Karya

PKL dan Ruang Publik Kota Serang: Mencari Solusi Tanpa Mengorbankan Rakyat Kecil

ZETIZENS.ID – Penertiban pedagang kaki lima (PKL) di sekitar Stadion Maulana Yusuf baru-baru ini menimbulkan beragam respons di tengah masyarakat Kota Serang.

Pemerintah Kota Serang berdalih bahwa langkah ini dilakukan untuk menjaga ketertiban, kebersihan, dan kenyamanan ruang publik. Namun di sisi lain, banyak pedagang yang merasa diperlakukan tidak adil karena penghasilan mereka bergantung pada lokasi strategis tersebut.

Stadion Maulana Yusuf ini bukan cuma jadi pusat kegiatan olahraga seperti sepak bola dan senam pagi, tetapi juga telah berkembang menjadi ruang interaksi sosial dan ekonomi.

Kehadiran PKL di sekitarnya tidak bisa dipandang semata sebagai sebuah gangguan, tapi justru sebagai bagian dari denyut ekonomi lokal yang melibatkan masyarakat kelas bawah.

Penataan ruang kota tentu adalah hal yang sangat penting. Ruang publik harus nyaman, aman, dan bersih. Tetapi pendekatan penertiban saat ini tidak boleh sekadar mengusir tanpa adanya solusi. Yang kerap terjadi, PKL diusir tanpa diberi tempat alternatif yang layak, atau bahkan tidak diajak bicara dalam proses perencanaan.

Hal ini menimbulkan kesan bahwa mereka tidak dianggap sebagai bagian dari warga Kota Serang.

Penertiban yang dilakukan sejak Desember 2024 hingga Februari 2025, telah berdampak pada lebih dari 150 PKL. Mereka dipindahkan ke bagian dalam stadion atau diarahkan untuk meninggalkan area di sekitar rel kereta dan halaman makam pahlawan.

Pemerintah memang mengalokasikan dana sekitar Rp2,3 hingga 2,7 miliar dari APBD untuk membangun kios baru, namun hingga kini, banyak PKL masih merasa tidak mendapat tempat layak atau kepastian masa depan usahanya.

Beberapa pedagang menyatakan bahwa mereka bersedia dipindahkan, asalkan relokasi dilakukan secara adil dan tempat baru memiliki potensi ekonomi yang sama.

Ketika PKL dipindahkan ke lokasi yang kurang strategis, secara otomatis pendapatan mereka menurun. Kondisi ini makin memperburuk kesejahteraan masyarakat kecil.

Yang disayangkan adalah minimnya dialog antara pemerintah dan PKL. Dalam banyak kasus, penertiban dilakukan secara sepihak, tanpa proses komunikasi yang terbuka. Padahal menurut Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012, pemerintah daerah berkewajiban melibatkan PKL dalam proses penataan dan menyediakan lokasi pengganti yang layak secara ekonomi, bukan hanya secara administratif.

Kita bisa belajar dari keberhasilan Kota Surakarta yang mampu menata ribuan PKL melalui pendekatan dialog dan kolaborasi. Pada saat era Wali Kota Joko Widodo, para PKL diajak berdiskusi, diberikan pelatihan, diberi insentif relokasi, serta dibangunkan lokasi usaha baru dengan fasilitas lengkap. Hasilnya, kota tetap tertata rapi tanpa menyingkirkan pelaku ekonomi informal.

Kebijakan penertiban di Kota Serang semestinya tidak terjebak pada pendekatan represif. Sebuah kota yang ideal bukan hanya tentang estetikanya, melainkan juga tentang bagaimana kota itu memperlakukan warganya, terutama mereka yang berada di lapisan ekonomi paling rentan. PKL adalah bagian dari sistem sosial-ekonomi kota, bukan pengganggu yang bisa dipindah seenaknya.

Sebagai solusi, pemerintah bisa memberikan izin para PKL berjualan pada sore hingga malam hari saat stadion tidak digunakan. Area dagang juga bisa ditata agar tidak mengganggu jalan utama, dan tetap memungkinkan ruang hijau tumbuh.

Pendekatan seperti ini telah terbukti berhasil di beberapa kota lain seperti Bandung dan Yogyakarta.

Yang tidak kalah penting adalah menyediakan fasilitas pendukung, seperti tempat sampah, pencahayaan, pengawasan keamanan, dan ruang parkir terorganisir.

Penataan yang memperhatikan kenyamanan dan kebersihan bersama akan meningkatkan kualitas ruang publik tanpa perlu menyingkirkan PKL. Penegakan retribusi dan aturan bisa berjalan asal dilandasi dengan prinsip keadilan dan transparansi.

Pemerintah Kota Serang juga perlu menyusun rencana jangka panjang penataan ekonomi informal yang berkelanjutan. Ini mencakup pelatihan wirausaha, Keterlibatan komunitas PKL, akademisi, dan masyarakat sipil adalah syarat mutlak agar kebijakan ini dapat berjalan tanpa konflik dan dengan rasa kepemilikan bersama.

Sebagai warga Kota Serang, saya percaya bahwa keberhasilan penataan ruang publik tidak hanya diukur dari seberapa rapi dan bersihnya suatu tempat, tetapi dari seberapa besar keberpihakan kita terhadap warga kecil yang menggantungkan hidup di ruang-ruang itu.

Jika pemerintah mau sedikit lebih terbuka dan mau mendengar, saya yakin banyak PKL yang bersedia bekerja sama demi kebaikan bersama. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk saling memahami, bukan saling menyingkirkan.

Jadi pada akhirnya, kota yang baik bukan hanya kota yang bersih secara visual saja, tapi adil secara sosial. Penataan tidak boleh menyingkirkan mereka yang paling rentan secara ekonomi.

PKL bukan pengganggu, mereka adalah warga Kota Serang. Dengan penertiban yang manusiawi, maka masyarakat kota serang bisa merasakan manfaat dari tata ruang yang tertib tanpa mengorbankan penghidupan masyarakat kecil. (*)

Ditulis oleh Elandra Andhara Diputra, Mahasiswa Universitas Pamulang, Warga Kota Serang

Tulisan Terkait

Back to top button