Hipogami, Perempuan Memilih Pasangan Berstatus ‘Lebih Rendah’

ZETIZENS.ID – Kamu tahu hipogami? Ini tentang perempuan yang memilih pasangan bersyatus lebih rendah. Simak yuk.
Jadi, seiring semakin banyaknya perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi dan mencapai kemandirian finansial, pola tradisional perempuan lebih memilih pasangan berstatus lebih tinggi mulai bergeser.
“Saat ini ada jurang yang makin lebar di kalangan anak muda,” ujar Nadia Steiber, seorang sosiolog dari Universitas Wina di Austria.
“Jumlah perempuan berpendidikan tinggi jauh melampaui laki-laki.”
Kondisi ini memunculkan anggapan bahwa sebaiknya perempuan mencari pasangan yang setara, baik dari segi pendidikan maupun status sosial ekonomi.
Nadia bilang, pada kenyataannya, sering kali perempuan justru memilih pasangan dengan status yang “lebih rendah”.
Dalam ilmu sosial, fenomena ini disebut sebagai “hipogami”.
Hipogami ini merupakan suatu kondisi saat seseorang, khususnya perempuan, menikah atau menjalin hubungan romantis dengan individu yang memiliki status sosial, ekonomi, atau pendidikan yang lebih rendah ketimbang dirinya.
Kebalikannya, hipergami—perempuan mencari pasangan yang statusnya lebih tinggi—lebih lazim dan diterima secara sosial.
Ini sejalan dengan norma tradisional yang mendorong perempuan untuk mencari pasangan yang memiliki kondisi finansial lebih mapan, lebih tua, atau tingkat pendidikannya lebih tinggi.
Catherine Hakim, sosiolog Inggris dan profesor peneliti di Civitas, sebuah lembaga pemikir di London, menjelaskan bahwa secara historis, anak laki-laki menerima pendidikan yang lebih baik karena mereka diharapkan bekerja. Sementara anak perempuan belajar tugas-tugas rumah tangga dari ibu mereka di rumah.
“Kesenjangan usia dan pendidikan yang besar antara pasangan memungkinkan patriarki berkembang pesat. Kesetaraan pendidikan untuk laki-laki dan perempuan merupakan ciri masyarakat modern yang makmur,” katanya.
Pergeseran menuju hubungan egaliter
Data termutakhir mencerminkan perubahan ini.
Studi dari Pew Research Center pada 2023 menunjukkan bahwa 24% perempuan yang terikat pernikahan heteroseksual di Amerika Serikat memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada suami mereka.
Jumlah ini mengalami peningkatan 19% dibanding data pada 1972.
Studi yang sama mengungkap sekitar 29% dari total pasangan pernikahan yang diteliti, baik suami dan istri memperoleh penghasilan yang hampir sama.
Meskipun model hubungan tradisional—suami menjadi pencari nafkah utama atau tunggal—masih mendominasi lebih dari separuh pasangan, kini ada sekitar 16% pasangan dengan pihak perempuan berperan sebagai pencari nafkah.
Menariknya, selama lima dekade terakhir, proporsi perempuan yang penghasilannya setara atau bahkan melebihi suami mereka telah meningkat hampir tiga kali lipat.
Perubahan ini menantang norma gender yang lama berlaku.
Hal ini membentuk pandangan terhadap hubungan, yang kerap menciptakan gesekan antara realitas yang terus berkembang dan preferensi sosial yang masih hidup.
“Meskipun beberapa perempuan masih mencari pasangan dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi, banyak dari mereka kini lebih memprioritaskan keselarasan emosional, nilai-nilai yang sama, dan rasa saling menghormati daripada hanya penanda status konvensional,” ujar Michelle Begy, perantara perjodohan dari Ignite Dating.
“Perubahan ini mencerminkan pergeseran besar menuju hubungan yang lebih egaliter, yang lebih menekankan pada kualitas hubungan dan pemenuhan pribadi ketimbang struktur yang bersifat hierarkis.”
Sementara sosiolog di Inggris, Catherine Hakim, menyebut kesenjangan pendidikan kini menjadi pola paling umum yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara.
“Sekitar setengah, tetapi terkadang hingga tiga perempat, pasangan melaporkan kesetaraan pendidikan,” jelasnya.
“Sekitar sepertiga istri menikah dengan pasangan yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, sementara sekitar seperlima suami menikah dengan pasangan yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. Kesetaraan pendidikan menjadi norma.”
Sementara hipogami semakin dikenal di Barat, hipergami masih umum di banyak tempat di belahan dunia lain.
Sonalde Desai, sosiolog di Universitas Maryland, AS, menjelaskan bahwa kitab suci Hindu berfokus pada pernikahan dalam kasta yang sama.
Namun, lanjut Desai, pernikahan anuloma—ketika seorang laki-laki menikahi perempuan dari kasta yang lebih rendah—diizinkan.
Sementara itu, pernikahan pratiloma—ketika laki-laki menikahi perempuan dari kasta yang lebih tinggi—dilarang.”
Desai mencatat bahwa praktik perjodohan masih mendominasi di India. Kira-kira 95% pernikahan terjadi pada kasta yang sama.
Norma tradisional tercermin dalam iklan perkawinan di surat kabar biasanya mengharapkan mempelai laki-laki lebih tua, lebih tinggi, dan setidaknya berpendidikan sama dengan mempelai perempuan.
“Namun,” tambahnya, “penelitian empiris menunjukkan bahwa hipogami, ketika perempuan menikahi laki-laki dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah, meningkat.”
Iran adalah contoh yang mencolok. Negara ini memiliki populasi perempuan lulusan universitas tertinggi di Timur Tengah.
Namun, norma-norma patriarki di Iran masih kuat, karena keluarga pada umumnya masih mengharapkan laki-laki menjadi pencari nafkah utama.
Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah perempuan lajang dan terpelajar yang kesulitan menemukan pasangan yang “dapat diterima”.
Nah, sampai sini paham banget dong kenapa fenomena ini terjadi? (Zee)