Desa Cibetus: Konflik Panjang Tanpa Arah

ZETIZENS.ID – Pada 7 Februari 2025, Desa Cibetus, Padarincang, Kabupaten Serang, Banten dilanda teror. Aparat bersenjata mendatangi rumah-rumah warga, menggedor dan bahkan mendobrak pintu-pintu rumah warga.
“Orang-orang ditangkap lalu dibawa pergi. Hingga 13 Februari, sudah 16 warga yang ditangkap termasuk sopir angkot warga situnya yang tidak melakukan apa apa terkena juga,” ucap warga
Penangkapan ini terjadi setelah warga menggelar aksi unjuk rasa menuntut penutupan peternakan ayam. Lalu terjadi insiden yang menyebabkan kandang ayam milik PT Sinar Ternak Sejahtera (STS), anak perusahaan Charoen Pokphand terbakar.
Bagi warga, penangkapan brutal yang terjadi selama beberapa hari bukan hanya menyisakan trauma mendalam, tapi juga pertanyaan yang menggantung di langit, mengapa aparat mengambil langkah brutal, bukan mengedepankan cara-cara yang lebih beradab sedemikian rupa ya?
Awal Konflik Dampak Pencemaran Peternakan Ayam
Konflik bermula ketika Pak Johar Setiawan mendirikan peternakan ayam perorangan pada lahan seluas 2 hektar di Desa Cibetus pada tahun 2013.
Jarak kandang dengan kapasitas 25 ribu an ekor hanya berkisar 10 meter dari pemukiman warga cibetus. Jarak sedekat itu membuat warga Cibetus harus menanggung polusi berupa berupa bau busuk, bulu-bulu ayam memenuhi udara, lalat berkembang biak tak terkendali, dan kekhawatiran akan penyebaran penyakit seperti flu.
Sejak itu banyak warga merasakan gangguan kesehatan seperti demam, gatal-gatal, dan sesak napas.
Warga tak tahan dengan gangguan yang timbul sejak adanya peternakan ayam milik Djohar, warga mengadu pada ketua RT, Ketua RT lalu menyampaikan keluhan warga ke Pak Djohar.
Namun Pak Djohar membantah tuduhan pencemaran itu. Ia bilang peternakannya menerapkan SOP yang ketat, tidak mungkin menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan warga cibetus. Warga tidak dapat berbuat banyak, polusi terus berlangsung dan makin banyak yang sakit.
Pada 2016 salah seorang warga bernama Muslik meninggal karena penyakit paru-paru, Keluarganya tersebut meyakini bahwa pencemaran peternakan menjadi penyebabnya utamanya.
Hal itu membuat situasi makin memburuk, Tekanan yang warga Cibetus terhadap Djohar makin meningkat. Setelah mendapat tekanan besar, Djohar menutup peternakannya pada tahun 2018. Warga pun mengira permasalahan telah selesai, namun tidak demikian.
Konflik Lingkungan dan Hukum di Cibetus
Kasus konflik antara warga Cibetus, Padarincang dan PT. Sinar Ternak Sejahtera (STS), sebuah anak perusahaan Charoen Pokphand, menyoroti kompleksitas permasalahan lingkungan dan penegakan hukum di Indonesia.
Permasalahan inti berpusat pada dampak negatif peternakan ayam skala besar terhadap lingkungan dan kesehatan warga cibetus, yang berujung pada aksi protes dan pembakaran kandang ayam.
Konflik tersebut ini menyingkap ketidakseimbangan antara kepentingan ekonomi perusahaan dan hak-hak dasar warga cibetus atas lingkungan hidup yang sehat layak seharus nya didapatkan oleh warga cibetus.
Dampak Lingkungan dan Kesehatan
Warga Cibetus telah lama mengeluhkan pencemaran lingkungan akibat operasional peternakan ayam STS, termasuk Warga mengeluhkan pencemaran udara, bau tak sedap, lalat, dan kekhawatiran akan penyebaran penyakit seperti flu.
Kedekatan kandang ayam dengan pemukiman warga ( hanya 10 meter ) memperparah dampak negatif tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak kesehatan jangka panjang bagi warga cibetus, khususnya Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA).
Respons Pemerintah dan Penegakan Hukum
Tanggapan pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap protes warga Cibetus dinilai kontroversial. Penangkapan sejumlah warga yang diduga terlibat dalam pembakaran kandang ayam memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk WALHI, yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup.
Putusan pengadilan yang menolak pembelaan warga juga menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan pemahaman hakim terhadap konteks permasalahan lingkungan.
Sebagai Kesimpulannya, Kasus Cibetus merupakan cerminan dari konflik agraria dan lingkungan yang sering terjadi di Indonesia.
Perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyelesaian konflik lingkungan, dengan mengedepankan dialog, partisipasi warga, dan penegakan hukum yang berkeadilan dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
Perlindungan terhadap hak-hak warga atas lingkungan hidup yang sehat dan layak harus diutamakan, dan perusahaan harus bertanggung jawab atas dampak negatif operasionalnya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Kejadian ini juga menjadi pengingat pentingnya perencanaan tata ruang yang memperhatikan aspek lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. (*)
Ditulis oleh Muhtadi, mahasiswa Universitas Pamulang Serang, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.