Karya

Tambang yang Tidak Menjamin Kesejahteraan bagi Komunitas Lokal

ZETIZENS.ID – Kabupaten Sumbawa Barat terkenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, termasuk tambang emas terbesar kedua di Indonesia yang dioperasikan oleh PT Amman Mineral.

Namun, di balik kesuksesan industri tambang ini, ada pertanyaan penting yang perlu diajukan: apakah tambang tersebut benar-benar membawa kemakmuran bagi masyarakat setempat?

Sayangnya, kenyataannya justru berbeda. Masyarakat lokal belum sepenuhnya menikmati hasil dari eksploitasi tambang yang ada di wilayah mereka.

Masalah pengangguran masih menjadi isu serius di daerah ini. Sebaiknya, keberadaan industri besar seperti ini seharusnya bisa menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas hidup warga.

Dari pengamatan saya, masalah pokok terletak pada rendahnya keterlibatan tenaga kerja lokal di bidang tambang. Sebagian besar posisi kerja justru diisi oleh pekerja dari luar daerah.

Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin nyata di antara warga. Mereka hanya menjadi saksi dalam aktivitas ekonomi yang seharusnya memberi manfaat bagi mereka.

Ironisnya, banyak pemuda di desa sekitar tambang terpaksa pergi ke kota lain untuk mencari penghidupan. Sementara itu, tanah asal mereka dieksploitasi secara besar-besaran oleh perusahaan besar, hasilnya tidak sepenuhnya kembali kepada masyarakat.

Kondisi ini menunjukkan adanya kontradiksi antara potensi sumber daya dan kesejahteraan warga.

Situasi ini berkaitan erat dengan lemahnya keberpihakan dalam pembuatan kebijakan. Baik pemerintah daerah maupun pusat tampak lebih fokus pada merangsang investasi dibandingkan melindungi hak-hak masyarakatnya sendiri. Seharusnya, pemerintah berfungsi sebagai pengelola yang adil, bukan hanya mengikuti logika pasar yang lebih mementingkan keuntungan di atas kesejahteraan rakyat.

Kurangnya pengawasan terhadap praktik pertambangan semakin memperburuk keadaan. Sering kali, laporan mengenai pencemaran lingkungan, kerusakan jalan, hingga perselisihan lahan hanya menjadi isu di media tanpa tindakan yang berarti. Ini menambah penderitaan sosial di tengah masyarakat yang merasa hak mereka diabaikan.

Sebagian besar program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) juga tidak memberikan dampak signifikan. Banyak yang hanya bersifat simbolis, seperti membagikan paket sembako atau memasang spanduk tentang kegiatan sosial.

Sebenarnya, yang dibutuhkan masyarakat adalah program jangka panjang yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, seperti pelatihan keterampilan, beasiswa, dan layanan kesehatan yang memadai.

Sebagaimana telah diungkapkan oleh ekonom klasik Adam Smith dalam buku The Wealth of Nations, “Keindahan pengeluaran pemerintah sering kali terlihat mengesankan di mata rakyat, padahal seringkali itu hanya beban bagi mereka.”

Ungkapan ini mencerminkan bagaimana kekuasaan dan modal biasanya berpihak kepada kaum elit, sementara masyarakat hanya mendapatkan sisa-sisanya.

Realitas itu juga dapat dirasakan di Sumbawa Barat—sumber daya alam dieksploitasi tetapi warga lokal tetap terpinggirkan. Ketimpangan ini tidak hanya berpengaruh pada ekonomi, tetapi juga mengubah psikologi sosial. Masyarakat mulai merasa terasing di tanah mereka sendiri, terpinggirkan oleh sistem yang tidak memberi mereka kesempatan untuk berdaya.

Tambang seharusnya bukan hanya untuk keuntungan perusahaan atau pendapatan bagi negara. Sebaliknya, tambang harus bisa meningkatkan kualitas hidup komunitas sekitar.

Jika tidak, maka aktivitas pertambangan hanya akan menjadi simbol dari ketidakadilan dan penindasan struktural yang dibalut dalam nama pembangunan.

Sudah semestinya pemerintah mengembangkan kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat setempat. Salah satu cara adalah dengan mewajibkan perusahaan-perusahaan tambang untuk merekrut minimal 70% tenaga kerja dari komunitas di sekitar, disertai dengan pelatihan keterampilan yang tepat.

Hal ini sangat penting agar masyarakat tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga terlibat aktif dalam proses pembangunan.

Di samping itu, alokasi anggaran bagi pendidikan dan kesehatan harus menjadi prioritas utama dalam distribusi Dana Bagi Hasil (DBH).

Keterbukaan anggaran dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan atas pemanfaatan dana publik merupakan faktor kunci untuk memastikan kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh masyarakat bawah.

Kebijakan keberlanjutan lingkungan juga harus ditegakkan. Tidak cukup jika perusahaan hanya beroperasi dengan “izin resmi” namun pada praktiknya merusak hutan, sumber daya air, dan keberagaman hayati. Pemerintah daerah perlu mengambil tindakan tegas untuk menghentikan praktik eksploitasi yang merusak lingkungan demi keberlanjutan generasi mendatang.

Komunitas lokal tidak seharusnya terus menjadi penonton. Tanah ini adalah milik mereka, dan sumber daya ini adalah hak bersama.

Sudah saatnya pemerintah tidak lagi bermain antara kepentingan pasar, tetapi mulai mengakui rakyat sebagai pemilik utama dari kekayaan yang dijanjikan.

Jika tidak ada perubahan yang signifikan, maka tambang ini hanya akan berarti “lubang” dalam arti sebenarnya—sebuah liang yang terus digali tanpa ever menjadi sumber harapan bagi masyarakat. Di sinilah tersimpan ironi dari kata tersebut: tambang dapat berarti sumber daya, tetapi juga bisa berarti lubang kesenjangan yang merenggut masa depan warga setempat. (*)

Ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Pemerintah, Unpam Serang semester (2)

Tulisan Terkait

Back to top button