locke dalam Two Treatises of Government (1689) melihat kondisi alamiah manusia lebih positif.
Locke menegaskan bahwa manusia memiliki hak-hak alami berupa hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan.
Menurut Locke, “men are by nature free, equal, and independent,” sehingga kontrak sosial bukanlah penyerahan total kepada negara, melainkan pendelegasian terbatas untuk melindungi hak-hak dasar.
Jika negara melanggar atau gagal melindungi hak-hak tersebut, rakyat berhak melakukan perlawanan bahkan mengganti pemerintah. Pemikiran Locke ini sangat memengaruhi perkembangan demokrasi liberal dan konsep negara hukum modern.
Jean-Jacques Rousseau membawa pandangan yang berbeda dalam Du Contrat Social (1762). Ia menolak baik absolutisme Hobbes maupun liberalisme individual Locke. Rousseau berpendapat bahwa “man is born free, and everywhere he is in chains.”
Menurutnya, kontrak sosial harus menciptakan kehendak umum (volonté générale) yang mencerminkan kepentingan bersama, bukan sekadar melindungi individu.
Negara harus berjalan berdasarkan kedaulatan rakyat, di mana hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum. Dalam pandangan ini, kebebasan sejati justru diperoleh ketika individu tunduk pada hukum yang dibuat secara kolektif oleh rakyat sendiri.
Dalam konteks Indonesia, gagasan kontrak sosial dapat ditemukan dalam semangat Pembukaan UUD 1945. Alinea keempat menyatakan tujuan negara: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa lahirnya negara Indonesia bukan semata hasil perjuangan fisik, melainkan juga kesepakatan politik bangsa untuk hidup bersama dalam suatu ikatan kebangsaan.
Kontrak sosial Indonesia diwujudkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yang menekankan nilai persatuan, kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi.
Namun, kontrak sosial tidak berhenti pada momen kelahiran negara. Ia harus terus diperbarui melalui interaksi antara rakyat dan pemerintah.
Jika pemerintah menyalahgunakan kekuasaan, melanggar keadilan, atau gagal menyejahterakan rakyat, maka kepercayaan sebagai inti kontrak sosial akan rusak. Seperti yang dikatakan Locke, rakyat berhak mengganti pemerintah yang tidak lagi menjalankan amanatnya.
Dalam kerangka demokrasi Indonesia, hal ini dilakukan melalui mekanisme pemilu, kebebasan berpendapat, dan kontrol masyarakat sipil.
Hari ini, tantangan kontrak sosial di Indonesia adalah bagaimana mewujudkan negara yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kepentingan elite politik dan ekonomi.
Kontrak sosial seharusnya tidak dimaknai sebagai kewajiban rakyat untuk tunduk, melainkan juga sebagai kewajiban negara untuk melindungi, melayani, dan menyejahterakan rakyat.
Kontrak sosial harus menjadi pengingat bahwa negara hanya sah sejauh ia menjalankan amanat rakyat, sebab dalam demokrasi kedaulatan sejatinya berada di tangan rakyat.
Dengan demikian, kontrak sosial tetap relevan untuk dibicarakan di era modern. Hobbes mengajarkan pentingnya negara yang kuat, Locke menegaskan perlindungan hak-hak individu, dan Rousseau menekankan kehendak umum sebagai dasar negara.
Ketiganya memberikan perspektif yang berbeda, tetapi bersama-sama membentuk landasan bagi kita untuk menilai legitimasi negara. Bagi Indonesia, kontrak sosial harus menjadi prinsip hidup berbangsa yang dinamis, terus diperbarui, dan dijaga agar negara benar-benar hadir sebagai perwujudan kesepakatan rakyat, bukan sekadar simbol kekuasaan. (*)
Ditulis oleh Izzulhaq Alfarezi, mahasiswa semester 3 Universitas Pamulang Serang