Karya

Kontrak Sosial dan Tantangan Zaman Kita

ZETIZENS.ID – Sejak zaman kuno, manusia telah mencari cara untuk hidup bersama tanpa saling meniadakan. Pertanyaan sederhana bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan damai melahirkan salah satu gagasan paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran politik: kontrak sosial.

Thomas Hobbes melihat bahwa tanpa kesepakatan, kehidupan manusia hanyalah “brutish, nasty, and short.” Karena itu, manusia menyerahkan sebagian kebebasannya kepada Leviathan sebuah kekuasaan mutlak yang menjamin keamanan.

John Locke menolak mutlaknya kekuasaan, ia menegaskan bahwa kontrak sosial justru ada untuk menjaga hak-hak dasar: hidup, kebebasan, dan kepemilikan.

Sementara Jean-Jacques Rousseau melangkah lebih jauh, dengan gagasan “volonté générale” kehendak umum yang menekankan partisipasi rakyat sebagai pemilik kedaulatan sejati. Namun, jika kita menoleh ke dunia kini, apakah kontrak sosial masih bekerja sebagaimana mestinya?

Dalam banyak masyarakat, kontrak itu tampak retak. Kita melihat negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung justru kerap terjebak dalam kepentingan kelompok elit.

Rakyat sebagai pemegang mandat sering kali merasa jauh dari pusat kekuasaan. Kontrak sosial yang mestinya menjamin keteraturan berubah menjadi semacam kontrak sepihak, di mana rakyat lebih banyak diminta patuh daripada dilibatkan.

Di sinilah kontrak sosial bukan sekadar konsep filsafat, melainkan sebuah cermin moral-politik. Pertanyaan penting yang harus kita ajukan: apakah kontrak itu masih menjamin kesetaraan hak, ataukah telah tereduksi menjadi alat legitimasi kekuasaan?

Kontrak sosial di abad ke-21 menuntut pembaruan. Dalam dunia digital yang serba cepat, relasi negara dan warga tidak bisa lagi kaku.

Transparansi, partisipasi publik, serta jaminan hak sipil harus menjadi syarat mutlak. Jika tidak, kontrak sosial hanya akan menjadi teks klasik yang indah, tetapi gagal menjaga kehidupan politik yang sehat.

Mungkin Rousseau benar ketika menegaskan: manusia memang terlahir bebas, tetapi di mana-mana ia terbelenggu.

Pertanyaannya, apakah kita masih punya keberanian untuk menegosiasikan ulang kontrak itu agar benar-benar menjadi kesepakatan hidup bersama, bukan sekadar janji kosong? (*)

Ditulis oleh Satrio Putra Wicaksono, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang PKSDU Serang

Tulisan Terkait

Back to top button