Monash University Indonesia jadi Tuan Rumah EduVate 2024
Menggali Kekuatan Pembelajaran Inovatif dan AI Generatif di Pendidikan Tinggi
ZETIZENS.ID – Monash University Indonesia bersama dengan Monash University Malaysia serta Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) IV Jawa Barat dan Banten, menggelar acara EduVate 2024 pada 19-21 Agustus dengan tema ‘Learning and Teaching Innovation Showcase in Higher Education’.
Ajang ini dihadiri oleh lebih dari 200 partisipan yang melibatkan akademisi dan tokoh terkemuka untuk membahas berbagai isu dan tren, serta solusi inovatif yang akan menjadi penentu masa depan perguruan tinggi, termasuk dampak dari perkembangan AI generatif.
Acara ini merupakan bagian dari inisiatif lebih luas yang dirancang untuk menawarkan pengalaman pendidikan tinggi yang unik dan transformatif bagi para mahasiswa dan pembuat perubahan (changemaker), terutama dari berbagai mitra universitas yang baru bergabung dalam aliansi strategis yang digagas oleh Monash University, Indonesia.
Profesor Matthew Nicholson, Pro Vice-Chancellor & President (Monash University, Indonesia), menekankan pentingnya pendidikan tinggi beradaptasi dengan lanskap yang berkembang pesat.
“Acara EduVate ini dirancang untuk menampilkan pendekatan strategis dan mendalam dalam mengintegrasikan pembelajaran inovatif di tingkat pendidikan tinggi, yang diharapkan membuka jalan bagi keunggulan akademik dan penelitian,” ujar Profesor Matthew.
Samsuri, Kepala LLDIKTI IV Jawa Barat dan Banten, menyampaikan sentimen senada, “EduVate 2024 sejalan dengan misi LLDIKTI IV untuk membina kolaborasi antar institusi pendidikan tinggi.
Acara ini menunjukkan bagaimana masa depan pendidikan terletak pada kolaborasi, inovasi, dan komitmen terhadap proses pembelajaran yang berkesinambungan, memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal di lanskap yang terus berubah ini.”
Diskusi ini menampilkan wawasan dari sejumlah tokoh terkemuka, termasuk Najelaa Shihab, psikolog, pendidik, serta pendiri Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK); Salman Subakat, CEO NSEI Paragon Corp; Itje Chodidjah, Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO; Melissa Wong, Senior Education Designer, Monash University Malaysia; dan Profesor Alex Lechner, Wakil Presiden Riset, Monash University, Indonesia.
Dalam sambutannya, pendidik terkemuka Najelaa Shihab menyoroti sejumlah elemen penting yang perlu menjadi perhatian akademisi agar bisa unggul dan memberikan dampak signifikan pada mahasiswa mereka.
Terdapat empat elemen kunci yang memerlukan dukungan dari para pemangku kepentingan pendidikan tinggi, yakni Kompetensi, Kemerdekaan, Kolaborasi, dan Karier.
Dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang transformatif, para akademisi harus berkesinambungan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka (Kompetensi), memiliki kebebasan untuk berinovasi dalam metode pengajaran mereka (Kemerdekaan), terlibat aktif dalam kemitraan dengan rekan sejawat dan industri (Kolaborasi), serta memiliki jalur yang jelas untuk pengembangan karier (Karier).
Turut berbicara di EduVate, Salman Subakat, CEO NSEI (Nurhayati Subakat Entrepreneurship Institute) Paragon Corp, menekankan peran penting kolaborasi akademik-industri dalam mempersiapkan tenaga kerja menghadapi tantangan masa depan.
“Dengan mengintegrasikan perjalanan 39 tahun Paragon sebagai perusahaan kosmetik terkemuka di Indonesia dan keunggulan riset Monash University—seperti dalam inovasi bioteknologi—kami dapat membangun kemitraan yang kuat. Kolaborasi ini sangat penting untuk membuka peluang terciptanya program bersama yang menggabungkan keunggulan akademis dan pengalaman praktis di dunia nyata, memastikan lulusan dibekali keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja yang dinamis saat ini,” tambah Salman.
Sementara itu, Itje Chodidjah, Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, menyoroti sejumlah strategi bagi akademisi di pendidikan tinggi Indonesia untuk terus eksis dan relevan di bidang yang mereka tekuni.
“Penting mengintegrasikan teknologi dalam mendukung terciptanya lingkungan belajar yang responsif terhadap kebutuhan mahasiswa yang unik, memastikan perangkat digital benar-benar mendukung kegiatan dan hasil akademis. Para akademisi juga harus berkomitmen pada pembelajaran yang berkesinambungan, konsisten memperbarui ilmu dan keterampilan mereka. Kemampuan beradaptasi dan berinovasi juga perlu ditingkatkan dalam menghadapi perubahan global, agar kelak dapat selalu menghadirkan pengalaman pendidikan yang dinamis dan berwawasan ke depan,” kata dia.
Salah satu panel diskusi bertema “Menavigasi Persimpangan Pedagogi, Teknologi, Kesetaraan, dan Kualitas dalam Pendidikan Tinggi,” bersama (kiri-kanan) Gatot Soepriyanto, Binus@Bekasi Campus Director; Itje Chodidjah, Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO; Arif Perdana, Asisten Profesor, Monash University, Indonesia; and Pipit Indrawati, Canva for Education Lead Indonesia/SEA
Selama acara, beberapa solusi inovatif lainnya juga diusulkan, termasuk merancang kurikulum berorientasi masa depan yang mendorong keterlibatan aktif dan kolaborasi, membudayakan pembelajaran berkesinambungan di kalangan akademisi dan mahasiswa, menciptakan pengalaman pembelajaran yang relevan dengan industri, serta memanfaatkan visualisasi berbasis AI untuk memperkaya penelitian dan mengidentifikasi solusi praktis secara efektif.
Melangkah ke depan bersama AI: Menuju pendidikan tinggi yang adil dan inklusif
AI generatif siap merevolusi sejumlah lapangan kerja beberapa tahun mendatang. Survei Global McKinseyterbaru mengenai AI mengungkapkan bahwa tiga perempat responden memperkirakan AI generatif akan membawa perubahan signifikan atau disruptif terhadap industri mereka dalam waktu dekat.
Pergeseran ini menimbulkan perdebatan seputar keterampilan yang dibutuhkan dalam merespon AI, serta bagaimana pendidikan tinggi tetap terdepan dalam revolusi AI.
Berbagai pertanyaan mendesak ini juga menjadi inti dari diskusi yang berlangsung di EduVate 2024. Acara ini menyoroti bagaimana AI generatif dapat mendobrak hambatan tradisional dalam pendidikan tinggi, membuka jalan bagi masa depan dengan memperluas akses terhadap pembelajaran yang dipersonalisasi.
“AI tidak akan menggantikan kecerdasan manusia. Sebaliknya, teknologi ini akan menggarisbawahi pentingnya keterampilan dasar seperti berpikir kritis, problem-solving, dan kreativitas dalam menghadapi potensi bias dan keterbatasan yang mungkin timbul oleh AI,” tukasnya.
“Kemampuan AI untuk menganalisis data dalam jumlah besar, serta menyesuaikan gaya belajar individu, memungkinkan pengalaman pembelajaran yang dipersonalisasi. Keunggulan ini membantu mahasiswa belajar dengan kecepatan mereka sendiri, seraya memperkaya keseluruhan proses pembelajaran. Daripada menganggap AI sebagai ancaman, kita seyogyanya dapat memanfaatkan teknologi ini untuk mendukung mahasiswa agar lebih siap dalam meraih sukses di tengah besarnya disrupsi AI di berbagai sektor,” tambah Profesor Matthew.
Monash University, Indonesia sendiri telah memanfaatkan visualisasi data berbasis AI dalam aplikasi dunia nyata, seperti kerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk memantau ujaran kebencian pada Pemilu 2024.
Pendekatan dan kolaborasi inovatif ini direncanakan akan diterapkan kembali pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada bulan November mendatang. (Sobri)