Lemahnya Supremasi Hukum dalam Demokrasi Indonesia Refleksi Aristoteles

ZETIZENS.ID – Negara Indonesia sering kali disebut dengan salah satu negara yang demokrasinya terbesar di dunia, terutama jika kita lihat dari segi jumlah penduduk yang ikut serta dalam pemilu.
Sejak era reformasi, negara ini mampu membangun sistem yang lebih terbuka seperti pemilu langsung, multipartai, kebebasan pers, hingga memberi ruang bagi masyarakat sipil. Namun, demokrasi yang tampak kokoh dari sisi prosedur itu masih menghadapi beberapa persoalan.
Di antara contoh yang paling krusial adalah lemahnya supremasi hukum. Keadaan ini bisa kita lihat dari berbagai kasus korupsi yang terjadi di kaum elite, lemahnya lembaga antikorupsi, serta praktik politik uang yang kian merajarela.
Demokrasi di negara ini berjalan di atas fondasi yang rapuh, di mana hukum lebih sering menjadi alat bagi kepentingan oleh segelintir kelompok elite dibandingkan pelindung bagi rakyat banyak.
Dalam keadaan ini, pemikiran filsuf klasik Aristoteles terasa sangat relevan untuk dijadikan cermin. Aristoteles membagi bentuk pemerintahan menjadi baik dan buruk.
Bentuk baik dari pemerintahan konstitusional yaitu yang berlandaskan hukum. Sebaliknya, bentuk buruk adalah kekuasaan massa yang liar tanpa aturan.
Bagi Aristoteles, demokrasi yang sejati hanya bisa hidup bila dikendalikan oleh hukum. Tanpa adanya hukum, demokrasi akan jatuh pada kekacauan atau akan dikuasai oleh segelintir kelompok elite yang berkedok rakyat.
Refleksi ini penting bagi Indonesia, sebab demokrasi kita sering kali dikendalikan oleh kepentingan oligarki disbanding oleh konstitusi dan keadilan hukum.
Realitas demokrasi yang terjadi di Indonesia memperlihatkan sejumlah masalah. Pertama, penegakan hukum tidak konsisten.seperti hukum yang tajam dibawah dan tumpul diatas rakyat kecil yang dijerat diselesaikan dengan cepat dan diberi hukuman berat, sedangkan kasus yang melibatkan kaum elite politik atau pejabat justru mendapat keringanan.
Kedua, partai politik yang seharusnya di jadikan saluran aspirasi rakyat justru sering dikuasai oleh segelintir elite.
Akibatnya, kebijakan publik lebih mengutamakan kepentingan kelompok elite tertentu dibandingkan kepentingan rakyat yang luas. Ketiga, praktik politik uang masih sangat dominan, sehingga demokrasi hanya menjadi transaksi ekonomi, bukan untuk memilih pemimpin yang berkualitas.
Keempat, isu yang berbasis SARA sering digunakan dalam kampanye politik, yang tidak hanya memecah belah masyarakat, tetapi juga memperlemah solidaritas kebangsaan.
Kelima, partisipasi rakyat cenderung aktif saat pemilu, tetapi minim dalam mengawasi jalannya pemerintahan sehari-hari. Semua ini memperlihatkan bahwa demokrasi di negara kita belum mencapai seperti yang diidamkan Aristoteles.
Kelemahan supremasi hukum semakin nyata saat kita melihat beberapa peristiwa penting. Sepert Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 misalnya, justru hal ini melemahkan lembaga yang selama ini menjadi hal yang terdepan pemberantasan korupsi memperkuat integritas hukum, revisi ini menunjukkan bahwa hukum bisa dipelintir untuk melindungi kepentingan politik tertentu.
Pada tahun 2019 kampanye berbasis agama dan etnis memperuncing perpecahan masyarakat. Kasus korupsi bansos covid 19 pun menjadi potret tidak baik.di mana pejabat publik justru tega menyalahgunakan dana yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kecil di tengah krisis. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku pun dinilai belum memberi efek jera.
Semua kasus ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia belum berdiri sebagai pengendali kekuasaan.
Padahal, Aristoteles menekankan bahwa hukum adalah “akal tanpa nafsu”yang seharusnya menjadi dasar dalam mengatur kehidupan kita.
Ketika hukum sudah tunduk pada kepentingan elite, maka demokrasi ini hanya dijadikan sebagai formalitas, di sinilah relevansi pemikiran Aristoteles demokrasi tanpa adanya hukum akan jatuh ke dalam bentuk buruk, seperti oligarki. Indonesia saat ini tengah berada di persimpangan itu.
Aristoteles juga mengingatkan pentingnya keseimbangan antara kepentingan rakyat dan stabilitas hukum.demokrasi tidak hanya sekedar mementingkan suara saja.
Demokrasi juga tidak boleh menyerah pada dominasi elite. Prinsip polity yang ia tawarkan menekankan bahwa rakyat boleh berpartisipasi, tetapi kendali hukum juga harus kuat agar kepentingan bersama bisa tercapai.
Jika prinsip ini deterapkan Indonesia, maka dominasi oligarki bisa dipangkas, dan rakyat bisa lebih terjamin hak-haknya.
Refleksi Aristoteles memberikan tiga pelajaran penting untuk Indonesia. Pertama, supremasi hukum harus dijadikan fondasi utama dalam demokrasi. Tanpa adanya hukum yang adil dan konsisten, maka demokrasi akan terus menjadi panggung transaksional.
Kedua, kebijakan publik harus berpihak pada kepentingan bersama, bukan kelompok kecil yang menguasai modal dan kekuasaan.
Partai politik juga harus diperbaiki agar tidak sekadar menjadi kendaraan oligarki, melainkan benar benar menjadi wakil rakyat.
Ketiga, kesadaran politik harus di perkuat. Pendidikan politik yang sehat akan mencegah masyarakat terjebak dalam uang maupun politik identitas. Dengan rakyat yang kritis dan rasional, demokrasi Indonesia bisa bergerak menuju yang lebih baik.
Selain itu, refleksi Aristoteles juga mengingatkan bahwa pentinganya dalam memperkuatnya negara yang berfungsi sebagai penegak hukum dan pengawas kekuasaan.
Lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, KPK, dan pengadilan harus dijaga independensinya agar tidak mudah di campuri oleh kekuatan politik.
Aristoteles percaya bahwa sistem yang sehat membutuhkan institusi kuat yang menjunjung hukum di atas segalanya.
Indonesia, sayangnya, masih sering melihat pelemahan terhadap lembaga-lembaga ini.
Demokrasi Indonesia memang telah membawa banyak kemajuan, termasuk terbukanya ruang kebebasan sipil dan meningkatnya masyarakat dalam partisipasi politik. Namun, semua itu tidak akan berfungsi apabila tidak diiringi dengan penegakan hukum yang tegas dan adil.
Demokrasi tanpa hukum hanyalah prosedur kosong, yang pada akhirnya membuat rakyat kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik.
Jika kepercayaan rakyat runtuh, maka legitimasi demokrasi juga akan runtuh. Di titik inilah, pemikiran Aristoteles menawarkan jalan untuk kembali ke esensi menyeimbangkan kekuasaan rakyat dengan hukum yang kuat.
Dengan demikian, refleksi Aristoteles atas demokrasi menjadi pengingat penting bagi Indonesia.
Demokrasi harus dijalankan melalui supremasi hukum, keterlibatan rakyat yang kritis, dan kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan bersama.
Jika Indonesia gagal memperkuat hukum, demokrasi hanya akan menjadi label, bukan realitas. Namun, jika hukum digunakan dan di tegakan sebagai landasan, maka demokrasi Indonesia bisa benar benar dijadikan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang yang dicita-citakan oleh rakyat pada awal reformasi. (*)
Ditulis oleh Wahidatull Nabiila As’syarif, mahasiswa semester 2 Universitas Pamulang