Gen Z Punya Mekanisme Pertahanan Unik yang Beda dari Generasi Lain, Sudah Tahu?

ZETIZENS.ID – Psikolog Anak dan Remaja, Anastasia Satriyo, M.Psi., menilai, Gen Z memiliki mekanisme tersendiri dalam menghadapi tekanan, yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Ini terlihat saat kondisi aksi demonstrasi, unjuk rasa, hingga berbagai aspirasi yang ramai disuarakan masyarakat di media sosial belakangan ini yang konon katanya mencerminkan cara generasi Z (Gen Z) merespons tekanan.
Laman Kompas mengulas, melalui akun Instagram pribadinya, @anassatriyo, Anastasia membagikan refleksi terkait fenomena tersebut.
“Hari-hari ini saya belajar tentang kepribadian Gen Z Indonesia dan ekspresi diri mereka, yang mungkin cukup berbeda dengan kita, generasi Millennial, Gen X, apalagi Boomers,” tulis Anastasia pada Selasa (2/9/2025), dikutip dari Kompas.com atas seizinya.
Nah, perbedaan mekanisme pertahanan Gen Z dengan generasi lain Dalam sistem otak manusia, terdapat mekanisme alami yang muncul ketika seseorang menghadapi stres berat.
Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah fight (melawan), flight (menghindar), fawn (menurut/patuh), atau face (menghadapi).
Psikolog Anak dan Remaja, Anastasia Satriyo, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa Gen Z memiliki mekanisme otak yang lebih maju dibandingkan generasi sebelumnya, mulai dari Boomer, Gen X, hingga Milenial.
Kata dia, generasi Boomer umumnya bertahan dengan mekanisme fight, yakni mengandalkan otoritas dan kekuasaan, atau fawn, yaitu cenderung patuh secara berlebihan.
Sementara itu, Gen X dan Milenial lebih sering terbawa pola fight or flight, dengan kecenderungan memilih flight atau menghindar demi rasa aman.
“Sedangkan Gen Z secara psikologis sudah mampu menggunakan mekanisme face,” kata Anastasia saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/9/2025).
FYI, dalam teori Four Responses to Fear/Threat, ada empat reaksi dasar manusia saat menghadapi ancaman, yakni fight (melawan), flight (menghindar), freeze (membeku), dan face (menghadapi).
“Dari keempat respons tersebut, face adalah yang paling adaptif dan konstruktif,” jelas Anastasia.
Respons face membuat seseorang mampu membela diri dengan cara sehat, berani terlibat dan menyuarakan pendapat, menetapkan batas dengan jelas, tetap terhubung dengan orang lain secara emosional.
Dengan begitu, individu bisa melindungi diri, mengurangi risiko, dan menyampaikan kebutuhannya tanpa harus menyakiti diri sendiri maupun orang lain.
“Dengan kata lain, face berarti menghadapi ancaman secara rasional, asertif, dan tetap terhubung,” tambahnya.
Alih-alih melawan dengan fight, flight, atau freeze, seseorang dengan mekanisme face dapat memilih untuk mengelola rasa takut secara sadar dan mencari solusi.
Alih-alih melakukan tindakan destruktif, Gen Z memilih berbicara dengan cara khas mereka, yakni menggunakan media sosial, meme, poster kreatif, hingga estetika visual.
“Mereka berbicara tanpa harus membakar fasilitas. Hal ini menunjukkan adanya assertive engagement,” jelas Anastasia.
Assertive engagement adalah keterlibatan aktif dan terbuka dalam suatu situasi dengan cara tegas, namun tetap menghargai pihak lain.
Gen Z juga kuat dalam membangun koneksi dan solidaritas, baik secara online maupun offline. Dalam aksi demonstrasi, mereka saling berbagi informasi terbaru, menjaga sesama dengan logistik seperti minuman, masker, hingga susu beruang, serta menyemangati dengan humor.
Gen Z juga mampu menetapkan batas secara damai. Jika generasi sebelumnya cenderung diam (freeze) atau menyerang (fight), Gen Z justru menegaskan bahwa aksi mereka adalah bentuk protes damai, bukan provokasi.
“Sikap ini adalah cara mempertahankan nilai dan identitas mereka sekaligus meminimalkan eskalasi konflik,” kata Anastasia.
Dalam situasi penuh tekanan, Gen Z bahkan tidak mundur. Mereka memilih tetap terlibat aktif, misalnya dengan posting, live streaming, atau membuat citizen journalism.
“Dalam stres kolektif, Gen Z justru semakin engage, berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih memilih menghindar,” pungkasnya. (Zee)