Literasi Digital: Penopang Masyarakat di Tengah Gelombang Informasi

ZETIZENS.ID – Perkembangan teknologi digital telah menggeser banyak interaksi publik dari dunia nyata ke layar ponsel. Di platform digital inilah jutaan orang saling berkomunikasi, berbagi berita, dan membentuk opini. Namun, laju informasi yang begitu cepat tidak selalu diimbangi dengan kemampuan masyarakat untuk memilah dan memahami isi yang mereka terima.
Tingkat literasi digital yang rendah membuat masyarakat rentan terhadap hoaks, perundungan online, penyalahgunaan data pribadi, hingga polarisasi sosial yang semakin tajam.
Berbagai studi menegaskan bahwa literasi digital jauh lebih luas daripada sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat.
Kompetensi ini mencakup kemampuan berpikir kritis, memahami konteks informasi, mengenali motif di balik konten yang beredar, serta berperilaku etis di ranah digital.
Tanpa bekal ini, masyarakat cenderung menjadi konsumen informasi pasif, yang mudah terpengaruh oleh narasi apapun yang muncul di lini masa mereka.
Kasus penyebaran hoaks yang terus berulang menjadi contoh nyata lemahnya daya tahan digital masyarakat. Banyak pengguna media sosial membagikan konten tanpa memverifikasi kebenarannya, seolah kecepatan lebih penting dibanding fakta.
Situasi ini diperparah algoritma platform yang lebih menonjolkan konten sensasional ketimbang berkualitas. Hasilnya, “polusi informasi” kian menumpuk, sementara kemampuan publik untuk membedakan fakta dan opini tidak berkembang memadai.
Di sisi lain, risiko psikologis seperti cyberbullying juga meningkat. Anak-anak dan remaja yang menghabiskan sebagian besar waktunya di dunia maya kerap menjadi sasaran komentar agresif, hinaan anonim, atau perundungan berulang.
Dampaknya serius: tekanan psikologis bisa muncul, memengaruhi proses belajar, dan bahkan membentuk perilaku yang kurang sehat.
Pengalaman dari kegiatan literasi digital di SMK Negeri 1 Kragilan menunjukkan bahwa edukasi interaktif, melalui diskusi dan simulasi kasus, lebih efektif membuka wawasan peserta.
Siswa tampak lebih responsif ketika materi dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari mereka. Pendekatan seperti ini membuktikan bahwa literasi digital bisa ditanamkan dengan cara menarik, bukan melalui ceramah satu arah yang mudah terlupakan.
Karena itu, penguatan literasi digital perlu menjadi perhatian bersama. Sekolah berperan strategis sebagai ruang pembelajaran, guru memerlukan pelatihan untuk mengintegrasikan pendidikan digital dalam pengajaran, perguruan tinggi dapat mendukung lewat riset dan program pengabdian masyarakat, sementara orang tua harus menjadi teladan dalam penggunaan teknologi yang sehat dan bertanggung jawab.
Pemerintah pun memegang peran penting. Program literasi digital harus diperluas, lebih sistematis, dan menjangkau semua kelompok usia.
Kebijakan perlindungan data pribadi perlu ditegakkan secara ketat agar masyarakat tidak mudah menjadi korban eksploitasi digital. Jika pendidikan formal adalah fondasi, maka regulasi publik menjadi pagar pelindungnya.
Pada akhirnya, literasi digital bukan sekadar soal kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana masyarakat hidup berdampingan dengannya. Ruang digital terus berkembang dan menghadirkan risiko baru setiap saat.
Tanpa literasi yang kuat, masyarakat akan terus terbawa arus informasi tanpa kendali. Namun, dengan kemampuan berpikir kritis, etika digital, dan pemahaman yang tepat, masyarakat tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga dapat memanfaatkan dunia digital untuk kemajuan diri dan lingkungan sekitar.
Literasi digital adalah benteng terakhir kita di tengah banjir informasi. Dan benteng itu harus mulai dibangun sekarang, sebelum terlambat. (*)
Ditulis oleh Ahmad Faqih Firmansyah, mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Semester 3 Kampus Unpam Serang







