Tidak Semua Bisa Berjalan Seperti Apa yang Diharapkan
ZETIZENS.ID – Pepatah mengatakan kegagalan adalah kunci keberhasilan. Namun tidak semua orang bisa berdamai dan menerima kalimat itu.
Saat semua tidak sejalan dengan semua yang telah direncanakan, maka di situ juga iman akan ikut tergoyahkan.
Layaknya sebagai manusia biasa yang terus terombang-ambing keimanan dan hanya bisa berusaha mengendalikannya hingga pada akhirnya sampai ke titik tujuan dan bisa menerima semua yang telah ditakdirkan.
Bicara tentang harapan dan impian tentu setiap orang pasti mempunyai itu. Namun tidak dengan aku yang terpaksa harus mematahkan semua planning yang sudah dirangkai sejak kecil, berimajinasi, membayangkannya di setiap waktu, tak lupa do’a pun selalu dipanjatkan di sepanjang perjalanan kehidupan.
Namun saat waktunya tiba, ternyata semua itu berbalik arah dan bisa dikatakan awal dari kegagalan yang harus aku hadapkan.
Aku adalah seorang anak remaja yang dilahirkan disebuah provinsi di Indonesia yang sangat terkenal dengan seni dan makanan khasnya yaitu debus dan sate bandeng.
Terlahir di provinsi tersebut adalah sebuah anugerah yang perlu disyukuri. Tidak hanya itu, asal daerahku merupakan salah satu nama kota di provinsi Jawa Barat yaitu Bandung.
Uniknya berbeda dengan Jawa Barat, Bandung tempatku tinggal dikenal dengan kerajinan anyaman bambu yang diproduksi oleh masyarakat setempat yaitu Baboko (suatu wadah serbaguna). Sehingga lambat laun nama itu terkenal dengan Bandung Baboko.
Namaku Tania, teman-teman biasa memanggilku Nia dan terkadang ada juga yang memanggilku ia. Ibuku seorang pedagang jajanan keliling, setiap hari tanpa lelah dan mengeluh ia menjual dagangannya dari satu kampung ke kampung lain.
Aku terlahir dari 3 bersaudara, satu perempuan dan satu laki-laki. Kami bertiga memiliki kesamaan pada bulan kelahiran, yaitu sama-sama lahir pada bulan April.
Sejak kecil, ibu sudah mengajarkanku cara berjualan, mengasuh adik-adik dan memasak agar jika sewaktu-waktu ibu hendak berkeliling jualan aku bisa menggantikan posisinya.
Aku memiliki hobi membaca sejak SD, dulu aku belum mengerti apa manfaat membaca?
Tapi yang aku rasa saat itu, ketika aku membaca hatiku merasa senang.
Bermula rasa semangat itu muncul pada saat Ayah memperkenalkanku pada huruf alfabet, saat itu usiaku baru mencapai 4 tahun setengah.
Akhirnya, dengan kegigihan dan kesabaran ayah, berbulan-bulan lamanya aku pun bisa mengingat dan menghafalnya dari A-Z.
Menginjak umur 5 tahun, orang tua memasukanku ke sebuah TPQ dekat rumah.
Pada saat itu, Ayah dan Ibu berkata “jadilah anak yang sholehah nak, kamu anak pertama harus menjadi contoh adik-adikmu kelak”.
Ya, memang pada saat itu aku menjadi anak satu-satunya bagi mereka. Karena, adik-adikku belum lahir ke dunia ini. Aku pun mengiyakan mereka dan hari-hari selanjutnya aku pun mulai ikut belajar di TPQ tersebut.
Awal permulaan di TPQ, aku diajarkan oleh pak kyai untuk menghafal huruf hijaiyah terlebih dahulu.
Aku pun mulai menghafalnya, entah itu di rumah, di TPQ, maupun saat main aku tidak pernah melupakan hafalan itu.
Ibu dan Ayah berkata, “Nia sekarang sudah hafal A-Z jika mau cepat bisa lancar membaca, Nia harus rajin membaca. Membaca tidak harus pada buku Nia, saat Nia jajan jika ada tulisan maka bacalah tulisan pada kemasannya”.
Sejak itulah, aku pun dibiasakan setiap jajan sebelum dibuang kemasannya maka aku akan membawa dan membacanya terlebih dahulu di depan Ayah atau Ibu.
Pernah suatu ketika, aku sedang membeli minuman yang bermerk Aqua, aku pun mengejanya dengan suara yang lantang sambil loncat-loncat menuju suatu pos tempat bermain, “En..A..En…A disatukan Aqua” ucapku, semua teman dan keluarga pun tertawa.
Merasa ditertawakan aku pun menangis menahan malu. Sejak kejadian itu, aku semakin semangat belajar membaca dan menghafal huruf-huruf Alquran. Hingga pada saat aku masuk Sekolah Dasar, aku sudah bisa membaca buku dan Iqro.
Saat SD, alhamdulillah aku selalu masuk peringkat 3 besar di kelas. Motivasiku saat itu, aku melihat pelulusan kakak kelasku bersama Ayah.
Aku memperhatikan acara demi acara dan tibalah pada saat acara pembagian juara-juara kelas, saat itu bagian juara di kelasku diumumkan.
“Juara kelas 1, yaitu selamat pada Jani, Tika, Bintang, silahkan naik ke panggung untuk mengambil hadiah,” ucap sang guru.
Jani adalah teman sekampung, sepermainan, bisa dibilang ia teman karibku. Karena, dari awal masuk Sekolah Dasar teman yang sebaya denganku di kampung itu laki-laki semua. Di antaranya yaitu Jani, Hari, Dirman, dan Mail.
Aku merasa iri melihat Jani naik panggung dan mendapat hadiah, seolah-olah Ayah mengerti pikiranku ia pun berkata, “Jangan iri, hari ini Nia belum bisa naik panggung dan masuk 3 besar. Tapi, tahun depan Nia pasti bisa.”
Aku pun mengiyakan perkataan Ayah, dan alhamdulillah dengan ridho Allah ucapan Ayah terbukti. Tahun depan akhirnya aku masuk ke 3 besar di kelas sampai kelas 5 aku bisa mempertahankannya.
Tapi memasuki kelas 6 aku hanya masuk 5 besar, aku tidak patah semangat namun ada hal yang mengganjal di hati.
Sedih rasanya saat pertama kali aku mencapai impianku masuk 3 besar. Ayah sudah dipanggil Sang Kholik, dan tidak menyaksikan hal itu.
Sejak kecil, aku dikenal sebagai orang yang tidak mudah bergaul dengan orang yang baru dikenal mungkin bisa dibilang sampai sekarang.
Tidak heran, banyak orang yang terkadang mereka tahu namaku tapi aku tidak tahu siapa mereka?
Hingga suatu ketika aku bertemu dengan seseorang yang banyak sekali memberikan support dan dorongan selain Ibu dan adik-adik.
Aku berada di fase terpuruk saat salah satu impianku gagal, yaitu masuk PTN yang selalu aku semogakan.
Berdiam diri, tidak mau bertemu orang, pernah aku rasakan. Semua terasa sangat menyedihkan dan seperti sudah hancur sehancur-hancurnya. Tapi ternyata Allah punya rencana lain, aku mendapatkan kabar dari Pondok tempatku SMA bahwasanya aku lolos beasiswa di University of Africa (Sudan).
Aku senang mendengar kabar itu, tapi lagi-lagi ridho orang tua sulit untuk didapatkan. Hingga aku memilih untuk gap year terlebih dahulu.
Seseorang itu selalu mengatakan, “Sebaik-baiknya rencana, rencana Allah yang terbaik. jangan berkecil hati belajar tidak ditempat yang kamu inginkan, tapi mari kita arahkan asumsi diri kita bahwa dulu kampus terkenal karena mahasiswanya tapi sekarang mahasiswa terkenal karena kampusnya, it’s ok, kesimpulannya nama kampus itu ada di pundak mahasiswa, maju atau tidaknya tergantung dari mahasiswanya, dan cuma 1 pertanyaannya, mau gerak atau mau diam.”
Sejak saat itu, aku putuskan untuk masuk kuliah di manapun itu tapi aku harus konsisten dan bersungguh-sungguh.
Aku yakin tidak mungkin Allah membawaku berjalan sejauh ini, hanya untuk membuatku gagal.
Mungkin di tempat yang aku mau adalah rezeki orang lain, jadi aku harus menerima dan pastinya saat apa yang kita inginkan tapi orangtua tidak meridhoi lebih baik jangan dilakukan. Karena aku sangat berpegang teguh dengan kalimat “Ridho Allah tergantung Ridho orangtua”.
Akhirnya, aku bisa sampai di tempat ini. Menerima dan berdamai dengan semua hal yang membuatku patah.
Aku yakin rasa senang, sedih, bahagia, terpuruk pasti akan dialami oleh setiap manusia. Tapi semua hal itu sudah pasti ada fasenya dan tidak akan berlaku selamanya.
Jangan berlebihan dan berlarut-larut dalam keadaan apapun itu. Karena semua yang berlebihan tidak akan memberikan dampak baik untuk ke depannya. (*)
Ditulis oleh Sonia, Zetizens Jurnalistik 2024.