Budaya Nongkrong: Ketika Kebiasaan Sosial Berubah Menjadi Ancaman Sunyi

ZETIZENS.ID – Nongkrong telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan anak muda Indonesia. Di setiap sudut kota, dari kafe berlampu temaram hingga warung angkringan yang merakyat, keramaian itu selalu ada.
Nongkrong dianggap sebagai simbol kebersamaan, ruang pelarian dari rutinitas, sekaligus tempat membangun identitas. Namun di balik semua keseruannya, ada sisi lain yang jarang dibahas: budaya nongkrong yang tanpa batas perlahan berubah menjadi kebiasaan yang membawa dampak buruk.
Budaya nongkrong, dalam praktiknya, sering kali memunculkan pola hidup konsumtif. Banyak anak muda yang secara tidak sadar terjebak pada kebutuhan untuk “ikut nongkrong” demi menjaga eksistensi sosial.
Secangkir kopi seharga puluhan ribu, camilan berulang kali, hingga tuntutan memilih tempat yang estetik demi konten media sosial—semua itu membuat kegiatan sederhana berubah menjadi gaya hidup yang boros.
Tidak sedikit mahasiswa atau pekerja muda yang akhirnya harus menekan pengeluaran penting hanya karena terlalu sering menghabiskan uang di tongkrongan.
Dampak lain yang tak kalah serius adalah gangguan pada kesehatan. Nongkrong hingga larut malam sering dianggap wajar, padahal kurang tidur yang terus-menerus dapat menurunkan produktivitas, mengganggu konsentrasi, bahkan memicu stres.
Belum lagi kebiasaan merokok, minum minuman manis berkalori tinggi, atau duduk terlalu lama tanpa aktivitas fisik. Semua itu secara perlahan membentuk pola hidup tidak sehat yang bisa dirasakan dampaknya dalam jangka panjang.
Tidak hanya aspek fisik, budaya nongkrong yang berlebihan juga merembet pada persoalan sosial. Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar, beristirahat, atau mengembangkan keterampilan malah habis untuk nongkrong tanpa tujuan jelas.
Ketika kebiasaan ini terus berulang, “relaksasi” justru berubah menjadi bentuk baru dari prokrastinasi. Pada titik tertentu, nongkrong bukan lagi sarana memperkuat hubungan sosial, tetapi menjadi penyebab munculnya ketergantungan: tidak tenang jika tidak keluar, tidak fokus jika tidak bertemu teman.
Namun, tentu saja nongkrong bukan berarti sesuatu yang harus dilarang. Budaya ini memiliki fungsi sosial yang penting: memperkuat relasi, membuka ruang diskusi, bahkan menjadi tempat menemukan ide baru.
Yang menjadi masalah adalah ketika nongkrong kehilangan batas, ketika ia lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat. Di tengah tuntutan hidup yang semakin kompleks, anak muda perlu lebih bijak mengelola waktu, pengeluaran, dan energi.
Kini saatnya kita bertanya: apakah nongkrong yang kita lakukan benar-benar memberi manfaat, atau hanya sekadar rutinitas tanpa arah? Budaya nongkrong tidak harus ditinggalkan, tetapi harus diletakkan pada porsinya. Ketika kita mampu menempatkannya secara proporsional, nongkrong tetap bisa menjadi ruang yang hangat tanpa mencuri masa depan. (*)
Ditulis oleh Joyce Silalahi, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa







