Kelas Menengah Indonesia: Antara Harapan Ekonomi dan Kekhawatiran Nyata

ZETIZENS.ID – “Penduduk didominasi kelas menengah menjadi prasyarat penting bagi negara maju.” — Bambang Brodjonegoro, Mantan Kepala Bappenas.
Menurut data dari BPS, pada tahun 2024, 66,35 % penduduk Indonesia tergolong dalam kelas menengah dan kelas yang sedang naik ke kelas menengah. Kelompok ini menyumbang sekitar 81,49 % dari total konsumsi rumah tangga.
Meski begitu, laporan Katadata terbaru (Februari 2025) menunjukkan bahwa hanya sekitar 17 % penduduk yang benar-benar stabil berada dalam kelas menengah sejati. Sisanya berupa kelompok “menuju kelas menengah” yang dengan cepat bisa terdampak guncangan ekonomi.
Data ini menegaskan bahwa kelompok kelas menengah bukan hanya penggerak konsumsi, tetapi juga kelompok yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi, seperti fluktuasi harga bahan pokok dan situasi global.
Banyak dari kelompok ini yang tampak nyaman—mereka mampu menyewa rumah layak, membeli kendaraan, dan menyekolahkan anak. Namun, kenyamanan itu rapuh, karena sebagian besar tabungan mereka hanya cukup untuk menanggung beban hidup selama beberapa bulan.
Selain itu, proporsi pengeluaran untuk kebutuhan primer—seperti makan dan rumah—cukup besar. BPS mencatat kelas ini menghabiskan 41,67 % untuk makanan dan minuman, serta 28,52 % untuk perumahan dan cicilan.
Artinya, lebih dari setengah pengeluaran rutin mereka tersedot oleh kebutuhan dasar—menjadikan kelompok ini sangat rentan jika ada kenaikan harga, bantuan sosial dicabut, atau subsidi tak lagi tersedia.
Kelompok “menuju kelas menengah” juga cukup banyak—sekitar 49 % penduduk Indonesia—mereka tinggal di ambang kestabilan. Jika terjadi kejutan ekonomi, mereka bisa tergelincir kembali ke kelompok rentan atau miskin.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, peran mereka vital. Namun dari sisi sosial, posisi mereka justru kerap terabaikan dalam kebijakan—mereka bukan prioritas program bantuan, tetapi juga belum cukup kuat untuk mengakses fasilitas publik terbaik.
Ketika terjadi krisis, kelas menengah ini yang pertama menahan diri: menunda rencana fasilitas baru, menekan konsumsi, bahkan menahan anaknya untuk lanjut studi tinggi—semua demi menjaga stabilitas rumah tangga.
Di tengah tekanan ekonomi, mereka banyak memilih diam. Dalam politik, mereka ikut memilih, tetapi dalam kebijakan publik, mereka hanya menjadi pengamat. Suara kritis semacam ini sangat dibutuhkan, tapi jarang benar-benar disuarakan.
Padahal, dengan jumlahnya yang besar, kelas ini bisa menjadi kekuatan signifikan—untuk mendorong transparansi fiskal, penguatan layanan publik, maupun literasi keuangan masyarakat luas.
Pemerintah perlu merancang skema yang inklusif: misalnya insentif pajak untuk rumah pertama, dukungan untuk dana darurat keluarga kelas menengah bawah, atau perluasan jaminan sosial seperti subsidi pendidikan dan kesehatan.
Di sisi lain, kelas menengah sendiri perlu membangun kesadaran bersama. Mereka harus mulai menempatkan konsumsi berkelanjutan dan keterlibatan publik sebagai bagian dari gaya hidup seimbang.
Saya mencatat, banyak inisiatif positif muncul—seperti kelas literasi keuangan, komunitas sosial, gerakan pangan lokal—semua digerakkan oleh mereka yang sadar posisi mereka dan peduli terhadap sesama.
Semoga ke depan, kelas menengah bukan hanya menjadi kelompok konsumtif yang diam, tetapi menjadi kelompok yang berdaya: menjaga stabilitas diri, sekaligus berkontribusi pada ketahanan dan kemajuan bangsa. (*)
Ditulis oleh Muhammad Zamzam Baihaqi Ilmu Pemerintahan Semester 2 Universitas Pamulang PSDKU Serang