Karya

Demokrasi Indonesia yang Mulai Retak: Pandangan Gen Z dengan Sentuhan Socrates, Plato, dan Aristoteles

ZETIZENS.ID – Hidup di dunia digital yang super sibuk ini, kami sebagai Generasi Z merasakan demokrasi Indonesia seperti janji manis yang mulai pecah belah.

Sejak jaman Reformasi 1998, sistem ini katanya bakal jadi tempat di mana suara rakyat biasa bisa bergema kencang, tapi nyatanya sekarang terjepit korupsi yang sudah mendarah daging di kalangan pejabat tinggi, keretakan sosial gara-gara berita palsu yang nyebar kemana-mana, dan pengaruh duit politik yang bikin mimpi kami sebagai pemuda terasa terhimpit.

Kami yang setiap hari asyik scroll Twitter atau instageam sering banget merasa seperti orang luar, sambil mikir dalam hati: apa bener proses pemilu dan politik ini mewakili apa yang kita semua mau, atau cuma jadi alat mainan buat segelintir elite yang pegang kendali?

Biar bisa ngulik masalah ini lebih dalem, saya coba tarik inspirasi dari tiga pemikir besar dari Yunani kuno: Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Cara mereka mikir yang nggak pernah usang ini bantu kami, Gen Z, bedah rumitnya demokrasi dengan cara yang langsung pada intinya dan beneran jujur. Socrates ajarin kita buat ngejar kebenaran lewat tanya-jawab yang nggak ada habisnya, Plato kasih peringatan soal bahaya kalau pemerintahan dikuasai massa yang nggak terkendali, dan Aristoteles usul buat cari keseimbangan di antara berbagai kelompok sosial.

Dari perspektif kami yang selalu mikir inovatif dan pengen bikin perubahan nyata, pemikiran-pemikiran ini bisa jadi panduan praktis buat kami dalam nge-kritik dan ngebenerin demokrasi Indonesia. Biar kami nggak cuma jadi penonton pasif, tapi ikut tangan langsung bentuk masa depan yang lebih baik.

Socrates, yang hidup dan berpikir di Athena sekitar abad ke-5 sebelum Masehi, emang legendaris banget sama metodenya yang suka nanya-nanya terus buat ngebongkar kebenaran.

Buat dia, pemahaman yang beneran lahir dari diskusi yang bikin kita sadar betul sama asumsi-asumsi kita sendiri, dan dia takut banget kalau masyarakat yang males mikir bakal dimanfaatin sama pemimpin-pemimpin licik.

Situasi kayak gini bener-bener nge-refleksi apa yang lagi terjadi di Indonesia sekarang, di mana kami Gen Z sering kejebak di bubble informasi di media sosial yang bikin pandangan kita sempit.

Contohnya aja pemilu yang baru-baru ini, penuh sama kampanye yang bikin orang marah-marah tapi jarang banget bahas hal-hal penting seperti kesehatan mental anak muda atau upaya jaga lingkungan biar nggak rusak parah.

Dari apa yang kami rasain sehari-hari, masalah utama di demokrasi kita adalah kurangnya ruang buat diskusi yang tulus dan nggak dibuat-buat.

Banyak temen-temen pemuda yang milih cuek aja karena yakin suara mereka nggak bakal ngaruh apa-apa, kayak waktu undang-undang soal pemberantasan korupsi direvisi dan malah bikin pengawasan jadi letoy.

Socrates pasti bakal nantang kita: “Kamu udah paham seberapa jauh soal sistem ini?” Teknik tanya-jawabnya bisa kami adaptasi buat Gen Z, misalnya lewat webinar online atau grup chat diskusi virtual yang bikin kita mikir lebih dalam. Ini bisa ngebantu ubah rasa apatis jadi semangat ikut serta, jadi demokrasi nggak lagi cuma acara lima tahunan yang melelahkan, tapi bagian dari rutinitas harian yang hidup. Pelajaran dari Socrates ini ngingetin kita bahwa kalau nggak ada rasa penasaran yang gigih, kami bakal terus-terusan terjebak dalam trik-trik politik yang licik dan nggak adil.

Plato, yang jadi murid kesayangan Socrates, di bukunya yang ngebahas negara ideal, sering nyindir demokrasi karena gampang banget dikuasai sama kekuatan massa yang reaktif dan gampang digoyang sama pemimpin karismatik yang sebenarnya nggak bertanggung jawab.

Dia ngusulin supaya pemerintahan dipegang sama orang-orang yang bijak dan punya etika tinggi, yang lebih prioritasin nilai-nilai baik daripada cuma cari dukungan dari kerumunan.

Bukan berarti dia nolak demokrasi sepenuhnya, tapi lebih kayak alarm darurat biar kekuasaan nggak keburu jatuh ke tangan dorongan-dorongan rendah kayak ambisi duit atau kekuasaan buta.

Buat kami Gen Z yang hidup di Indonesia, ide-ide Plato ini kayak lampu sorot yang nerangin dinamika politik kita sehari-hari.

Oligarki yang nyatu antara pebisnis kaya dan politikus, keliatan banget dari kasus-kasus penyimpangan anggaran proyek negara atau korupsi di parlemen yang kayaknya nggak ada ujungnya, bikin proses pemilihan jadi miring ke pihak yang punya kantong tebel.

Biaya kampanye yang selangit itu bikin calon dari keluarga biasa susah bersaing, jadi isu-isu yang deket sama kami seperti kesetaraan gender atau adaptasi sama teknologi digital sering keabaikan.

Dari sudut pandang kami yang udah biasa sama konten super cepat di Reels atau Shorts, Plato lagi-lagi kasih warning soal “demokrasi palsu” di mana popularitas dan viral lebih penting daripada substansi yang beneran.

Kami bisa terapin ini dengan dorong akuntabilitas lewat aplikasi laporan korupsi atau gerakan online yang masif, yang bikin kami bisa analisis idenya secara terbuka dan jujur.

Pemikiran Plato ini bener-bener nyemangatin Gen Z buat nggak berhenti di kritik doang, tapi lanjut ke langkah nyata buat bentuk kepemimpinan yang berbasis moral, supaya demokrasi kita bisa lepas dari jerat suap-sogokan dan nepotisme yang merajalela.

Aristoteles, yang belajar langsung dari Plato, kasih analisis politik yang lebih halus dan nggak hitam-putih. Dia liat demokrasi sebagai model pemerintahan yang bisa jalan kalau dicampur sama elemen aristokrasi dan monarki, jadi sistem hibrida yang adil banget, dengan penekanan khusus ke peran kelas menengah yang stabil.

Menurut dia, demokrasi bakal gagal total kalau cuma melayani ekstrem kayak yang super kaya atau yang miskin banget; butuh keseimbangan yang pas biar nggak berujung pada kekacauan sosial.

Pandangan ini cocok banget buat kami Gen Z kupas ketidakmerataan yang lagi nge-hits di Indonesia.

Dengan jurang ekonomi yang makin dalam, di mana segelintir elite pegang hampir semua sumber daya, sistem kami jadi condong ke pihak yang udah kuat, ninggalin pemuda di daerah pelosok tanpa akses ke pendidikan top atau pekerjaan yang aman.

Isu-isu kayak migrasi massal ke kota besar dan pengangguran yang nggak kunjung reda di kalangan kami ini bener-bener nunjukin ketidakharmonisan yang dibenci Aristoteles.

Sebagai generasi yang sering andelin ekonomi seperti freelance online atau side pekerjaan sampingan, Aristoteles kasih inspirasi buat kami pahami demokrasi dengan cara yang transparan dan nggak bias.

Dari pandangan Socrates, Plato, dan Aristoteles ini, jelas banget kalau tantangan di demokrasi Indonesia sebenarnya jadi peluang emas buat Gen Z buat transformasi diri.

Socrates kasih kami alat buat interogasi yang tajam, Plato dengan kewaspadaan lawan manipulasi yang licik, dan Aristoteles dengan cetak biru buat harmoni sosial yang seimbang.

Di dunia kami yang terhubung lewat internet super cepat, ide-ide kuno kayak gini bisa berubah jadi inisiatif modern yang keren: mulai dari forum diskusi virtual sampe aksi di media sosial buat dorong integritas politik.

Kami sebagai pemuda punya tanggung jawab besar buat regenerasi sistem ini dari akarnya. Mulai aja dari percakapan kritis di lingkungan terdekat, seperti di kampus atau komunitas online, lawan ketidakadilan lewat keterlibatan langsung kayak petisi atau demo damai, dan ciptain kesetaraan yang bener-bener seimbang buat semua.

Demokrasi Indonesia nggak lagi jadi warisan usang yang bikin bosan, tapi fondasi segar yang kami bangun bareng-bareng buat era baru yang lebih cerah.

Saatnya Gen Z ambil peran utama,bukan cuma sebagai pengamat yang pasif, tapi sebagai pembaharu sejati yang bikin perubahan nyata terjadi. (*)

Ditulis oleh Fardillah Rizky Rahayu, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Kampus Unpam Serang PSDKU

Tulisan Terkait

Back to top button