Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka: Novel Healing untuk yang Sedang Belajar Pelan
ZETIZENS.ID – Di tengah dunia yang terasa selalu berisik dan serba cepat, Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka hadir sebagai jeda. Bukan jeda yang penuh slogan motivasi, tetapi jeda yang pelan: mengajak pembaca duduk, bernapas, dan berkenalan ulang dengan luka sendiri.
Novel karya Setiawan Chogah ini tidak menawarkan drama besar, tetapi rangkaian adegan tenang yang justru lama tinggal di kepala: suara bambu bergesek, wangi cendana di pergelangan tangan, daun mangga yang jatuh tanpa saksi. Di antara detail itu, kita mengikuti perjalanan beberapa tokoh yang sama-sama pernah patah dan sama-sama belajar pulang.
Tentang apa kisahnya?
Tokoh sentralnya adalah Raif, seorang penulis yang hidup dengan ritme lambat di rumah kecil di Kota Serang. Halamannya penuh pohon: Ficus virens, cendana, zaitun, mangga, hingga mawar mini. Setiap pohon bukan sekadar latar, melainkan metafora luka dan cara manusia merawatnya.
Suatu ketika, hidup Raif bersinggungan dengan Rangga, seorang polisi yang pulang dengan luka di pelipis dan beban yang tidak seluruhnya bisa ia ceritakan. Ada Dinda, istrinya, yang belajar menjaga rumah tanpa menutup mata pada kebenaran. Ada Keira, anak kecil yang polos namun peka, yang dengan tangan kecilnya menyiram cendana dan tanpa sadar ikut menjaga orang-orang dewasa di sekelilingnya.
Hubungan Raif dan Rangga tidak ditulis sebagai romansa eksplisit, tetapi sebagai kedekatan yang rumit, jujur, dan sangat manusiawi. Mereka saling menyelamatkan, saling menenangkan, tetapi tetap sadar bahwa ada keluarga dan batas yang tidak boleh dilampaui. Di titik inilah novel ini terasa relevan bagi pembaca muda: cinta tidak selalu harus berakhir dengan “memiliki”; sering kali ia justru paling jujur ketika rela menjaga dari jarak aman.
Mengapa relevan bagi pembaca Gen Z?
1. Mengangkat luka tanpa menggurui
Buku ini tidak menghakimi perasaan lelah, marah, atau patah. Tidak ada nasihat instan, tidak ada kalimat “seharusnya kamu kuat”. Luka dibiarkan hadir, lalu perlahan diajak menjadi tanah tempat sesuatu yang baru bisa tumbuh. Bagi banyak anak muda yang jenuh dengan kalimat motivasi kosong, pendekatan seperti ini terasa lebih jujur.
2. Bicara tentang boundaries dengan sangat halus
Tema batas sehat (boundaries) hadir di sepanjang cerita: bagaimana Raif menempatkan dirinya di sekitar keluarga Rangga, bagaimana Dinda mengelola curiga dan lega, bagaimana Rangga menerima kenyataan bahwa ia mencintai seseorang yang tidak bisa ia miliki. Semuanya ditulis dengan penuh empati, tanpa drama berlebihan, tetapi jelas: cinta yang dewasa tahu kapan harus berhenti di depan pintu.
3. Menawarkan konsep “pulang” yang lebih dalam
Novel ini berulang kali menyentuh tema pulang. Pulang ke rumah, pulang ke keluarga, tetapi juga pulang ke diri sendiri. Untuk pembaca muda yang sedang mencari arah, konsep ini terasa dekat: pulang bukan sekadar kembali ke alamat, melainkan cara berjalan yang tidak lagi melukai diri sendiri maupun orang lain.
4. Penuh kalimat reflektif yang layak disimpan
Hampir di setiap bab, ada kalimat yang membuat pembaca otomatis ingin menandai halaman. Bukan karena terdengar “puitis demi puitis”, tetapi karena terasa seperti kesimpulan jujur dari seseorang yang sudah cukup lama duduk bersama lukanya.
Gaya bercerita: pelan, visual, dan sangat “sensorik”
Setiawan Chogah menulis dengan ritme lambat namun konsisten. Ia lebih sering menunjukkan perasaan lewat detail fisik: pelipis Rangga yang masih berdenyut pelan, tangan Keira yang menuang air ke pangkal cendana, daun zaitun yang keperakan di sudut timur halaman, suara trem tua di Hong Kong yang berjalan pelan di tengah kota yang tergesa.
Pilihan gaya ini membuat pembaca seperti diajak berjalan keliling satu rumah, satu halaman, satu kota, sambil perlahan-lahan memahami isi dada para tokohnya. Bukan tipe bacaan yang bisa diselesaikan sambil lalu; buku ini justru mengundang pembaca untuk ikut melambat.
Hal yang perlu disadari sebelum membaca
Ini bukan novel dengan konflik dramatis di setiap bab atau plot twist yang mengejutkan. Jika pembaca terbiasa dengan cerita yang serbacepat, bagian awal mungkin terasa sangat tenang. Namun bagi mereka yang bersedia pelan, justru di ruang-ruang hening itulah ide besar buku ini bekerja: luka tidak selalu perlu diusir, kadang ia cukup diajak duduk dan diberi pohon.
Kesimpulan: buku untuk yang lelah tetapi tidak ingin menyerah
Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka cocok untuk pembaca muda yang:
-
sedang belajar berdamai dengan masa lalu,
-
ingin memahami konsep cinta yang tidak selalu harus dimiliki,
-
atau mencari cara baru memaknai “sembuh” tanpa merasa dikejar-kejar.
Novel ini tidak menawarkan jawaban cepat, tetapi menawarkan teman jalan. Melalui pohon-pohon yang hadir di hampir setiap bab, kita diingatkan bahwa: luka bisa berhenti menjadi parit yang memisahkan, dan pelan-pelan menjadi akar yang menumbuhkan kebun. Tidak perlu tergesa. Yang penting, kita mau menanam. (ZEE)
Identitas Buku
-
Judul: Pohon-pohon yang Ditanam setelah Luka
-
Penulis: Setiawan Chogah
-
Penerbit: Techfin Insight
-
Tahun terbit: 2025
-
Cetakan: Cetakan ketiga (edisi revisi visual): Oktober 2025
-
Tebal: 246 halaman
-
Ukuran: 14 cm x 21,6 cm
-
Desain & layout sampul: Ammar Fahri
-
Editor: Keira Zareen
-
Ilustrator: Arden Gustav







