Karya

Republikanisme Cicero dan Demokrasi Indonesia: Refleksi Filsuf Klasik

ZETIZENS.ID – Demokrasi Indonesia sudah berubah banyak sejak Reformasi 1998. Kita beralih dari sistem otoriter ke multipartai dengan pemilu yang lebih terbuka. Ini membawa kemajuan tapi juga tantangan besar.

Korupsi yang merajalela nepotisme dan ketidakadilan sosial masih jadi masalah utama. Saya sering mikir soal ini karena melihat berita sehari-hari yang bikin kecewa.

Saya ingin merefleksikan isu-isu ini lewat pemikiran filsuf klasik. Terutama republikanisme Cicero yang fokus pada keseimbangan kekuasaan keadilan dan keterlibatan rakyat untuk hindari tirani.

Sebagai filsuf Romawi Cicero gabungkan ide Yunani dengan realitas republiknya. Ini sangat pas untuk analisis demokrasi konstitusional kita yang sering terasa rapuh.

Cicero: Republikanisme sebagai Keseimbangan Kekuasaan untuk Cegah Tirani

Cicero tulis De Re Publica sekitar 54-51 SM. Di situ dia bilang republik itu “res publica est res populi”. Artinya urusan rakyat yang asli.

Kekuasaan harus dibagi rata antara monarki (pemimpin bijak) aristokrasi (senat adil) dan demokrasi (partisipasi rakyat). Bagi Cicero keadilan atau iustitia jadi pondasi segalanya.

Kalau tidak seimbang republik bisa jatuh ke oligarki korup atau kekacauan massa. Dia lihat sendiri Republik Romawi runtuh karena ambisi pribadi yang merusak institusi seperti senat yang seharusnya jadi penjaga keseimbangan.

Saya lihat prinsip ini sangat cocok dengan Indonesia. Checks and balances di UUD 1945 sering gagal. Korupsi dan nepotisme di elite politik mirip degradasi yang Cicero kritik.

Eksekutif kerap kuasai legislatif dan yudikatif. Contohnya kasus korupsi e-KTP tahun 2017 yang libatkan banyak pejabat tinggi. Itu tunjukkan patronase di pilkada dan birokrasi ingatkan oligarki Romawi yang dia anggap bahaya buat keadilan bersama.

Solusinya penguatan KPK sebagai “senat” modern. Ini bisa jaga keseimbangan kekuasaan dengan lebih baik kalau diberi wewenang lebih luas tanpa intervensi politik.

Plato: Republikanisme Cicero sebagai Tameng Ketidakstabilan Demokrasi

Plato di Republik sekitar 380 SM kritik demokrasi sebagai pemerintahan tak stabil. Kebebasan berlebih bikin kekacauan dan berujung tirani. Massa tanpa pengetahuan mendominasi segalanya.

Dia usul pemerintahan filsuf-raja yang bijak untuk jaga harmoni. Cicero adaptasi ide ini ke republikanisme Romawi. Dia tambah partisipasi rakyat tapi batasi kekuasaan massa pakai institusi elit seperti konsul dan senat.

Di Indonesia saya rasa kritik Plato lewat Cicero ini tepat sasaran. Ketidakstabilan demokrasi kita kelihatan dari korupsi di legislatif. Kasus suap saat bahas undang-undang seperti RUU Cipta Kerja yang kontroversial tunjukkan “kekacauan” yang Plato khawatirkan.

Keputusan lebih ikut kepentingan pribadi daripada kebijaksanaan. Cicero di De Re Publica bilang: “Pemerintahan terbaik gabungkan kebijaksanaan dari semua kelas masyarakat.” Makanya kita butuh reformasi. Seperti tingkatkan independensi Mahkamah Konstitusi. Ini cegah degradasi ke tirani seperti di Athena zaman dulu atau bahkan Orde Baru kita sendiri.”

Aristoteles: Republikanisme sebagai Polity yang Adil dan Melibatkan Rakyat

Aristoteles di Politika sekitar 350 SM bedakan berbagai pemerintahan. Dia puji “polity” sebagai campuran demokrasi dan oligarki. Sistem ideal ini libatkan kelas menengah untuk capai kebaikan umum atau eudaimonia.

Menurutnya, pemerintahan baik butuh partisipasi warga yang adil. Kelas menengah cegah ekstremisme antara kaya dan miskin. Ini selaras dengan republikanisme Cicero yang tekankan keterlibatan rakyat dalam hukum ketat.

Untuk Indonesia konsep ini beri harapan. Partisipasi lewat pemilu dan aksi sipil seperti gerakan anti-korupsi bisa bangun “polity” inklusif. Tapi nepotisme dan kesenjangan ekonomi halangi kelas menengah berperan. Lihat saja bagaimana anak pejabat sering dapat posisi strategis tanpa kompetisi.

Cicero yang terpengaruh Aristoteles di suratnya Epistulae ad Atticum bilang: “Kebebasan sejati lahir dari hukum adil bukan kekuasaan sembarangan.” Saya pikir pendidikan politik lebih baik jadi kunci. Ini bekali rakyat pengetahuan supaya partisipasi tak cuma vote lima tahunan tapi nyata sehari-hari seperti pengawasan anggaran daerah.

John Locke: Republikanisme dengan Fokus Hak Asasi dan Persetujuan Rakyat

John Locke di Two Treatises of Government 1689 tegaskan pemerintahan sah harus lindungi hak alamiah manusia. Hak itu termasuk hidup kebebasan dan properti. Semua berdasarkan persetujuan rakyat via kontrak sosial.

Pemikirannya pengaruh republikanisme modern dan lengkapi visi Cicero soal res publica sebagai aliansi kebaikan bersama.

Di Indonesia ide Locke ini tambah kaya analisis Cicero soal HAM. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM sudah ada. Tapi pelanggaran seperti nepotisme di birokrasi tunjukkan kontrak sosial gagal.

Contohnya kasus diskriminasi etnis atau agama yang masih sering terjadi di tingkat lokal. Cicero di De Legibus 52 SM bilang: “Hukum adalah ikatan keadilan yangikat seluruh komunitas.” Reformasi birokrasi dengan transparansi dan akuntabilitas penting. Ini pastikan pemerintahan sah dan lindungi hak rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan seperti yang kita lihat di kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Opini Saya

Saya yakin demokrasi Indonesia sebagai republik konstitusional butuh revitalisasi pakai prinsip republikanisme Cicero. Ini atasi korupsi nepotisme dan ketidakadilan yang bikin saya khawatir akan masa depan anak muda. Cicero di De Re Publica tegaskan: “Republik agung layani kebaikan bersama (bonum commune) bukan ambisi individu.”

Kritik Plato soal ketidakstabilan demokrasi masih relevan terutama di era media sosial yang bikin opini massa mudah dimanipulasi. Tapi adaptasi Cicero beri solusi campuran realistis.

Aristoteles tambah soal partisipasi kelas menengah yang saya rasa krusial buat kita yang mayoritasnya kelas menengah bawah. Locke kuatkan perlindungan HAM sebagai dasar legitimasi supaya rakyat merasa dilindungi bukan dikuasai.

Dari pengalaman saya ikut diskusi politik di kampus saya usul implementasi republikanisme Cicero di Indonesia lewat tiga langkah konkret. Pertama kuatkan checks and balances seperti saran Cicero.

Tingkatkan independensi KPK dan Mahkamah Konstitusi biar tak ada dominasi satu cabang. Ini bisa mulai dari revisi undang-undang yang batasi intervensi presiden. Kedua dorong pendidikan politik dan partisipasi rakyat ikuti Aristoteles.

Pakai kurikulum etika pemerintahan di sekolah dan luar supaya rakyat bijak kontribusi efektif. Misalnya program literasi politik di komunitas online. Ketiga berantas korupsi dan lindungi HAM selaras Locke dan Cicero. Reformasi birokrasi pakai transparansi digital seperti e-gov dan hukum tegas lawan nepotisme. Hasilnya pemerintahan beneran dari persetujuan rakyat bukan warisan keluarga.

Kalau kerangka ini diterapkan demokrasi Indonesia bisa maju jadi republik stabil adil dan efektif. Ini wujudkan visi Cicero soal res publica yang sejahterakan semua warga. Saya harap generasi kita bisa ambil peran aktif supaya nggak cuma jadi penonton tapi pembangun negara yang lebih baik. (*)

Ditulis oleh Daiva Nurpasha, mahasiswi Universitas Pamulang.

Tulisan Terkait

Back to top button