Beras Indonesia Memadai, Diversifikasi Pangan Tetap Mendesak

ZETIZENS.ID – Dikatakan Indonesia sudah tidak melakukan impor beras di tahun 2025 ini berkat upaya yang digencarkan pemerintah dalam program swasembada pangannya.
Ketersediaan beras di Indonesia saat ini sudah tercukupi, bahkan mengalami surplus beras sekitar 4 sampai 5 juta ton.
Berita ini menghasilka perasaan aman masyarakat indonesia terhadap stok yang ada. Namun, dibalik kenyamanan itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Ketahanan pangan bukan hanya ketersediaan jumlah beras, namun juga kemudahan akses setiap individu atau rumah tangga dalam menjangkaunya dan keberlanjutan katahanan pangan yang pasti.
Data dari Proyek neraca beras 2025 mengungkapkan tingakat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap beras masih berada pada angka tinggi, yaitu sekitar 1,77 kg/kapita/minggu dalam suatu rumah tangga.
Jika dihitung dalam satu tahun, konsumsi beras diperkirakan mencapai 30,9 juta ton. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia masih bergantung kepada satu jenis bahan pangan.
Belajar dari masa lalu ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras mengakibatkan pemerintah terpaksa mengambil kebijakan impor, yang pada akhirnya menekan posisi dan pendapatan petani Indonesia.
Demi mendapatkan harga yang lebih murah, impor dilakukan dengan harapan setiap rumah tangga dapat menjangkaunya. Selain itu, setiap pertambahan penduduk tiap tahunnya kerap kali mengakibatkan peralihan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman.
Urbanisasi diikuti naiknya permintaan terhadap pangan berpotensi tidak terpenuhinya ketersediaan pangan
Di samping itu potensi pangan lokal Indonesia sangat melimpah, seperti jagung, ubi, singkong, sagu, yang dapat dijadikan alternatif pengganti nasi dalam memenuhi karbohidrat masyarakat.
Pemanfaatan pangan lokal dan diversifikasi pangan merupakan strategi yang dapat mencapai ketahanan pangan jangka panjang. Karena diversifikasi meragamkan jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga masyarakat tidak bergantung pada satu jenis pangan.
Diversifikasi pangan ini dapat mengurangi resiko krisis pangan jika pertanian beras terganggu. Karena setiap pertanian pastinya mengalami beberapa masalah baik itu karena faktor cuaca yang tidak pasti, bencana alam yang tidak dapat dicegah oleh manusia, dan hama yang merusak tanaman.
Diversifikasi ini dapat menambah nilai gizi pada makanan yang dikonsumsi masyarakat dan membentuk pola makan yang seimbang.
Jumlah gizi pada setiap bahan pangan berbeda, maka dari itu dengan adanya keberagaman pangan dapat memenuhi tingkat gizi yang dikonsumsi. Selain itu, penggunaan pangan lokal dapat membuka pasar yang lebih besar bagi petani lokal.
Hal ini dapat meningkatkan pendapatan petani dan salah satu cara untuk memberdayakan petani lokal.
Meski urgensi diversifikasi pangan begitu jelas, tantangan dalam gerakan diversifikasi pangan cukup kompleks, mulai dari pola konsumsi masyarakat yang sulit diubah hingga distribusi pangan lokal yang belum merata.
Selain hal itu, kurangnya edukasi mengenai pengelolaan pangan lokal membuat masyarakat tidak dapat memanfaatkan hasil panen dengan optimal.
Oleh karena itu, diperlukan edukasi mengenai potensi pangan lokal baik gizi maupun pengelolaannya, promosi dan kampanye untuk menarik minat masyarakat, serta kolaborasi antara pemerintah, akademisi, komunitas dan pelaku usaha.
Ketahanan pangan sejati tidak hanya berhenti di beras, melainkan seluruh pangan lokal Indonesia. Maka dari itu, swasembada beras bukanlah akhir melainkan langkah awal menuju ketahanan pangan sejati. (*)
Ditulis oleh Zahra Fadhillah, mahasiswa Untirta. NIM 6661250053.







