Belajar Gegar Budaya di Jogja Bersama OJK: Dari Malioboro hingga Cerita Cokelat Monggo

ZETIZENS.ID – Stasiun Gambir masih belia saat 28 jurnalis dari 28 Media online, cetak, dan elektronik di Banten menjejak kaki di stasiun pada Rabu (26/11/2025). Kereta Taksaka menuju Yogyakarta, menjadi moda transportasi yang dipilih, menemani enam jam perjalanan untuk meniti kegiatan yang digelar OJK Jabodebek Banten hingga Jumat
(28/11/2025).
Kegiatan tahunan berupa Media Gathering kali ini mengangkat tema “Kolaborasi Budaya Jurnalisme sebagai Pilar Ekonomi Berkelanjutan”.
Gerimis mulai reda saat rombongan tiba
sekira pukul 13.51 WIB. Hari pertama
langsung diajak ke Kantor OJK Yogyakarta
di alan Jenderal Sudirman No. 22,
Gowongan, Jetis, Yogyakarta. Selain acara
pembukaan, dihadirkan talkshow dengan
narasumber Paksi Raras Alit, Pekerja Seni
dan Budaya yang membahas tema
“Jurnalisme Berbudaya; Membangun Etika,
Empati, dan Narasi Konstruktif dalam Ruang
Publik Modern”.
Tema tersebut diangkat, karena dinilai relate dengan tema besar kegiatan tiga hari ini. Paksi membahas banyak hal, antara lain bagaimana konsistensi kebudayaan dan lokalitas dalam menopang pertumbuhan perekonomian Yogyakarta yang dikenal sebagai daerah istimewa yang berbudaya.
Di hari kedua, perjalanan kami berubah
menjadi petualangan kecil menyusuri denyut
baru Malioboro. Tujuan pertama adalah
Teras Malioboro 1, ruang hidup baru bagi
para pedagang kaki lima yang dahulu
memenuhi trotoar kawasan legendaris itu.
Berada tepat di seberang Pasar Beringharjo,
bangunan ini menjelma menjadi pusat
belanja dan kuliner yang tertata rapi, modern,
dan nyaman.
Di dalamnya, aneka suvenir,
kerajinan berbahan alami, batik, kaus khas
Jogja, hingga jajanan tradisional tersusun
apik dalam konsep indoor yang bersih. Di
tempat ini, peran pemerintah terasa nyata.
Penataan Malioboro tak sekadar
mengembalikan hak pejalan kaki, tetapi juga
membuka babak baru bagi para PKL yang
direlokasi.
Mereka kini memiliki ruang usaha
yang lebih layak, sekaligus bagian dari
ekosistem ekonomi kreatif yang terus dibina
lewat berbagai program budaya dan promosi.
Perjalanan berlanjut ke tujuan berikutnya:
Chocolate Monggo. Di sinilah kami
menemukan kisah lain tentang kearifan lokal
yang bertemu standar global. Berdiri sejak
2005, cokelat ini lahir dari tangan Thiery
Detienne, pria asal Belgia yang jatuh hati
pada Jogja. Nama “Monggo” diambil dari
ungkapan khas warga Yogyakarta, sebuah
simbol keramahan yang selalu
mempersilakan siapa pun dengan hangat.
Melalui Museum & Factory Chocolate
Kingdom, pengunjung diajak menyusuri
proses panjang pembuatan cokelat: dari biji
kakao hingga menjadi produk siap santap.
Di sini, para jurnalis melihat langsung jalur produksi, mengenal sejarah cokelat, mengikuti pengalaman edukatif, hingga mencicipi berbagai varian rasa.
Menariknya, Cokelat Monggo tak memiliki kebun kakao sendiri. Sebaliknya, mereka memilih untuk memberdayakan petani lokal. Biji kakao diserap dari berbagai daerah di Indonesia. Sebuah praktik yang bukan hanya menjaga kualitas, tetapi juga menghidupkan roda ekonomi petani.
Destinasi berikutnya adalah Dagadu, merek
suvenir ikonik Yogyakarta yang dikenal
lewat jargon smart, smile, and Djokdja.
Brand ini lahir dari kreativitas 28 mahasiswa
Universitas Gadjah Mada (UGM) yang
menuangkan kegelisahan, canda, dan kritik
sosial menjadi desain kaus yang khas.
Setiap karya Dagadu bukan sekadar gambar,
melainkan cerita visual. Lewat seri
terbarunya, Unstoppable Series, Dagadu
kembali menegaskan identitasnya: desain
yang berbicara, penuh permainan kata dan
makna tersembunyi. Nama “Dagadu” sendiri
diambil dari bahasa Hanacaraka yang berarti
“matamu”, sebuah simbol cara mereka
menyoroti kehidupan Yogyakarta dari sudut
pandang anak muda.
Perpaduan ide segar, sentuhan humor, dan kualitas industri garmen yang terjaga menjadikan Dagadu bukan
hanya cendera mata, tetapi representasi jiwa
kreatif Kota Jogja.
Besar harapan para insan media,
melalui kegiatan Media Gathering OJK
Jabodebek dan Banten ke Kota Yogjakarta ini
jurnalis Banten bisa melakukan profesional
kerja sebagai jurnalis yang mempromosikan
budaya dan edukasi kepada masyarakat.
Sehingga masyarakat paham dan mencontoh pelestarian budaya yang sudah ada dari terdahulu dan media dapat memberikan informasi tidak hanya sekedar informatif tapi edukatif serta memiliki kontrol sosial.
Hal ini tentunya melibatkan masyarakat. Dan
kegiatan Media Gathering ini tidak hanya
menjadi ajang liburan. Tetapi bisa menjadi
sarana edukasi dan refleksi bagi masyarakat
tentang pentingnya menjaga warisan budaya
dan memahami peran jurnalisme dalam
membentuk opini publik.
Selain itu, harapan rekan media terhadap peran budaya jurnalisme dalam membangun narasi publik yang konstruktif; memperkuat literasi keuangan dan ekonomi dan mendorong pembangunan berkelanjutan di wilayah Jabodebek dan Banten.
Hari itu, Jogja tak hanya menyuguhkan
destinasi, tetapi juga cerita: tentang penataan kota, ketahanan UMKM, hingga kebanggaan pada produk dalam negeri. (*)
Ditulis oleh kelompok 9, Narasi: Esih Yuliasari, Maylani, dan Hilal Ahmad.







