Edukasi Anti Bullying Mahasiswa Universitas Pamulang di SMPN 13 Kota Serang

ZETIZENS.ID – Kekerasan dan perundungan siswa yang ramai diberitakan media dalam beberapa waktu terakhir ini menyadarkan kita semua pentingnya membangun iklim yang nyaman dan anti kekerasan di sekolah, dibutuhkan stretegi yang menyeluruh dalam mencegah dan menangani kekerasan di kalangan anak didik.
Kompleksitas Kasus
Dalam data statistik di daerah Jawa Tengah, pemerintah memberikan dampak yang mengancam semua pihak yang terlibat, tidak hanya anak yang di-bully tetapi juga bagi pelaku bahkan bagi anak-anak yang menyaksikan bullying serta berdampak bagi sekolah tersebut (KPAI. 2023).
Data kasus terhadap kekerasan anak berjumlah 1.478 (Pusdatin KPAI, Oktober 2023) tujuannya adalah mengatasi dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi dan intoleransi.
Bullying dapat membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental anak. Pada kasus yang berat, dapat menjadi pemicu tindakan yang fatal seperti yang terjadi di Temanggung berujung dengan pembakaran sekolah (27/06/2023).
Dampak dari kasus ini tidak bisa dianggap sepele, dan semakin menyadarkan kita semua untuk lebih memperhatikan anak-anak korban perundungan. Menyikapi kasus ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada, Rabu (05/07/2023) menggelar Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencara (DP3AP2KB) Temanggung.
Hadir stakeholder terkait dalam pertemuan tersebut yakni Balai Pemasyarakatan, Polres Temanggung, Sentra Kartini, pihak sekolah, pekerja sosial, serta Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Temanggung. Dimana rakor bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah daerah dan mencari solusi terbaik untuk anak dalam kasus perundungan yang tengah terjadi.
Dari 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah (7 dari 10 siswa), 45% siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan, 40% siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya, 75% siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah, 22% siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan, dan 50% anak melaporkan mengalami perundungan di sekolah.
Peran Sekolah
Untuk memutus mata rantai kekerasan di sekolah tersebut, tidak bisa hanya dilakukan oleh sekolah sendiri, tetapi membutuhkan sinergi banyak pihak, mulai dari orang tua, guru, kepala sekolah, petugas sekolah lainnya, komite sekolah, dinas pendidikan setempat dan masyarakat (prof, melanie. KPAI).
Ada empat pilar utama dalam gerakan nasional anti bullying yang di gagas oleh GENAB, yaitu peran keluarga, pencegahan, advokasi dan pentingnya Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), Focus Group Disscussion (FGD) bertema Kekerasan di Pendidikan dan kritisi terhadap Instruksi Gubenur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2015 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan yang diadakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (prof, Melanie ΚΡΑΙ).
Sekolah dan guru harus mengambil peran aktif dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, ramah anak, dan bebas dari kekerasan atau perundungan.
Sekolah perlu menerapkan kebijakan dan norma anti-kekerasan yang jelas baik tertulis maupun tersosialisasi agar seluruh warga sekolah memahami bahwa perundungan tidak bisa dianggap sebagai “kenakalan ringan” atau “canda-candaan biasa”.
Selain itu, pembinaan karakter dan pengembangan kecerdasan emosional siswa menjadi bagian penting: guru dan tenaga pendidik tidak sekadar mengajarkan materi akademik, tetapi juga menanamkan nilai moral, empati, dan sikap saling menghormati.
Dalam praktik, sekolah dapat membentuk tim khusus misalnya Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) untuk memantau situasi siswa, mendeteksi potensi bullying sejak dini, dan segera menindak lanjuti ketika ada laporan.
Tantangan Implementasi
Tantangan dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah antara lain berkaitan dengan masih rendahnya pemahaman warga sekolah mengenai pentingnya menciptakan iklim yang aman, peran pendidik yang belum sepenuhnya optimal, serta kebijakan anti-kekerasan yang belum terlaksana secara konsisten.
Agar upaya ini dapat berjalan efektif, diperlukan komitmen dari seluruh unsur sekolah, dukungan orang tua, serta penyediaan sumber daya yang memadai sehingga proses penanganan kasus dan penguatan karakter siswa dapat dilaksanakan secara berkesinambungan.
Harapannya, melalui upaya dan komitmen bersama ini, seluruh peserta didik dapat memperoleh lingkungan pendidikan yang benar-benar aman, nyaman, dan mendukung perkembangan mereka secara optimal.
Bagi para pendidik dan tenaga kependidikan, kebijakan yang ada juga diharapkan mampu memberikan perlindungan dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Mari kita terus memperkuat kerja sama dan kepedulian agar berbagai bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan dapat dicegah dan ditangani dengan lebih baik demi masa depan anak-anak Indonesia. (*)
Ditulis oleh Ardan Juliyan Pratama, Rivaldo, Dela novera, Avantya Izmaya Ruchy, Upita Ayulia, mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Serang Semester 3.







