Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Menjadi 12%
Apakah Berdampak Negatif Bagi Masyarakat di Indonesia
ZETIZENS.ID – Setiap warga negara Indonesia wajib membayar pajak dengan giat dan pajak dianggap bermanfaat bagi masyarakat dan individu.
Masyarakat dan khususnya para ilmuwan ekonomi menunjukkan reaksi yang berbeda-beda terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dinaikkan menjadi 12 persen yang berlaku mulai Januari 2025.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didefinisikan sebagai pajak atas barang yang dibeli di dalam daerah pabean (wilayah geografis Indonesia yang meliputi tanah dan badan air di atas atau di bawah permukaan tidak termasuk wilayah tertentu yang diperluas ke Undang-Undang Sumber Daya Alam).
PPN menurut Pasal 23A UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengendalikan dan mengelola defisit fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah dengan meningkatkan nilai PPN ini. Seperti yang telah kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang mewajibkan warga negaranya untuk membayar pajak.
Kenaikan pajak telah menuai dukungan dan pertentangan, tetapi dalam masyarakat Indonesia, kenaikan pajak lebih banyak memberikan pengaruh negatif.
Misalnya saja dampak kenaikan tarif PPN sebesar 12% pada tahun 2025, di mana tingkat belanja PPN yang sudah tinggi di masyarakat akan terpengaruh secara negatif.
Hal ini akan menaikkan biaya produksi dan pada akhirnya memangkas keuntungan yang diperoleh oleh para pelaku usaha, khususnya UMKM. Kenaikan tarif PPN juga dapat mempengaruhi investasi di negara Indonesia.
Selain itu, inflasi yang tinggi diakibatkan oleh meningkatnya beban PPN seiring dengan naiknya harga barang dan jasa yang dapat memicu inflasi.
Lebih jauh, kenaikan PPN dapat menyebabkan penurunan daya beli konsumen, khususnya dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
Kenaikan pajak akan menyebabkan berkurangnya pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat. Mereka mengatakan bahwa mengingat tingkat pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 dan kebutuhan untuk meningkatkan suhu, menaikkan tarif PPN sama saja dengan berpolitik bahwa penargetan inflasi tidak mendukung stereotip bahwa inflasi menekan pertumbuhan ekonomi.
Negara mensyaratkan kenaikan tarif PPN, yaitu penyesuaian ke atas pajak tidak langsung negara, sebagai hal mendasar untuk mengatasi defisit struktural dan ruang lingkup pengejar saat ini.
Sebagai warga negara biasa, saya berpendapat bahwa kenaikan PPN akan berdampak pada masyarakat kelas bawah maupun menengah.
Saya mengambil kesimpulan demikian karena saya berpendapat bahwa peningkatan efisiensi basis pajak akan meningkatkan penerimaan pajak pemerintah.
Dalam mengatasi kenaikan tarif PPN, diharapkan peran pemerintah lainnya adalah mengoptimalkan pemungutan pajak. Selain itu, diantisipasi bahwa optimalisasi pajak akan mendorong orang membayar pajak sesuai dengan kemampuan dan kewajiban yang dibebankan kepada mereka.
Peningkatan tarif PPN menjadi 12% yang dimaksudkan untuk memperluas penerimaan negara ditetapkan pada tahun 2025. Meskipun kebijakan ini dapat berdampak buruk pada daya beli masyarakat, negara harus mengambil langkah-langkah penanggulangan yang tepat seperti peningkatan program bantuan sosial dan pemberian bantuan kepada usaha kecil dan menengah.
Diharapkan jika kenaikan tarif PPN dilakukan secara bijaksana dan mempertimbangkan secara menyeluruh, kenaikan tersebut akan memacu pertumbuhan negara tanpa merugikan rakyatnya. (*
Ditulis Oleh : Ucu