Karya

Budaya Instan di Era TikTok: Cepat Viral, Cepat Lupa

ZETIZENS.ID – Saat ini, di dunia digital, TikTok telah menjelma menjadi salah satu aplikasi yang paling digemari, khususnya di kalangan anak muda.

Melalui video singkat yang berdurasi antara 15 hingga 60 detik, TikTok memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi bintang internet dalam waktu singkat. Fenomena ini menunjukkan adanya budaya baru: budaya instan.

Budaya instan menggambarkan kecenderungan masyarakat untuk menginginkan segala sesuatu berlangsung dengan cepat dan tanpa usaha yang besar, menghindari proses yang panjang.

Di platform TikTok, hal ini terlihat dari keinginan pengguna untuk mendapatkan popularitas hanya dengan satu video saja. Banyak yang berani mengikuti tren berisiko atau melakukan aksi kontroversial demi mendapatkan perhatian sesaat.

Sayangnya, ketenaran yang muncul dalam sekejap sering kali tidak diimbangi dengan nilai yang mendalam. Konten yang menjadi viral biasanya berupa hiburan ringan, prank, atau isu sensasional yang kurang bermakna.

Topik-topik penting seperti pendidikan, kesehatan mental, atau literasi digital sering kali terabaikan di tengah ramai rendahnya kualitas video hiburan ini.

Fenomena ini menciptakan siklus di mana sesuatu yang viral di hari ini bisa segera dilupakan di hari berikutnya. Bahkan pencipta konten yang sementara sangat terkenal bisa seketika hilang tanpa jejak jika tidak terus-menerus tampil dengan sensasi baru. Ini mengurangi pentingnya konsistensi, ketekunan, dan proses dalam menciptakan karya.

Lebih jauh lagi, budaya instan ini merubah pandangan generasi muda tentang keberhasilan. Banyak yang mulai beranggapan bahwa ketenaran bisa dicapai tanpa kerja keras atau skill yang nyata. Yang terpenting adalah tampil menarik, berbeda, atau berlebihan agar potensi untuk menjadi viral semakin besar.

Ketika fokusnya hanya pada viralitas, sering kali etika dan nilai moral dikorbankan. Tak jarang konten yang muncul mengandungi ujaran kebencian, pelecehan, atau memanfaatkan isu-isu sensitif demi menarik perhatian. Ini menunjukkan bahwa budaya instan tidak hanya merusak pola pikir, tetapi juga nilai-nilai moral.

Di sisi lain, TikTok juga memiliki potensi sebagai platform yang mendukung kreativitas secara positif. Banyak pembuat konten yang berbagi pengetahuan, motivasi, dan seni melalui video mereka. Namun, sayangnya, jenis konten ini sering kalah dengan tren hiburan yang lebih mudah diakses dan disebarkan.

Ini juga menunjukkan bagaimana algoritma platform memperkuat budaya instan. Algoritma TikTok cenderung mempromosikan konten yang mendulang banyak interaksi dalam waktu singkat, membuat pengguna berusaha membuat konten yang sensasional dan menggugah emosi, alih-alih membagikan konten yang berkualitas.

Budaya instan juga mempengaruhi cara orang mengonsumsi informasi. Banyak orang merasa sudah cukup memahami suatu isu hanya dengan melihat cuplikan video selama 15 detik, tanpa merasa perlu untuk mendalami topik tersebut lebih jauh. Ini berakibat pada pemahaman yang dangkal dan rentan terhadap informasi yang salah atau hoaks.

Selain itu, budaya cepat lupa membuat kita kehilangan kepekaan terhadap isu-isu penting. Ketika kekerasan, bencana, atau ketidakadilan menjadi tren sementara dan kemudian segera dilupakan, ini berarti kita kehilangan rasa empati dan kepedulian sosial yang berkelanjutan.

Tak dapat disangkal, teknologi selalu membawa perubahan. Namun sebagai masyarakat, kita harus bijak dalam merespons dampaknya. Kita tidak bisa selalu membenarkan perilaku konsumtif di dunia digital hanya dengan alasan “zaman sekarang. ”

Penting bagi kita untuk kembali mengembangkan budaya reflektif dan kritis dalam bermedia sosial. Mari kita tidak hanya menjadi konsumen tren, tetapi juga menjadi pencipta dan penyebar konten yang bermanfaat. Kecepatan tidak selalu berarti kemajuan jika tidak disertai dengan kualitas yang baik.

Pendidikan digital juga harus diperbaiki. Sekolah dan orang tua perlu mengajarkan keterampilan media kepada anak-anak, agar mereka tidak hanya menjadi korban algoritma, melainkan bisa menggunakan teknologi untuk tujuan yang positif dan berkelanjutan.

TikTok dan platform serupa bukanlah lawan. Yang perlu kita pertanyakan adalah bagaimana kita menggunakannya dan nilai-nilai apa yang kita ambil darinya. Budaya serba cepat seharusnya tidak menjadi alasan untuk meninggalkan prinsip-prinsip dasar dalam berkarya dan berpikir.

Pada akhirnya, era TikTok memang memberikan kesempatan besar bagi siapa saja untuk dikenal. Namun, tanpa kesadaran akan nilai, etika, dan proses, semua itu hanya akan menjadi jejak digital yang cepat muncul dan cepat hilang. Kita memerlukan lebih dari sekadar viral; kita butuh arti yang dapat bertahan. (*)

Ditulit oleh Satrio Putra Wicaksono, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan semester 2, Universitas Pamulang PSDKU Aerang

Tulisan Terkait

Back to top button