Karya

Jika Hidup Itu Singkat, Bagaimana Kita Harus Menjalani Hari Ini?

ZETIZENS.ID – Pernahkah kamu berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: kalau besok mati, apa yang sudah benar-benar kamu lakukan hari ini?

Pertanyaan itu terdengar klise, bahkan menakutkan. Tapi justru di situlah letak masalah kita. Kita lebih sering menghindari percakapan soal kematian, seolah-olah dengan tidak membicarakannya, kematian tidak akan datang.

Padahal, kata Seneca, seorang filsuf Romawi kuno, kematian hanyalah pintu keluar yang sama alaminya dengan kelahiran. Kita takut mati bukan karena mati itu sendiri, tapi karena terlalu sibuk berpegang pada hal-hal duniawi.

Seneca hidup di Roma pada abad pertama Masehi. Ia seorang penulis, orator, sekaligus filsuf Stoa yang banyak menulis tentang kehidupan, waktu, dan kematian.

Hidupnya tragis—ia dipaksa bunuh diri oleh Kaisar Nero—tetapi gagasannya tetap hidup hingga kini. Dalam Letters to Lucilius, ia menekankan bahwa kematian bukan musibah. Ia adalah bagian alami dari kehidupan, sebuah hukum yang berlaku untuk semua manusia tanpa kecuali.

Mengapa Kita Takut Mati?

Bagi Seneca, ketakutan pada kematian bukanlah soal kematian itu sendiri, melainkan soal keterikatan. Kita takut mati karena merasa masih ada banyak yang harus dimiliki, dicapai, atau dipertahankan: harta, jabatan, bahkan sekadar kenyamanan.

Orang yang sibuk mengejar materi tidak akan pernah siap kehilangan. Sebaliknya, orang yang sadar bahwa hidup bersifat sementara akan lebih tenang.

Seneca bahkan menyarankan, “Hiduplah setiap hari seolah itu adalah hari terakhir.” Dengan begitu, kita tidak menunda kebaikan, tidak terjebak dalam penyesalan, dan tidak lagi membuang waktu.

Pandangan ini sebenarnya relevan sekali dengan keseharian kita. Bukankah kita sering menunda hal-hal yang penting?

Menunda untuk minta maaf, menunda untuk meluangkan waktu bersama keluarga, menunda untuk melakukan kebaikan kecil. Kita berpikir masih punya banyak hari, padahal tidak ada jaminan esok masih menjadi milik kita.

Kematian sebagai Guru Kehidupan

Seneca mengingatkan bahwa umur panjang tidak menjamin kualitas hidup. Yang membuat hidup bermakna bukanlah panjangnya tahun, melainkan bagaimana kita mengisinya. “Bukan karena hidup ini singkat,” tulis Seneca, “melainkan karena kita banyak menyia-nyiakannya.”

Kematian, dalam kacamata Seneca, justru guru yang mengajarkan kita untuk menilai ulang prioritas hidup. Apakah kita hanya menghabiskan waktu untuk mengejar kesenangan sesaat, ataukah kita menggunakan waktu untuk kebajikan dan memberi manfaat bagi orang lain?

Refleksi ini membuat kita lebih sadar: apa yang benar-benar penting dalam hidup bukanlah angka di rekening bank, melainkan kualitas hubungan, kontribusi, dan ketenangan jiwa.

Relevansi untuk Zaman Sekarang

Di era modern, kematian justru semakin jauh dari ruang percakapan. Kita sibuk dengan media sosial, karier, atau urusan duniawi lain, seakan-akan lupa bahwa semua itu tidak ada artinya ketika kita mati.

Ironisnya, justru dengan menghindari pembicaraan tentang kematian, rasa takut kita makin besar. Pandemi global beberapa tahun lalu jadi bukti nyata.

Banyak orang kehilangan orang terdekat begitu cepat, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Saat itu, kita semua tersadar betapa rapuhnya kehidupan.

Seneca menawarkan cara pandang yang lebih menenangkan. Dengan menerima kematian sebagai hal alami, kita bisa mengurangi kecemasan eksistensial.

Kesadaran bahwa hidup bisa berakhir kapan saja justru membuat kita lebih bijak. Kita jadi terdorong untuk memperbaiki hubungan, memperbanyak kontribusi, dan berhenti menunda hal-hal penting.

Bahkan dalam menghadapi kehilangan, refleksi Seneca bisa membantu. Tentu saja kesedihan adalah hal wajar. Namun dengan menyadari bahwa setiap kehidupan memiliki batas, kita bisa lebih ikhlas dan tidak larut dalam duka yang tanpa ujung.

Kematian bukan akhir dari segalanya, melainkan penutup alami yang justru memperkaya makna hidup.

Hidup yang Bermakna

Di tengah dunia modern yang sibuk dan konsumtif, filsafat Seneca seakan menjadi pengingat keras. Hidup yang berharga bukanlah hidup yang dipenuhi tumpukan barang atau gelar panjang, melainkan hidup yang dijalani dengan kebajikan.

Ketika kesadaran akan kematian hadir, kita belajar memilah: mana yang benar-benar penting, mana yang bisa dilepaskan.

Seneca tidak meminta kita hidup dengan muram. Ia justru mendorong agar kita hidup penuh, berani, dan sadar. Dengan cara itu, ketika saatnya tiba, kita bisa pergi tanpa penyesalan.

Penutup

Pertanyaan sederhana di awal tulisan ini kembali menggema: kalau besok mati, apa yang sudah kita lakukan hari ini?

Seneca memberi jawabannya: gunakan waktu seakan setiap hari adalah hari terakhir. Karena pada akhirnya, pelajaran terbesar dari kematian bukanlah bagaimana kita menghadapinya, melainkan bagaimana kita memilih untuk hidup sebelum ia datang. (*)

Ditulis oleh Muhammad Zamzam Baihaqi, Mahasiswa Universitas Pamulang Semester 3 Prodi Ilmu Pemerintahan

Tulisan Terkait

Back to top button