Karya

Dinamika Fertilitas di Indonesia: Fenomena Child-free

ZETIZENS.ID  Childfree adalah individu yang memilih untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun melalui adopsi. Mereka juga sering disebut sebagai “childless by choice” atau “voluntarily childless” (Neal & Neal, 2023).

Fenomena child-free di Indonesia mencerminkan transformasi pandangan masyarakat terhadap keluarga dan peran keibuan. Persentase perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak meningkat dari 6,3% pada tahun 2020 menjadi 8,2% pada tahun 2022 (Yuniarti & Panuntun, 2023).

Penurunan Total Fertility Rate (TFR) dari 2,22% pada tahun 2019 menjadi 2,15% pada tahun 2022 (World Bank, 2022) menunjukkan adanya perubahan pola hidup yang signifikan.

Di sisi lain, proporsi perempuan dalam posisi manajerial menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang fokus pada karier (Badan Pusat Statistik, 2024c). Keputusan untuk menjalani gaya hidup child-free dapat bersifat sementara atau permanen, dan berpotensi memengaruhi struktur demografi serta keberlanjutan populasi Indonesia.

Risiko politik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi fenomena ini. Pada tahun 2021, skor risiko politik Indonesia tercatat sebesar 0,33 (Political Risk Services Group, 2022). Data ini menunjukkan risiko politik yang sangat tinggi dan dapat berdampak pada keputusan terkait pembentukan keluarga.

Dari aspek ekonomi, rata-rata upah/gaji mengalami peningkatan dari Rp 1.456.949,96 pada tahun 2019 menjadi Rp 3.061.384 pada tahun 2023 (Badan Pusat Statistik, 2024d). Namun, tantangan seperti tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 6,01% pada tahun 2020 dan jumlah penduduk miskin yang terus meningkat menjadi pertimbangan penting dalam keputusan untuk memiliki anak (Badan Pusat Statistik, 2024e; 2024b).

Aspek sosial juga berperan krusial dalam fenomena child-free. Data menunjukkan bahwa 48,8% rumah tangga melakukan hukuman fisik atau agresi psikologis terhadap anak-anak dalam setahun terakhir, dengan prevalensi yang lebih tinggi di daerah perdesaan (Badan Pusat Statistik, 2020). Kondisi ini dapat menimbulkan trauma bagi generasi mendatang, keinginan untuk menghindari pola pengasuhan yang tidak sehat, dan memicu ketakutan untuk memiliki anak.

Kesimpulannya, dinamika fertilitas di Indonesia, khususnya fenomena child-free, merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor politik, ekonomi, dan sosial.

Tren ini berpotensi menurunkan angka kelahiran dan mengubah struktur demografis secara signifikan. Untuk itu, pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan yang mendukung kesejahteraan keluarga dan stabilitas ekonomi, seperti subsidi pengasuhan anak, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, serta dukungan bagi kebijakan yang memfasilitasi keseimbangan antara karier dan kehidupan keluarga, seperti cuti orang tua yang fleksibel dan dukungan tempat penitipan anak di tempat kerja.

Selain itu, pemerintah perlu mengembangkan program layanan sosial bagi kelompok usia lanjut guna mengantisipasi peningkatan jumlah lansia di masa mendatang.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi akun Instagram @devira.dga untuk melihat ilustrasi, grafik data, dan daftar pustaka. (*)

Ditulis oleh Devira Dieda Genesia Azzahra

Tulisan Terkait

Back to top button