Di Ambang Perang Dunia: Jeritan Kemanusiaan di Balik Konflik Iran-Israel

ZETIZENS.ID – Belakangan ini, dunia kembali diguncang oleh konflik bersenjata di Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel.
Konflik ini bukan sekadar pertikaian antar dua negara, tetapi berpotensi menjadi pemicu ketidakstabilan global.
Bagi saya secara pribadi, peristiwa ini bukan hanya sekedar kejadian yang jauh dari tanah air, melainkan meninggalkan keprihatinan mendalam karena dampaknya yang luas-baik dalam aspek geopolitik, ekonomi, kemanusiaan, maupun moralitas publik.
Iran dan Israel merupakan dua kekuatan besar di kawasan Timur Tengah. Iran, sebagai negara berpenduduk lebih dari 86 juta jiwa (World Bank, 2023), adalah salah satu produsen minyak terbesar dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam.
Sementara Israel, meski kecil secara wilayah, memiliki kedekatan yang sangat kuat dengan Amerika Serikat dan kekuatan militer yang modern.
Konflik ini kembali memanas sejak April 2024, ketika Israel melakukan serangan udara ke fasilitas diplomatik Iran di Damaskus, Suriah, yang menewaskan beberapa pejabat militer tinggi Iran (Al Jazeera, 2024).
Iran membalas dengan peluncuran ratusan rudal dan drone ke wilayah Israel pada 13 April 2024, yang disebut sebagai serangan langsung terbesar yang pernah dilakukan Iran terhadap Israel (BBC News, 2024).
Salah satu dampak paling nyata dari konflik ini adalah kenaikan harga energi dunia. Menurut Bloomberg (April 2024), harga minyak mentah Brent naik hingga menyentuh USD 98 per barel, didorong oleh kekhawatiran terganggunya jalur perdagangan minyak di Selat Hormuz, yang mengalirkan sekitar 20% minyak global.
Bagi Indonesia, ini tentu berdampak langsung. Kenaikan harga BBM bisa memicu inflasi, terutama di sektor logistik dan bahan pokok. Masyarakat pun harus menanggung beban ekonomi tambahan yang seharusnya bisa dihindari jika kondisi global lebih stabil.
Di balik data dan statistik, , hal yang paling memilukan adalah penderitaan yang dialami warga sipil. Data dari UNOCHA (2024) menunjukkan bahwa ribuan warga sipil tewas dan lebih dari 70.000 orang mengungsi hanya dalam dua minggu pertama eskalasi konflik.
Banyak dari mereka adalah anak-anak, perempuan, dan orang tua yang tidak memiliki andil dalam konflik ini, tetapi menjadi korban utama.
Menurut laporan UNICEF (2024), anak-anak yang tumbuh di wilayah perang memiliki risiko tinggi mengalami trauma psikologis seperti PTSD, kecemasan akut, dan depresi berat. Luka-luka ini tidak terlihat secara fisik, namun akan terbawa hingga mereka dewasa dan bisa menciptakan siklus kekerasan baru jika tidak dipulihkan dengan tepat.
Satu aspek yang mengkhawatirkan di era digital saat ini adalah perang informasi. Media sosial dipenuhi oleh konten berupa video, foto, dan narasi yang belum tentu terverifikasi. Dalam laporan dari Reuters Institute (2024), tercatat lonjakan hoaks dan disinformasi terkait konflik Iran-Israel sebanyak 140% dalam seminggu setelah serangan balasan Iran.
Narasi yang keliru ini menimbulkan perpecahan yang tajam, bukan hanya ditingkat global, tetapi juga berdampak di dalam negeri, termasuk Indonesia. Beberapa kelompok mulai menunjukkan kecenderungan ekstrem dalam mendukung salah satu pihak, bahkan melakukan aksi yang dapat memicu ketegangan sosial di dalam negeri.
Iran telah lama dituduh mengembangkan program nuklir, meskipun negara tersebut bersikukuh bahwa tujuannya adalah untuk energi damai.
Di sisi lain, Israel tidak pernah secara resmi mengakui memiliki senjata nuklir, tetapi berdasarkan laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI, 2023), diperkirakan memiliki sekitar 90 hulu ledak nuklir.
Apabila konflik ini terus bereskalasi tanpa pengendalian, kekhawatiran besar akan muncul terkait potensi penggunaan senjata pemusnah massal.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dan memiliki konstitusi yang menolak penjajahan dan penindasan, Indonesia tidak boleh bersikap netral terhadap penderitaan manusia. Namun di sisi lain, Indonesia juga harus menjaga keharmonisan dalam negeri agar konflik di luar negeri tidak menjalar menjadi konflik horizontal di masyarakat kita sendiri.
Aksi solidaritas boleh dilakukan, tetapi harus dalam koridor damai dan konstitusional. Jangan sampai kita justru ikut menyebarkan hoaks, memperuncing perbedaan pandangan, atau bahkan menjadikan konflik sebagai bahan candaan.
Saya percaya bahwa jalan diplomasi merupakan satu-satunya solusi untuk mengakhiri kekerasan ini. Komunitas internasional harus lebih aktif mendorong gencatan senjata, membuka ruang dialog, dan memastikan bahwa rakyat sipil tidak lagi menjadi korban.
Di sisi lain, pendidikan damai perlu ditanamkan sejak dini. Generasi muda Indonesia harus diajarkan memahami konflik dengan pendekatan empati, bukan kebencian. Mereka harus belajar bahwa perang tidak pernah menjadi jawaban, dan kekuasaan yang dibangun di atas darah tidak akan pernah membawa keadilan.
Perang antara Iran dan Israel bukan sekadar soal geopolitik, tetapi tentang nilai-nilai kemanusiaan yang sedang diuji. Dunia terlalu sempit untuk menampung kebencian, dan terlalu luas untuk ditinggalkan dalam upaya mencapai perdamaian.
Kita, sebagai masyarakat yang hidup jauh dari zona konflik, tetap punya peran penting: menjaga nalar, menyuarakan damai, dan berpihak pada nilai kemanusiaan.(*)
Ditulis oleh Hasemi Raisa Rosna, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Semester 2 Universitas Pamulang Kota Serang