Karya

Dia Dalam Setiap Kata

Cerpen oleh Nurul Hasan

ZETIZENS.ID – Aku menulis tentangnya lagi. Bukan karena kehabisan ide, hanya saja setiap kata yang kutulis selalu bermuara padanya.

Aku bisa mencoba membuat kisah lain tentang petualangan, tentang dunia yang jauh lebih menarik. Tapi entah mengapa, menulis tentang dia selalu terasa lebih menyenangkan. Seakan jari-jariku sudah terbiasa mengetik namanya di setiap cerita yang kuciptakan.

Semua berawal dari aku yang iseng melakukan live streaming di Instagram saat jam kosong di sekolah, bersama temanku.

“Intan, aku mau coba live deh. Kayaknya seru, gabut juga kan?” ucapku pada Intan, teman sebangkuku.

“Ayo, ayo! Kita live,” jawabnya antusias.

Ketika live berlangsung, banyak akun yang menonton dan berkomentar. Tapi ada satu akun yang asing bagiku, seseorang yang aku tidak kenal.

Awalnya, aku tidak terlalu memperdulikannya. Namun setelah live itu, akun tersebut selalu melihat setiap snapgram yang kuunggah, bahkan mulai mengikuti akun Instagramku. Aku masih mengabaikannya.

Seminggu kemudian, seorang teman sekelasku tiba-tiba berkata, “Rara, temanku suka sama kamu. Dia sering lihat live kamu, loh! Bahkan dia sering love-love-in snapgram kamu. Hahaha.”

Aku hanya tersenyum kecil dan menjawab singkat, “Oh, itu temanmu? Oke deh,” lalu pergi tanpa menanggapinya lebih jauh.

Awalnya, pesannya hanya sesekali muncul sekedar sapaan atau candaan ringan. Lalu, tanpa kusadari, hampir setiap hari ada namanya di notifikasi Instagramku.

“Pagi! Jangan lupa sarapan.”
“Lagi sibuk ya?”
“Semangat ya hari ini!”

Aku membaca semuanya, tapi jarang membalas. Bukan karena tidak peduli, hanya saja aku tidak tahu harus merespons seperti apa. Tapi dia tidak pernah berhenti. Minggu demi minggu, pesannya tetap datang, konsisten, tanpa memaksa.

Hingga berbulan-bulan kemudian, entah bagaimana, aku mulai mencari namanya di notifikasi. Aku mulai bertanya-tanya ketika tidak ada pesan darinya.

Suatu pagi di kelas, notifikasi ponselku berbunyi.

“Pagi, Rara!”
“Semangat ya sekolahnya!”

Biasanya, aku hanya melihat sekilas lalu mengabaikannya. Tapi hari itu, tanpa berpikir panjang, aku mengetik balasan.

“Halo, pagi juga. Terima kasih ya!”

Hampir seketika, tanda dia sedang mengetik muncul.

“Hah? Beneran bales? Aku kira akun ini cuma bot yang baca tapi nggak pernah respon.”

Aku tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar ingin melanjutkan obrolan ini.

“Haha, maaf ya. Emang aku segitu juteknya?”

“Nggak kok. Cuma… akhirnya.”

Aku ingin sekali meneruskan obrolan ini lebih jauh. Tapi sebagai perempuan, ada rasa gengsi untuk bertukar nomor WhatsApp lebih dulu. Akhirnya, obrolan pun berhenti.

Malam itu, aku merasa berbeda. Entah kenapa, pikiranku terus memikirkannya.

“Kenapa aku jadi gini? Kenapa aku mikirin dia?”

Di tengah kebingunganku, tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari nomor tak dikenal.

“Halo, Rara. Saveback ya!”

Aku mengernyit, lalu membalas, “Hai, ini siapa ya?”

“Tebak siapa?”

“Kamu kasih tahu, atau aku blok?”

Sebenarnya, aku tahu itu dia. Aku hanya berpura-pura.

Sejak hari itu, semuanya berubah. Obrolan yang awalnya hanya sekadar sapaan, kini menjadi kebiasaan. Setiap pagi, ada “Selamat pagi!” darinya. Setiap malam, ada cerita tentang harinya yang panjang, tentang lagu-lagu baru yang ia temukan, tentang hal-hal kecil yang mungkin tak pernah kupikirkan sebelumnya.

Dan tanpa kusadari, aku mulai nyaman.

Aku mulai menunggu pesannya. Aku mulai membalas lebih cepat. Aku mulai ingin tahu lebih banyak tentang dia, tentang kebiasaannya, tentang bagaimana dia bisa sekonsisten itu mengirim pesan tanpa pernah menyerah.

Kami mulai bertukar cerita lebih dalam tentang mimpi, ketakutan, dan hal-hal yang biasanya sulit dibicarakan dengan orang lain. Aku bahkan tidak ingat kapan tepatnya kami jadi sedekat ini. Yang aku tahu, sekarang, aku tidak bisa membayangkan sehari tanpa ada chat darinya.

Aku yang dulu tak pernah berniat menanggapinya, kini justru paling takut jika suatu hari dia berhenti mengirim pesan.

Lalu, hari itu datang. Hari di mana pesan darinya tak kunjung masuk lebih cepat dari biasanya. Tidak ada sapaan pagi. Tidak ada update tentang harinya. Tidak ada candaan receh yang biasanya selalu berhasil membuatku tersenyum.

Aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa ini bukan masalah besar. Tapi semakin lama aku menunggu, semakin aneh rasanya. Ada sesuatu yang kosong, sesuatu yang tidak seharusnya hilang.

Saat akhirnya dia mengirim pesan di sore hari, hanya sekadar “Maaf, hari ini sibuk banget.” aku merasakan sesuatu yang tak pernah kusadari sebelumnya.

Rasa lega.

Seharian aku gelisah karena tidak mendapat pesannya. Seharian aku mencari-cari namanya di notifikasi. Seharian aku merasa ada yang kurang tanpanya.

Dan saat itulah aku sadar aku tidak hanya nyaman dengannya. Aku tidak hanya terbiasa dengannya. Aku menyukainya.

Terima kasih sudah hadir dalam hidupku yang penuh kekurangan ini. Terima kasih untuk semua yang telah kamu usahakan untukku. Terima kasih untuk waktu, perhatian, bahkan hal-hal kecil yang mungkin tak pernah kusadari.

Semoga semesta selalu berpihak padamu, afi…

Dan satu hal yang bisa kupastikan namamu akan selalu abadi dalam setiap kata yang kutulis, dalam setiap cerita yang kuciptakan. Karena bagiku, kamu bukan hanya seseorang yang datang dan pergi. Kamu adalah bagian dari kisah yang tak akan pernah selesai. (*)

Ditulis oleh Nurul Hasan, Zetizens Jurnalistik 2025

Tulisan Terkait

Back to top button