Pemilu Ulang Kabupaten Serang: Pemurnian Demokrasi atau Pemborosan

ZETIZENS.ID – Langkah Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan diadakannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Serang memantik kembali diskusi publik seputar kualitas demokrasi di tingkat lokal.
Keputusan ini diambil setelah terungkap adanya pelanggaran serius pada Pilkada 2024, khususnya keterlibatan sejumlah kepala desa yang tidak netral dan mendukung salah satu kandidat.
Ketidaknetralan aparatur ini melemahkan prinsip dasar demokrasi, yakni keadilan dan kesetaraan dalam kontestasi politik.
PSU seharusnya tidak dipandang sekadar sebagai pengulangan proses pemilu, melainkan sebagai mekanisme pemulihan terhadap proses demokratis yang telah tercoreng.
Tindakan MK menunjukkan bahwa pelanggaran dalam pemilihan umum tak akan dibiarkan dan akan ditindak tegas. Demokrasi yang sehat mencakup bukan hanya hasil akhir, tetapi juga keabsahan seluruh tahapan prosesnya.
Meski demikian, pelaksanaan PSU bukan tanpa tantangan. Salah satu isu utama adalah persoalan pendanaan. Pemerintah daerah harus menggelontorkan anggaran hingga Rp50,67 miliar.
Rinciannya, sekitar Rp38 miliar dialokasikan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rp9,9 miliar untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan sisanya digunakan untuk keperluan pengamanan oleh aparat. Angka ini menjadi tekanan tersendiri bagi keuangan daerah yang sudah terbatas.
Sebagai perbandingan, Kabupaten Sampang di Jawa Timur juga pernah melaksanakan PSU pada Pilkada 2018 akibat persoalan pada daftar pemilih tetap. Namun, dana yang dibutuhkan saat itu hanya sekitar Rp23 miliar.
Hal ini menunjukkan bahwa beban anggaran PSU bisa sangat bervariasi, tergantung pada kondisi wilayah, jumlah pemilih, serta kompleksitas sosial-politik di daerah tersebut.
Di sisi teknis, waktu pelaksanaan PSU yang terbatas tanpa disertai masa kampanye resmi turut menimbulkan kendala. Kampanye sebetulnya penting untuk memberi ruang bagi masyarakat mengevaluasi ulang calon pemimpinnya.
Tanpa kampanye, warga kemungkinan besar memilih berdasarkan popularitas sebelumnya, bukan berdasarkan pertimbangan rasional dan informasi terbaru.
Selain itu, daftar pemilih yang digunakan dalam PSU adalah data lama, yang belum tentu relevan dengan kondisi terkini. Kemungkinan adanya pemilih ganda, yang sudah meninggal, atau telah pindah domisili sangat tinggi. Hal serupa terjadi dalam PSU di Kabupaten Dogiyai, Papua Tengah, di mana medan yang sulit dan faktor keamanan menghambat pembaruan data secara optimal.
PSU juga bisa menjadi pemicu konflik horizontal antarpendukung jika tidak diantisipasi secara serius. Situasi seperti ini pernah terjadi di Kabupaten Paniai, Papua, di mana PSU yang dilakukan tanpa koordinasi dan pengamanan memadai justru memunculkan kericuhan baru di tengah masyarakat.
Partisipasi pemilih menjadi tantangan tersendiri. Sebagian warga bisa merasa jenuh atau kecewa karena harus memilih kembali, sehingga menurunkan tingkat kehadiran di tempat pemungutan suara. Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu harus bekerja lebih keras untuk menyosialisasikan pentingnya PSU sebagai langkah pembenahan, bukan sekadar formalitas.
Pendidikan politik pun menjadi faktor penting. Peran tokoh agama, tokoh adat, media lokal, serta lembaga pendidikan sangat diperlukan untuk menyampaikan pemahaman bahwa PSU merupakan bagian dari proses demokrasi yang bertanggung jawab dan bermartabat.
PSU juga menjadi momen reflektif bagi parpol dan para kandidat untuk menunjukkan kedewasaan berdemokrasi. Sikap sportif dan penolakan terhadap segala bentuk kecurangan menjadi syarat mutlak agar pemilu ulang ini tidak menjadi preseden buruk di masa mendatang.
Secara konstitusional, pelaksanaan PSU merupakan bukti bahwa sistem demokrasi Indonesia mampu melakukan koreksi terhadap dirinya sendiri. Aturan ditegakkan, pelanggaran tidak dibiarkan, dan seluruh pihak yang terlibat dalam proses pemilu harus mematuhi hukum.
Bagi pemilih, PSU memberikan kesempatan baru untuk menilai pilihan politiknya secara lebih bijak dan rasional. Proses ini seharusnya menjauhkan masyarakat dari praktik politik uang, tekanan, dan janji palsu, serta mendorong lahirnya pemimpin dengan integritas dan rekam jejak yang baik.
Demokrasi memang tidak selalu berjalan mulus, namun kesediaan untuk memperbaikinya merupakan pertanda bahwa sistem masih bekerja. Apabila PSU dijalankan secara terbuka, profesional, dan melibatkan partisipasi luas, maka kepercayaan publik terhadap pemilu akan tumbuh kembali.
Pada akhirnya, keberhasilan PSU bukan diukur dari siapa yang keluar sebagai pemenang, tetapi dari seberapa besar keyakinan publik terhadap prosesnya. Jika warga tetap antusias datang ke TPS dan menggunakan hak suaranya, maka demokrasi di Kabupaten Serang akan bangkit kembali dengan fondasi yang lebih kuat dan legitimasi yang lebih kokoh. (*)
Ditulis oleh Herlinda mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Pemerintahan Semester 2 (Genap) Universitas Pamulang.