Tantangan dan Informasi Layanan Kesehatan Primer di Indonesia

ZETIZENS.ID – Menurut pandangan saya layanan kesehatan primer itu ibarat fondasi utama dalam sistem kesehatan sebuah negara. Di Indonesia sendiri, layanan ini paling banyak dijalankan lewat Puskesmas yang ada hampir di setiap kecamatan.
Tapi meski jumlahnya terus bertambah, kenyataannya di lapangan masih ada banyak tantangan, terutama soal pemerataan akses dan kualitas layanan yang diterima masyarakat.
Sampai akhir tahun 2023, tercatat ada sekitar 10.180 Puskesmas di seluruh Indonesia. Angka ini sedikit turun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 10.374.
Penurunan ini bukan karena layanan dikurangi, tapi lebih ke penggabungan dan restrukturisasi supaya pelayanan jadi lebih efektif dan terintegrasi dengan baik (Kemenkes, 2024).
Selain Puskesmas, layanan kesehatan primer juga dijalankan oleh klinik pratama dan praktik dokter mandiri. Totalnya ada lebih dari 14.000 unit. Sayangnya, distribusinya belum merata.
Kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya punya fasilitas yang melimpah, tapi daerah-daerah terpencil seperti Nusa Tenggara Timur atau Papua justru masih kekurangan.
Pemerintah lewat program JKN-KIS berhasil mencatat bahwa per September 2024, cakupan peserta sudah mencapai 98,67% dari seluruh penduduk Indonesia.
Ini pencapaian yang luar biasa dalam menjamin kesehatan untuk semua. Namun, masih ada tantangan soal kualitas dan pemerataan layanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang harus segera diatasi.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hampir separuh Puskesmas, sekitar 48%, belum punya semua jenis tenaga kesehatan ideal, seperti dokter, perawat, bidan, ahli gizi, dan apoteker.
Kondisi ini jelas menghambat layanan yang berkualitas, terutama di wilayah terpencil dan perbatasan.
Untuk menghadapi masalah ini, pemerintah sedang menjalankan program transformasi layanan primer dengan fokus pada digitalisasi, penguatan posyandu, dan layanan berbasis komunitas.
Salah satu inovasinya adalah sistem SATUSEHAT, yang mengintegrasikan data pasien dari seluruh fasilitas kesehatan agar lebih mudah dipantau.
Dari sisi masyarakat pengguna, masih banyak keluhan soal pelayanan. Survei internal BPJS mengungkapkan bahwa beberapa pasien mengeluhkan antrean yang lama, perbedaan perlakuan antara pasien umum dan peserta JKN, serta komunikasi yang kurang efektif antara tenaga medis dan pasien.
Digitalisasi memang menawarkan banyak kemudahan. Sistem rekam medis elektronik (EMR) yang mulai diterapkan di beberapa fasilitas sudah berhasil mengurangi waktu tunggu dan membuat pelayanan lebih efisien.
Tapi kendala seperti akses internet yang belum merata dan kurangnya tenaga IT masih jadi masalah yang harus diperbaiki.
Dari segi pembiayaan, alokasi dana untuk layanan kesehatan primer juga masih kurang memadai. Pada 2021, hanya sekitar 37,2% dari total anggaran kesehatan nasional yang dialokasikan untuk layanan primer.
Padahal, Puskesmas dan fasilitas tingkat pertama lainnya adalah garis depan pencegahan penyakit.
Masalah lainnya adalah ketimpangan penyebaran dokter dan tenaga kesehatan. Rasio dokter umum nasional baru sekitar 0,47 per 1.000 penduduk, jauh dari standar WHO yang menyarankan satu dokter untuk seribu penduduk.
Banyak daerah di luar Pulau Jawa bahkan tidak memiliki dokter tetap.
Faktor geografis juga menjadi tantangan besar. Di Papua misalnya, ada kampung-kampung yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki berjam-jam atau lewat transportasi air.
Program Nusantara Sehat sangat penting di sini, karena mengirimkan tenaga medis secara bergilir ke daerah-daerah sulit dijangkau.
Selain itu, layanan kesehatan primer juga tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya.
Di beberapa daerah, budaya lokal mempengaruhi cara masyarakat memandang penyakit dan pengobatan, sehingga pendekatan kultural dan edukasi sangat dibutuhkan selain infrastruktur dan tenaga medis.
Pandemi COVID-19 menjadi pelajaran besar bagi layanan primer. Banyak Puskesmas berperan penting sebagai pusat vaksinasi dan pelacakan kasus. Namun, beban kerja yang sangat berat membuat banyak tenaga kesehatan mengalami kelelahan fisik dan mental, terutama pada awal pandemi.
Ke depan, layanan kesehatan primer di Indonesia tidak boleh hanya fokus pada penambahan fasilitas, tapi juga harus meningkatkan kualitas layanan, kecepatan respons, dan kemampuan edukasi masyarakat.
Puskesmas harus lebih dari sekadar tempat berobat, melainkan jadi pusat promosi kesehatan yang aktif di komunitas.
Sebagai mahasiswa dan calon praktisi ilmu pemerintahan, penting untuk memahami bahwa kesehatan bukan hanya soal pengobatan, tapi juga soal sistem yang adil dan akses yang merata.
Meningkatkan layanan kesehatan primer berarti memperkuat kehadiran negara dari kota besar sampai pelosok negeri. (*)
Ditulis oleh Renda Wiguna, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Semester 2 Universitas Pamulang Serang