Tren Vape di Kalangan Gen Z: Eksplorasi Rasa Tembakau dan Masa Depan Perokok di Indonesia
Perkembangan rokok alternatif, khususnya vape atau rokok elektrik (e-cigarette) di Indonesia menunjukkan tren signifikan

ZETIZENS.ID – Perkembangan rokok alternatif, khususnya vape atau rokok elektrik (e-cigarette) di Indonesia menunjukkan tren yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan anak muda seperti Generasi Z (Gen Z).
Ada beberapa faktor yang mendorong pertumbuhan rokok elektrik begitu masif di kalangan Gen Z mulai dari sejarah masuknya vape ke Indonesia, strategi pemasaran industri, inovasi rasa nikotin yang ekploratif hingga daya tarik dan kemudahan mengaksesnya terlebih bagi kaum muda.
Tahukah kamu, tren vape mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 2012? Saat itu vape pertama kali dibawa oleh masyarakat kita yang bepergian ke luar negeri dan mereka membawa masuk lalu memperkenalkan tren merokok tanpa dibakar ini secara lokal. Sejak itulah penggunaannya terus meningkat dan menunjukkan angka perokok vape yang signifikan.
Menurut Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) pada 2023, diperkirakan telah ada sekitar 6 juta lebih pengguna vape di Indonesia. Data ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah pengguna vape terbesar di dunia mengalahkan Swiss, Amerika dan Inggris.
Seperti dilansir dari laporan Statista soal Consumer Insights pada 2023, penduduk di negara kepulauan ini mengisi 25 persen dari total pengguna vape di dunia. Survei lain menunjukkan bahwa setidaknya orang Indonesia pernah mencoba menyesap vape walau sekali, yang menandakan penetrasi rokok elektrik ini cukup luas menjangkau masyarakat.
Dari sisi ekonomi, cukai vape pada tahun yang sama juga telah mencapai Rp1,02 triliun yang mencerminkan besarnya pasar ini dan potensi pertumbuhannya masih tinggi.
“Sekarang pertumbuhan penjualan kira-kira udah naik 5-6 persen. Tapi tahun ini kita targetnya lebih lagi, karena kita ada target dari Bea Cukai harus di atas Rp2 triliun,” ungkap Ketua Umum APVI Budiyanto, kepada media di Jakarta pada Rabu (29/5/2024) lalu.
Secara penjualan, vape tidak melulu hanya tersedia di kios resmi dan minimarket saja namun kini telah didukung juga oleh meningkatnya jumlah bisnis kecil dan menengah yang turut menjual perangkat vape serta cairan (liquid) dengan berbagai varian rasa di kios-kios dekat tempat tinggal.
Ilham Nurain (23), mengaku pertama kali mengenal tren vape adalah karena konten trik asap (vape tricks) dari perokok elektrik luar negeri yang kerap ditontonnya dari media sosial pada tujuh tahun silam. Merasa keren dengan trik vape tersebut, ia mulai mencoba menyesap rokok kekinian bareng teman-teman dan menirukan gayanya.
“Dulu itu (2018) tahu vaping karena mau bikin trik asap yang bentuknya bisa jadi macem-macem, dulu mah sekedar coba-coba aja, sampai ada tren rasa vape yang macem-macem itu viral juga,” katanya dari terpengaruh tren kini vaping telah menjadi gaya hidup sehari-harinya.
Sebelas dua belas dengan Ilham, Nika Santika (24), cewek asal Ciledug ini mengaku beralih ke vape karena ikut-ikutan teman nongkrong dan percaya, vape bisa dikonsumi semua gender serta diklaim lebih aman dari rokok biasa.
“Ngeliat banyak orang di sekitar yang pake vape, jadi penasaran dan pengin coba. Apalagi dulu vape terkesan sebagai barang mahal, jadi ada kesan keren aja. Selain itu, vape juga lebih aman dan nggak ninggalin bau nyengat terutama ke baju dan rambut. Soalnya kadang kalo lagi ketemu orang yang nggak merokok, penting kayaknya kalo badan ada bau rokok kita jadi nggak pede,” beber Nika saat ditemui Zetizen di salah satu kios vape di Tangerang.
Berbeda dengan Gamma (22), cowok berkacamata ini lebih senang vape ketimbang rokok konvensional karena bawaan rasa yang beragam.
“Gue suka vape karena pilihan rasanya banyak mulai dari buah-buahan, permen, dessert, sampe rasa minuman semuanya ada. Jadi kaya ada sensasi enak aja gitu terutama asepnya jadi wangi,” ungkap Gamma yang hingga kini mengaku terus mengeksplorasi rasa vape yang beredar.
Rokok Alternatif Dianggap “Lebih Aman” untuk Masa Depan
Vape awalnya dipasarkan sebagai pengganti rokok konvensional yang lebih sehat karena tidak melibatkan pembakaran tembakau, sehingga tidak menghasilkan tar—zat yang sering dikaitkan dengan bahaya rokok.
Meskipun klaim ini masih diperdebatkan secara ilmiah, persepsi ini menarik perhatian perokok yang ingin mengurangi kebiasaan merokok konvensional atau bahkan secara ekstrem berhenti, sekaligus menarik pengguna baru yang penasaran.
Analisis Lives Saved Report melalui laporan Global Health Consults pada November 2024 menemukan, lebih dari 4.6 juta jiwa dapat terselamatkan pada 2060 dengan metode Tobacco Harm Reduction (THR). Metode ini memfokuskan peralihan konsumsi rokok tembakau dengan menggunakan langkah alternatif yang lebih rendah risiko.
Laporan “Lives Saved Report 2024” muncul seiring dengan semakin kuatnya bukti terhadap kualitas pemanfaatan metode THR yang dinilai dua kali lebih efektif dalam mengurangi kebiasaan merokok dibandingkan terapi pengganti nikotin.
Hal tersebut juga tertuang pada publikasi Public Health England yang menerangkan, produk tembakau alternatif mampu mengurangi paparan risiko hampir 95 persen lebih rendah dibandingkan rokok biasa. Banyak perokok beralih ke vape, dan angka perokok konvensional di sana turun drastis. Pada 2023, hanya 12 persen orang dewasa merokok tembakau, salah satu angka terendah di Eropa Barat
Meskipun studi jangka panjang tentang manfaat kesehatan dari beralih ke THR masih diperlukan, hasil studi yang menggunakan biomarker penyakit masa depan cukup menjanjikan.
Dengan begitu, langkah konkret melalui intervensi kebijakan untuk mengurangi bahaya merokok perlu dijalankan oleh pemerintah dengan melibatkan seluruh aspek.
“Usaha untuk menghentikan rokok masif di Indonesia, tapi yang berhenti tidak sesignifikan itu. Untuk itu kita tidak bisa berdiam diri. Hadirnya intervensi ini lebih menjanjikan dalam mengurangi bahaya merokok tembakau yang dibakar, bahkan hampir dua kali lebih efektif untuk penghentian merokok dibandingkan terapi pengganti nikotin, atau jika dibandingkan dengan hanya melanjutkan upaya pengendalian tembakau yang diarahkan oleh WHO saat ini saja,” jelas dosen dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung dan salah satu penulis Lives Saved Report dr. Ronny Lesmana, dalam acara bedah laporan “Lives Saved Report” di Jakarta, Senin (3/2/25).
Prof. Tikki Pangestu, peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan WHO mengatakan, ada langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam mengurangi jumlah perokok lewat upaya pengurangan dampak rokok (harm reduction). Langkah-langkah tersebut mencakup dialog antar pemangku kepentingan, diadakannya lebih banyak penelitian yang lebih berkualitas dan lebih mengerti faktor kontekstual lokal dan kolaborasi yang lebih kuat di antara para peneliti dan akademisi dengan komunitas harm reduction di dunia.
“Permasalahan rokok ini butuh intervensi yang maksimal. Beberapa negara maju di dunia seperti Inggris, Selandia Baru, dan Jepang sudah menerapkan konsep pengurangan risiko tembakau (tobacco harm reduction). Artinya di negara maju tersebut, konsep pengurangan risiko berhasil menurunkan jumlah perokok konvensional, bahkan menurunkan peredaran jumlah rokok konvensional di pasaran,” jelas Prof. Tikki.
Dengan maraknya rokok alternatif yang digaungkan, sejauh ini industri vape di Indonesia masih terus memanfaatkan media sosial seperti Instagram, TikTok dan X untuk memasarkan produknya, dengan lebih dari dua pertiga aktivitas promosi terjadi di Instagram (68 persen) berdasarkan data Tobacco Enforcement and Reporting Movement (TERM) 2023.
Mereka juga menggunakan influencer, sponsor festival musik, dan acara kepemudaan untuk menarik perhatian anak muda, Gen Z diantara target marektnya. Inovasi pasa varian rasa yang beragam—seperti buah, permen, atau dessert—sengaja dirancang untuk terus memikat pengguna baru, terutama yang belum pernah merokok sebelumnya.
Gen Z menjadi kelompok pengguna internet terbesar di Indonesia menurut survei APJII 2024 (34,4% dari total pengguna internet). Mereka merupakan generasi yang sangat terhubung dengan tren global melalui media sosial, sehingga mudah terpapar promosi vape.
Banyak anak muda, termasuk Gen Z, belum memahami risiko kesehatan secara utuh, karenanya informasi penggunaan vape perlu diserap dengan lebih bijak untuk bisa memahami risiko kesehatan yang ada dari efek penggunaan e-rokok.
Praktisi Kesehatan dr. Arifandi Sanjaya mengatakan adanya rokok alternatif tidak bisa membuat perokok berhenti mengkonsumsi nikotin. Pasalnya setiap perokok yang berusaha berhenti akan menghadapi nikotin withdrawal atau gejala putus zat nikotin.
“Membuat perokok berhenti itu susahnya luar biasa. Saya tidak pernah membuat orang berhenti merokok, tapi membatasi dosisnya, karena banyak kejadian orang kolaps. Gejala ini terjadi karena tubuh dan otak perokok telah memiliki ketergantungan terhadap nikotin yang selama ini dikonsumsi melalui rokok biasa.
“Pendekatan dengan produk alternatif yang lebih aman dapat mengurangi risiko bahaya hasil dari pembakaran pada rokok dapat diupayakan dan dapat dijadikan jembatan perokok untuk berhenti merokok,” jelasnya lagi. (*)