Karya

Kontroversi Nikel vs. Keindahan: Dilema Pembangunan di Jantung Biodiversitas Raja Ampat

ZETIZENS.ID – Tambang, terutama nikel dan material lainnya, sering dianggap sebagai solusi cepat untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, menurut pandangan saya, cara ini hanya memberikan manfaat sementara kerusakan yang ditimbulkan pada lingkungan bisa berlangsung selama puluhan tahun atau bahkan lebih lama.

Di Raja Ampat, aktivitas penambangan menciptakan perdebatan yang hangat.

Berdasarkan laporan dari beberapa lembaga lingkungan, pembukaan lahan untuk tambang telah menyebabkan kerusakan pada area hutan dan mengubah kontur tanah di sekitarnya.

Ini mengganggu siklus air, mengurangi
keanekaragaman hayati, dan mempercepat proses erosi.

Dampak negatifnya terasa bukan hanya di daratan. Penumpukan sedimen akibat aktivitas tambang telah mencemari sungai dan sampai ke laut.

Padahal, perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi lebih dari 1. 300 spesies ikan dan sekitar 600 jenis karang, menjadikannya salah satu daerah dengan keberagaman hayati laut paling tinggi di dunia.

Di samping itu, masyarakat adat dan penduduk lokal yang bergantung pada sumber daya dari laut dan hutan juga terkena dampak. Banyak di antara mereka yang kehilangan akses ke daerah penangkapan ikan, sumber air bersih, bahkan lokasi-lokasi sakral yang telah dijaga turun-temurun.

Menurut saya, ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga mengenai keadilan sosial dan budaya.

Sayangnya, kerusakan seperti ini sering terjadi tanpa adanya studi lingkungan yang jelas. Izin untuk penambangan dikeluarkan tanpa partisipasi aktif dari komunitas lokal.

Padahal, merekalah penjaga lingkungan yang sesungguhnya. Ketika suara mereka tidak diperhatikan, maka akan terganggu hubungan antara manusia dan alam.

Saya percaya bahwa alam tidak dapat hanya dilihat sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, tetapi juga harus dihargai sebagai entitas yang berharga.

Raja Ampat adalah bukti nyata bagaimana pesona dan kekayaan alam dapat memberikan manfaat besar tanpa harus dihancurkan.

Potensi ekowisata di lokasi ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan tambang yang hanya bertahan dalam waktu singkat.

Oleh karena itu, menurut saya, langkah pertama yang perlu diambil adalah menghentikan kegiatan penambangan di daerah yang ekosistemnya sensitif seperti Raja Ampat.

Baik pemerintah pusat maupun daerah harus dengan berani meninjau ulang izin-izin yang telah diberikan dan mengevaluasi pengaruhnya secara menyeluruh.

Langkah kedua adalah melakukan restorasi lingkungan. Ini mungkin sulit, tetapi bukan hal yang mustahil. Kita bisa mulai dengan memperbaiki kembali hutan dan mangrove, merevitalisasi aliran sungai, serta menanam kembali pohon-pohon endemik yang rusak akibat pembukaan lahan tambang.

Semua ini harus melibatkan pakar lingkungan dan masyarakat adat sebagai mitra utama.

Langkah ketiga yang saya anggap penting adalah mengembangkan ekowisata yang berbasis pada komunitas.

Dengan cara ini, masyarakat lokal bisa mendapatkan pendapatan yang berkelanjutan tanpa merusak alam.

Banyak negara telah berhasil mengadopsi model ini, dan Indonesia juga bisa jika ada niat politik dan dukungan yang memadai.

Penegakan hukum juga sangat krusial. Perusahaan-perusahaan penambangan yang terbukti merusak lingkungan harus mempertanggungjawabkan tindakannya.

Tidak cukup hanya dengan membayar denda, tetapi mereka juga harus berperan dalam proses pemulihan ekosistem yang telah
mereka rusak.

Kita juga perlu memperkuat pemahaman tentang lingkungan hidup sejak usia dini.

Anak-anak Papua dan seluruh masyarakat Indonesia harus dipahamkan bahwa alam adalah warisan berharga dan bukan
sekadar barang dagangan.

Jika kita tidak mulai dari sekarang, generasi yang akan datang hanya akan mengetahui Raja Ampat melalui cerita dan foto-foto yang sudah tua.

Saya yakin masih ada masa depan yang cerah. Banyak komunitas lokal yang telah berinisiatif menjaga kawasan mereka. Mereka menolak adanya pertambangan, menjaga kelestarian laut, serta mengembangkan pariwisata yang ramah lingkungan.

Pemerintah seharusnya hadir untuk mendukung mereka, bukan malah memberikan kesempatan yang luas bagi industri yang merusak.

Di tengah tantangan perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia, melindungi kawasan seperti Raja Ampat adalah cara nyata Indonesia berkontribusi untuk dunia. Kita tidak dapat mendiskusikan isu perubahan iklim atau keberlanjutan jika di saat yang bersamaan kita membiarkan “surga terakhir” seperti Raja Ampat hancur akibat kepentingan ekonomi sesaat.

Sebagai seorang warga yang mencintai negara ini, saya hanya berharap alam tetap menjadi bagian integral dalam kehidupan manusia, bukan hanya sebatas kenangan.

Raja Ampat sangat berharga untuk
dijadikan korban pembangunan yang sembarangan. Saatnya kita berjuang untuk alam, sebelum semuanya menjadi terlambat. (*)

Ditulis Ahmad Faqih Firmansyah,, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan semester 2, Universitas Pamulang Kota Serang

Tulisan Terkait

Back to top button