Community Based Tourism (Pendekatan Pariwisata Berbasis Masyarakat): Strategi Pengembangan Destinasi Pariwisata di Kota Serang

ZETIZENS.ID – Lahir dan tumbuh besar di sebuah daerah yang terkenal oleh kebudayaan Debus, daerah tersebut adalah Kota Serang yang merupakan ibukota Provinsi Banten.
Kota Serang adalah saya, terlalu dini untuk saya menjabarkan kota yang mempunyai 14 wisata alam, 62 wisata buatan, 167 wisata sejarah, dan budaya..
Salah satu daerah yang memiliki potensi pariwisata menarik untuk dikembangkan adalah Kota Serang, Banten.
Kota Serang mempunyai potensi pariwisata diantaranya adalah Gedung Joeang 45, Alun-alun Keresidenan Banten, Masjid Kuno Kaujon, Jembatan Kaujon, rumah-rumah kuno di Kaujon, rumah-rumah kuno di Pegantungan, bangunan bekas sekolah zaman Belanda, pesisir teluk Banten, pemukiman Suku Bugis, Kampung wisata selfie Pipitan Kreatif, kampung wisata Situ Ciwaka, dan beberapa peninggalan bangunan bersejarah di sekitar Kecamatan Kasemen.
Keberadaan tempat-tempat wisata warisan/heritage tourism seharusnya dapat dimanfaatkan melalui pengembangan pariwisata yang baik dengan pola Pariwisata Berbasis Masyarakat (CBT).
Maka demikian, keterlibatan peran PEMUDA di Kota Serang sangat dibutuhkan sebagai salah satu tonggak perubahan pengembangan pariwisata budaya di Kota Serang.
Lebih dari Permasalahan
Namun, gambaran pemuda Kota Serang saat ini kian terlena dalam fantasi dunia syahwat dan subhat. Kian hari pemuda kian kehilangan arti pemudanya.
Alasan penting mengapa konsep hedonisme kebaratan sukses telak merajalela tanah jawara, karena pemuda telah di semprot dengan toksin-toksin westernisasi secara bertubi-tubi.
Tak ayal, toksin-toksin mereka telah meracuni pemuda hingga ke akar-akarnya. Seharusnya kemudahan yang diakibatkan oleh Revolusi Industri 4.0 dapat menjadi suatu peluang untuk meningkatkan daya saing dan produktifitas khususnya pada masa pandemic Covid-19.
Beralih pada konsep pendekatan Pariwisata Berbasis Masyarakat hingga terciptanya kampung Wisata dan dukungan terhadap Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) yang telah diupayakan oleh Disparpora (Pemerintah Kota Serang melalui Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga).
Namun saat diterapkannya konsep ini, faktanya masih banyak potensi wisata yang belum dikembangkan. Seperti bangunan-bangunan cagar budaya dan bangunan kuno.
Warisan bangunan bersejarah yang seharusnya bisa menjadi objek wisata heritage, sayangnya hal ini belum dibuka untuk umum sebagai historical tour dan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat setempat maupun wisatawan.
Keadaan ini saya rasakan sendiri, berawal dari sebelah utara pusat Kota Serang. Saya menjejaki tempat bersejarah Keraton Kaibon, saya tidak melihat adanya cycling-tour, city-tour, walking tour, hingga pemandu wisata lokal, yang seharusnya hal ini bisa menjadi gagasan baru untuk dikelola pemuda atau masyarakat setempat menjadi industri kreatif yang bisa menjadi daya tarik wisata.
Berjalan meninggalkan Keraton Kaibon, saya melanjutkan perjalanan ke pelabuhan tua yang dahulu menjadi pelabuhan internasional di zaman kesultanan.
Saat ini yang terlihat bukan hanya aktivitas para nelayan saja, tetapi beberapa pengunjung hilir mudik memasuki pelabuhan dengan tiket masuk yang relatif murah untuk menikmati matahari tenggelam di sore hari dengan pemandangan deburan ombak air laut, pengunjung yang akan berwisata ke seberang pulau hingga bermukimnya beragam suku budaya di sana.
Tetapi pemandangan saya terganggu oleh reruntuhan buah mangrove, buah tersebut dibiarkan jatuh membusuk hingga menjadi kerusakan lingkungan yang seharusnya jika diolah dengan baik bisa menjadi ladang pundi-pundi rupiah dan juga terlihat papan berdiri kokoh bertuliskan “Dilarang Membuang Sampah Sembarangan” yang hanya menjadi pajangan semata.
Padahal sudah tersedianya tempat sampah tak juga meyadarkan wisatawan akan bahayanya sampah bagi ekosistem.
Pengelolaan yang kurang terencana dan kurang baik juga menjadi permasalahan akan Sapta pesona di wilayah pelabuhan Karangantu.
Masalah yang timbul bukan hanya terjadi di wilayah pelabuhan Karangantu, tetapi pada wajah baru penziarahan Masjid Agung Banten Lama, payung-payung besar nan kokoh bak seperti di Madinah, juga tatanan kursi-kursi baru di sekitar wilayah Keraton dilengkapi fasilitas lainnya menjadi angka kunjungan wisatawan menjadi naik, terlebih di hari besar umat Islam.
Tak lupa, di sekitar wilayah penziarahan terlihat bangunan yang mengabadikan peninggalan bangunan bersejarah: Museum Kepurbakalaan Banten yang sepi pengunjung.
Fenomena umum yang diketahui banyak orang, biar pun tiket masuk di bawah Rp10.000-Rp20.000, ternyata tidak mampu menarik minat masyarakat luas untuk mengunjunginya.
Sebenarnya, sudah banyak cara yang dilakukan untuk mendekatkan dirinya dengan masyarakat luas. Beragam kegiatan untuk lapisan usia digelar di museum tersebut.
Masih sepinya pengunjung museum, dikarenakan beberapa pemuda beralasan museum hanya disajikan sebagai pusat ilmu pengetahuan, tempat orang bisa belajar dan menambah wawasan.
Sedangkan hal itu bisa mereka dapatkan cukup berselancar di Internet.
Jika suatu wisata warisan budaya bisa didapatkan melalui internet, maka ini adalah suatu peluang baru bagi pemuda untuk memperkenalkan warisan wisata budaya di Kota Serang yang dikemas menggunakan kecanggihan teknologi saat ini.
Bukan hanya di sudut utara pusat Kota Serang, tetapi pusat kota sendiri harus menjadi perhatian. Keberadaan potensi wisata heritage belum mampu menarik wisatawan untuk menjadi tujuan wisata maupun disinggahi.
Kawasan pusat kota yang dimaksud adalah seperti alun-alun, Museum Negeri Banten, Rumah kuno warga di sekitar Kaujon hingga sekitar Kecamatan Serang.
Pusat kota saat ini hanya mempunyai fungsi sebagai tempat hilir mudik orang yang akan melewati pelabuhan fery Merak untuk menyebrang, atau orang yang akan menuju Sawarna, Carita, Anyer, Cilegon hingga Ujung Kulon.
Terlebih adanya jalan tol yang semakin membuat mereka tidak masuk melalui pusat kota. Serangkaian tempat-tempat unsur Urban-Heritage juga belum dimanfaatkan secara maksimal, seperti mall, café, alun-alun, museum, stasiun kereta, dll.
CBT: Sebuah Alternatif
Bukan hanya anggaran yang menjadi faktor terbesar penghambat pengembangan destinasi pariwisata di kota Serang, tetapi hubungan antar lembaga pariwisata/stakeholder belum berintegrasi, sarana prasana pariwisita dan faktor pendukung masih saja kurang, pengetahuan tentang pariwisata masyarakat masih kurang, promosi pariwisata masih belum memadai, dan kurangnya keterlibatan antar pemuda di kota Serang.
Keberadaan potensi urban tourism di kota Serang sudah cukup lengkap, masyarakat yang majemuk, dan beberapa potensi alam di kota Serang juga melimpah.
Maka konsep CBT yang diterapkan di kota Serang juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, masyarakat harus terlibat langsung dalam industri pariwisata lokal dengan beberapa kontribusi positif serta ide kreatif dari pemuda.
Menyikapi situasi pandemic Covid-19, untuk memperkenalkan potensi destinasi pariwisata di kota Serang maka diperlukannya virtual tour, untuk memudahkan wisatawan berwisata dari rumah dengan berbasis aplikasi yang dapat diakses melalui smartphon.
Lalu sentuhan peran baru pada Museum bisa dijadikan sebagai fasilitator. Misalnya salah satu ruangan museum dapat digunakan sebagai tempat resepsi pernikahan, ulang tahun, maupun acara wisuda yang dikemas dengan pentas kesenian atau pameran musem.
Pelaksanaannya tentu harus berpegangan pada rambu-rambu aturan yang tidak akan menggangu tugas dan fungsi museum. Program edukasi museum juga dapat dikemas sebagai sebuah produk yang dapat “dijual” untuk menarik pengunjung.
Pengelolaan museum dikemas agar dapat berinovasi untuk membuat tema-tema baru dalam program-programnya sehingga tidak tampil monoton dan membosankan.
Kegiatan-kegiatan museum perlu ditata agar dapat diikuti oleh pengunjung serta diusahakan agar masyarakat dan para pemuda dapat berperan aktif. Juga untuk menambah ketertarikan wisatawan, diperlukannya suatu produk ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal yang dimunculkan untuk memperkenalkan ciri khas kota Serang semacam buah tangan seperti pengolahan buah Mangrove yang bisa dijadikan bahan dasar tepung dan serbuk kopi yang dikemas dengan sentuhan ornamen batik Baduy.
Dan guna meminimalisir anggaran jika wisatawan kesulitan untuk bermukim/sekedar mencari penginapan, bisa diwujudkannya rumah-rumah warga untuk homestay.
Dengan memperkenalkan tata cara kehidupan bermasyarakat setempat, pengolahan makanannya, ibadatnya, termasuk nilai-nilai budaya lokal sebagai warisan budaya leluhur. Serta aktif mengadakan acara even-even budaya, city tour maupun walking tour dan terdapatnya pemandu wisata yang berintegritas untuk memudahkan wisman yang berkunjung.
Lokasi yang strategis dengan kekayaan destinasi wisata yang melimpah. Tentunya bisa menjadi aset berharga yang bisa di kembangkan oleh masyarakat.
Dalam hal ini, seharusnya masyarakat lokal mempunyai kesempatan dalam membangun dan mengelola pariwisata, sesuai dengan pengertian community-based tourism (CBT) yang partisipatif.
Sadar wisata bagi masyarakat merupakan kunci terhadap pentingnya potensi ini dan hubungannya dengan pariwisata serta kebermanfaatannya bagi ekonomi masyarakat setempat. Karena melibatkan masyarakat serta elemen pemuda dapat membantu mengatasi masalah ini, masyarakat akan ikut memelihara bila dilibatkan dalam pemanfaatan dan pelestariannya.
Masyarakatpun akan dapat merasakan manfaatnya dan berdaya menyelesaikan masalah ekonomi, melestariakan budayanya, berbudaya dalam berkehidupannya. (Angga)